Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mustopa
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mustopa adalah seorang yang berprofesi sebagai Petani. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Sekolah, Kegiatan "Mengisi Waktu Luang" yang Mahal

Kompas.com - 10/07/2023, 22:13 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Biaya pendidikan di Indonesia semakin mahal setiap tahunnya. Pasalnya, biaya pendidikan sekarang ini tidak hanya untuk membayar SPP, namun juga ada uang les, karyawisata, buku tahunan, hingga yang belakangan kini tengah menjadi polemik, yaitu adanya pelaksanaan wisuda bagi jenjang SD hingga SMA.

Hal itu rupanya membuat tak sedikit orangtua resah dan keberatan, sebab biaya wisuda perlu merogoh biaya yang tidak sedikit dan belum lagi setelah wisuda, orangtua harus mempersiapkan biaya untuk anak melanjutkan pendidikan ke jenjang selajutnya.

Di kampung saya dalam beberapa tahun terakhir, sebagian besar warga masyarakatnya telah memprioritaskan pendidikan anak sebagai kebutuhan utama. Namun harap maklum, kemampuan ekonomi sebagian besar warga tersebut hanya mampu membiayai sampai ke jenjang Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA) atau sederajat.

Rata-rata lebih memilih Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan harapan akan langsung mendapat pekerjaan setelah lulus nantinya. Jadi harap maklum, di kampung saya tak ada satu pun sarjana.

Siang itu terik matahari terasa membakar kulit. Saya sedang sibuk menyiangi rerumputan di sekitar tanaman kopi sambil sesekali menyeka keringat yang bercucuran.

Pada saat itulah Lek Edi tiba-tiba datang dengan mengenakan kaos kuning lusuh, bercelana jeans yang tak kalah lusuh dan telah dipotong di bagian lutut. Topinya yang berwarna merah dan bergambar logo Tut Wuri Handayani itu agaknya topi Silvi, anak pertamanya yang tak terpakai. Ia membawa sebilah sabit dan sepasang tali bas --tali dari pelepah kelapa muda-- untuk mencari rumput.

Menyadari kedatangannya, saya langsung berhenti menyiangi rumput untuk menyapanya.

Kami pun duduk bersama beralaskan daun pisang kering. Ia lantas mengeluarkan slepen plastik lusuh berisi tembakau kuning, cengkeh ayem, dan kertas sigaret bufalo dari sakunya. Ia tawarkan lintingan itu.

Ketika saya berniat untuk mengambilnya, beberapa uang ratusan ribu turut jatuh yang membuatnya tertawa sambil menjelaskan uang itu uang pinjaman untuk jatah uang saku anak pertamanya, Silvi.

"Duit le utang iki, nggo jatah sangune Silvi (Uang hasil mengutang ini, untuk jatah uang saku Silvi)”, jelas Lek Edi sambil memasukkan kembali uang tersebut ke dalam sakunya.

Meminjam uang untuk biaya sekolah seperti yang dilakukan oleh Lek Edi ini merupakan cerita yang begitu sering saya dengar.

Biasanya saya enggan untuk menanggapinya semakin jauh, entah mengapa mulut saya seringkali terkunci. Namun dalam hati saya selalu merenungkan hal itu.

Dulu orangtua saya kemungkinan besar juga melakukan hal yang serupa. Bahkan tak menutup kemungkinan saya pun akan melakukan hal yang sama.

Cerita-cerita semacam itu selalu diakhiri dengan kata-kata yang membuat trenyuh, "Bot-bote men anak nasibe luwih apik tinimbang aku (Beban berat ini agar nasib anak lebih baik daripada saya).”

Mahalnya Biaya Pendidikan, Sudahkan Pendidikan di Negeri Ini Berkualitas?

Saya termasuk anak yang pertama menapaki jenjang SMK yang kemudian diikuti oleh anak-anak yang lebih muda.

Dulu saya merasa begitu senang karena langkah yang sedikit menginspirasi itu. Beberapa orangtua ada yang meminta anaknya untuk saya antarkan mendaftar di tempat saya sekolah.

Seiring berjalannya waktu, kegembiraan itu kian sirna dengan berbagai kenyataan yang terjadi. Rata-rata harapan bekerja setelah lulus tak menjadi kenyataan. Ada yang menganggur, ada pula yang mengikuti jejak orangtuanya menjadi kuli bangunan. Rasa sedih itu kian bertambah tatkala mendengar kisah-kisah semacam cerita Lek Edi itu.

Akhir-akhir ini, biaya sekolah agaknya memang kian meninggi. Namun penghasilan warga Pembinaan masyarakat tak banyak meningkat, stagnan, bahkan ada yang menurun. Meski demikian, SPP, biaya buku, dan biaya kegiatan masih terjangkau oleh warga meski harus membanting tulang. Namun agaknya bukan itu yang menjadi persoalan pokok dan menguras kantong mereka.

Menurut cerita yang disampaikan oleh paman saya atau orang yang saya temui, biaya uang saku dan kegiatan tambahan merupakan anggaran yang memberatkan mereka.

"Nek biaya SPP mono sesasi pisan, ning nek sangu kui kudu metu bendino (Kalau biaya SPP hanya sekali sebulan, tetapi kalau uang saku harus setiap hari),” tutur seorang paman saya, Lek Bani.

