Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sebut saja negara superpower seperti Amerika Serikat (AS) yang inflasinya menembus angka 9% pada bulan Agustus lalu, meski kini sudah mulai menurun ke angka 8%.
Tak hanya AS, negara-negara lain pun turut mengalami lonjakan inflasi. Data Trading Economics menunjukkan "amukan" inflasi di Turki mencapai sekitar 80%, Argentina 65%, Sri Lanka 64%, dan Iran 54%.
Inflasi menjadi penting karena mencerminkan tingkat kenaikan harga-harga barang. Makin tinggi inflasi tentu harga barang akan semakin mahal.
Hal ini akan semakin sulit mengingat pendapatan di banyak negara cenderung stagnan alias segitu-segitu saja.
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2022 lalu, inflasi kita tercatat 4,69%. Angka ini sudah terasa menyulitkan karena harga berbagai bahan pokok seperti bensin, telur, cabai, dan listrik jadi naik.
Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya negara yang mengalami lonjakan inflasi hingga di atas 50%.
Oleh karena itu, pemerintah Indonesia pontang-panting berusaha mengendalikan inflasi. Berbagai jurus kebijakan diluncurkan agar tanah air kita tidak menderita seperti negara lain.
Namun sumber inflasi ini lebih kepada permasalahan supply side seperti dijelaskan di atas tadi, membuat harga komoditas melonjak dan ongkos produksi serta logistik masih mahal.
Impor kita yang masih tinggi atas minyak, gas, mesin, bahan kimia, dan makanan membuat kenaikan harga sulit dibendung. Banyak negara mengalami permasalahan yang hampir sama, imported inflation.
Beruntung, Indonesia merupakan eksportir komoditas energi seperti batu bara dan minyak kelapa sawit.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.