Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.
Jika kita masih hidup membutuhkan bensin, gas, listrik, dan lain-lain, sebaiknya kita tetap cermati efek aksi The Fed yang berencana terus mengerek FFR. Lho apa hubungannya?
Saat suku bunga US Dollar (USD) makin tinggi, tentu semakin banyak investor dan pemilik modal yang lebih tertarik untuk memegang the greenback.
Mata uang lain, termasuk rupiah akan cenderung ditinggalkan. Capital outflow juga menjadi konsekuensi yang dapat terjadi.
Alhasil nilai tukar uang kita terhadap dollar akan cenderung melemah. Per akhir September 2022 kurs rupiah terhadap dollar telah menembus Rp15.200.
Padahal, kita masih sangat bergantung pada impor minyak, ini dan itu, yang pembayarannya harus pakai dollar.
Fenomena penguatan USD terhadap mata uang domestik (high exchange rate) ini tidak hanya terjadi di Indonesia, namun hampir di seluruh dunia.
Bahkan Chinese Yuan, Euro, dan Japan Yen, yang terkenal sebagai "lawan tanding" USD juga nilai tukarnya turut melemah.
Di negara-negara berkembang seperti Indonesia memang selalu "terjebak" dengan kedigdayaan AS dan dollarny, yang masih dipandang oleh pasar sebagai mata uang paling berpengaruh dalam perdagangan internasional.
Untuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah dan kenaikan inflasi, Bank Indonesia sebagai otoritas moneter terpaksa turut mengerek suku bunga acuannya.
BI 7 Days Repo Rate atau BI7DRR yang di awal tahun masih berada di level 3,5%, kini telah menyentuh 4,25%.
Harapannya tentu agar nilai tukar rupiah bisa tetap terjaga stabil, karena jika rupiah fluktuatif dan terus melemah, maka impor bisa makin tekor, barang-barang makin mahal, perusahaan makin susah, dan anggaran negara juga bisa ambrol.
Meskipun di sisi lain, kenaikan suku bunga acuan tentu akan berdampak pada kenaikan suku bunga kredit atau pembiayaan, yang pastinya akan membebani roda ekonomi.
Angsuran kredit usaha, rumah, hingga kendaraan pasti akan lebih tinggi dan membebani keuangan masyarakat. Simalakama.
Keseimbangan itulah yang perlu dicermati oleh pemerintah dan segenap otoritas terkait yang berperan menjaga stabilitas sistem keuangan yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Lembaga Penjamin Simpanan, dan Otoritas Jasa Keuangan.
Lalu kita sebagai rakyat biasa, tentu tidak bisa hanya bengong saja. Memahami lanskap kondisi ekonomi secara lebih luas akan membantu kita untuk lebih berpikir lebih jernih.
Lebih bagus lagi jika bisa memberi pendapat dan masukan, tidak melulu menyalahkan sana sini yang serba sulit.
Bijak mengelola uang, menjaga kecukupan dana darurat, dan berinvestasi secara tepat akan membantu keseimbangan keuangan kita dan keluarga.
Jika banyak dari kita mampu mengelola kondisi keuangan dengan baik, maka tentu akan membantu negara kita untuk bisa melewati badai "tri-high" ini dengan tumbuh menjadi lebih kuat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.