"Paling mumet neh nek pas ono kegiatan tambahan, ndadak trus lek kudu mbayar. Nek ra lek mbayar mengko anake ra entuk melu kegiatan, lak yo mesake to? (Lebih memusingkan lagi jika ada kegiatan tambahan, mendadak dan harus segera membayar. Jika tidak segera membayar nanti anaknya tidak boleh ikut kegiatan, kasian kan?),” Lek Bani menambahkan sambil menghela nafas panjang.

Penuturan Lek Bani itu sudah beberapa tahun yang lalu. Kini kedua anaknya telah lulus dan telah bekerja meski dengan gaji seadanya. Oleh karena itu, kini saya dapat melihat senyum sumringahnya, meski sesekali ia masih bercerita soal sisa utang yang belum terbayar. Mengenai pekerjaan anaknya, ia tak pernah mempersoalkan meski pekerjaan tersebut tak sesuai dengan jurusan waktu ia sekolah.

Perihal mahalnya ongkos uang saku sekolah itu, saya sendiri juga merasakannya. Anak saya yang kini kelas 3 SD, tiap hari uang sakunya Rp 10.000, dibandingkan dengan uang saku ketika saya seumurannya, bedanya begitu jauh.

Dulu ketika ahri-hari biasa, uang saku saya hanya Rp 100. Karena di samping sekolah saya ada pasar pahing dan kliwon, maka pada hari pasaran uang, saku saya bertambah menjadi Rp 200 plus tambahan saku dari nenek saya. Biaya buku atau kegiatan lain lagi, yang ini hampir sama dengan yang diceritakan oleh Lek Bani.

Baru-baru ini di media sosial viral mengenai biaya wisuda sekolah yang tidak wajar. Selama saya sekolah dulu belum mengalami wisuda. Paling-paling perpisahan, jika harus iuran pun, maka sewajarnya.

Ilustrasi anak sekolah dasar pulang dari sekolahKompasiana/Mustopa Ilustrasi anak sekolah dasar pulang dari sekolah
Satu-satunya cerita wisuda tersebut saya ketahui ketika SD di desa saya beberapa waktu yang lalu mengadakan acara yang serupa. Acara tersebut saya ketahui dari kemenakan yang meminjam jas milik saya. Katanya untuk wisuda. Saya tak menghadirinya, namun sepertinya acara tersebut cukup meriah, dibuktikan dengan adanya pentas kesenian rakyat.

Jika berbicara perihal sekolah dengan segala tetek bengeknya itu, saya selalu teringat sebuah buku yang berjudul Sekolah Itu Candu yang ditulis oleh Roem Topatimasang.

Menurut buku tersebut, sekolah pada awalnya hanyalah "kegiatan untuk mengisi waktu luang". Kata sekolah berasal dari bahasa latin yakni skhole, scola, scolae, schola, kata tersebut secara harfiah bermakna "waktu luang" atau "waktu senggang". Meski kemudian seiring berjalannya waktu, kegiatan mengisi waktu senggang itu menjadi kewajiban hingga saat ini. Untuk belajar, untuk menimba ilmu.

Menurut saya mengenai mahalnya atau tidaknya biaya sekola, kita pun dapat menilainya dengan objektif. Saat ini dunia sedang berada di era industri. Semua orang saya yakin dapat memahaminya, sebuah produk akan dihargai mahal jika berkualitas.

Nah, yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah pendidikan atau sekolah di negeri ini berkualitas dan pantas dihargai mahal?

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sekolah, Kegiatan Mengisi Waktu Luang Berbiaya Mahal"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Dampak Melemahnya Nilai Tukar Rupiah terhadap Sektor Industri

Kata Netizen
Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Paradoks Panen Raya, Harga Beras Kenapa Masih Tinggi?

Kata Netizen
Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Pentingnya Pengendalian Peredaran Uang di Indonesia

Kata Netizen
Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Keutamaan Menyegerakan Puasa Sunah Syawal bagi Umat Muslim

Kata Netizen
Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Menilik Pengaruh Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres 2024

Kata Netizen
Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Melihat Efisiensi Jika Kurikulum Merdeka Diterapkan

Kata Netizen
Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Mengenal Tradisi Lebaran Ketupat di Hari ke-7 Idulfitri

Kata Netizen
Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Meminimalisir Terjadinya Tindak Kriminal Jelang Lebaran

Kata Netizen
Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Ini Rasanya Bermalam di Hotel Kapsul

Kata Netizen
Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kapan Ajarkan Si Kecil Belajar Bikin Kue Lebaran?

Kata Netizen
Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Alasan Magang ke Luar Negeri Bukan Sekadar Cari Pengalaman

Kata Netizen
Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Pengalaman Mengisi Kultum di Masjid Selepas Subuh dan Tarawih

Kata Netizen
Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Mencari Solusi dan Alternatif Lain dari Kenaikan PPN 12 Persen

Kata Netizen
Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Tahap-tahap Mencari Keuntungan Ekonomi dari Sampah

Kata Netizen
Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Cerita Pelajar SMP Jadi Relawan Banjir Bandang di Kabupaten Kudus

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com