Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejak keponakan saya merantau dan tinggal di rumah, saya dan istri berbagi tugas untuk mengantar-jemputnya ketika pergi dan pulang bekerja.
Padahal sesekali istri bilang agar keponakan saya menggunakan transportasi umum saja untuk pergi dan pulang dari tempatnya bekerja.
Namun karena alasan jarak tempat kerjanya yang cukup jauh dari rumah saya dan ditambah lagi adanya risiko keamanan ketika bepergian sendiri dengan transportasi umum--terutama di malam hari--membuat saya masih ragu untuk memberikannya izin pergi dan pulang menggunakan transportasi umum.
Ditambah lagi kemudahan mengakses transportasi umum menjadi pertimbangan utama bagi seseorang untuk mau menggunakan atau malah mengabaikan transportasi umum.
Ketika seseorang menggunakan transportasi umum, harapannya adalah tentu terhindar macet karena memiliki jalur tertentu seperti TransJakarta dan waktu tempuh untuk tiba di rumah tentu akan lebih cepat.
Kemudian, pertimbangan soal frekuensi keberangkatan transportasi umum juga perlu diperhatikan. Jika waktu menunggu transportasi umum lebih lama daripada waktu perjalanannya, maka banyak orang yang tak tertarik menggunakan transportasi umum
Sederhananya, jika transportasi umum tersebut mudah, cepat, dan nyaman, tentu akan semakin banyak orang yang memilih beralih menggunakan transportasi umum.
Namun, pada kenyataannya menurut data Kementerian Perhubungan jumlah kendaraan pribadi ternyata masih jauh mengungguli jumlah transportasi umum yang aktif.
Di tahun 2021, data Kemenhub menunjukkan bahwa terdapat sekitar 77 juta kendaraan pribadi yang meliputi mobil, sepeda motor, dan beberapa jenis kendaraan lainnya.
Sementara jumlah transportasi umum hanya berkisar 500 ribu armada. Jumlah itu ironisnya sudah meliputi bus, minivan, dan beberapa transportasi umum lainnya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.