Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ada Apa dengan Kelas Menengah?
Pada tanggal 10 Mei 2020 silam, terjadi sebuah peristiwa di Jakarta yang dianggap sebagai manifestasi dari sikap kelas menengah yang unik.
Ketika itu, gerai pertama dari restoran cepat saji McD di Sarinah Thamrin akan ditutup setelah beroperasi sejak tanggal 14 Februari 1991. Penutupan gerai makanan cepat saji pertama di Indonesia ini menimbulkan "kerumunan kesedihan".
Para pengunjung yang telah menghabiskan waktu bertahun-tahun di gerai tersebut merasakan kesedihan yang mendalam. Salah satu artikel online yang saya baca pada tahun 2020 dengan sangat bagus menggambarkan perasaan kehilangan tersebut.
Setelah berdiri selama 30 tahun di Indonesia, restoran ini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan banyak orang. Setiap sudut dari restoran 24 jam ini menyimpan kenangan yang berharga.
Tidak hanya tentang makanan yang lezat dan suasana yang ramai, tetapi juga tentang cerita hidup, tempat berbagi keluh kesah, dan pertemuan bersama teman atau pasangan saat menghadapi kesulitan keuangan di malam minggu.
Pada hari penutupan, Kompas.com (11/05/2002) melaporkan bahwa orang-orang dari berbagai kalangan, mulai dari orang tua hingga anak-anak, datang untuk sekadar mengenang kembali kenangan indah saat makan di restoran tersebut saat mereka masih kecil. Antrean bahkan meluas hingga ke luar restoran.
Saat itu, pandemi Covid-19 sedang melanda dan Jakarta sedang menjalani Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB).
Pada saat mayoritas pekerja berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, menghadapi pembatasan pergerakan dan bahkan pemecatan, kelompok menengah ke atas seolah-olah tidak terpengaruh oleh situasi sulit tersebut. Bahkan, mereka terlihat cuek, seperti dalam momen penutupan gerai McD di Sarinah.
Menurut World Bank (dalam Aspiring Indonesia--Expanding the Middle Class: 2019), Kelas Menengah adalah mereka yang menikmati keamanan ekonomi.
Artinya, mereka tidak perlu khawatir tentang kemiskinan moneter dan, sebagai hasilnya, mereka dapat mengalihkan pendapatan mereka untuk konsumsi yang lebih disukai daripada kebutuhan dasar. Kelas ini biasanya menghabiskan antara Rp1.200.000 hingga Rp6.000.000 per orang setiap bulannya.
Konsumsi yang lebih disukai adalah jenis konsumsi yang tidak mengganggu keuangan rumah tangga. Sebagai contoh, biaya untuk rekreasi atau bersantai di gerai McD setelah pulang kerja.
Ini juga berarti bahwa mereka tidak perlu khawatir tentang kenaikan harga kebutuhan pokok seperti beras, telur, daging, dan minyak goreng yang sering kali dibicarakan oleh pemerintah. Mereka tidak pernah dikejar oleh penagih koperasi setiap hari untuk membayar cicilan.
Meskipun mereka dapat bersatu dalam protes terhadap tindakan tukang ojek online yang melanggar aturan lalu lintas sambil mengabaikan tingginya jumlah mobil pribadi yang menyebabkan kemacetan di Jakarta, kelompok ini tidaklah malas atau hidup bergantung pada warisan. Dengan keaktifannya, terutama di media sosial, mereka juga menunjukkan empati terhadap penderitaan kelompok lain.
Namun, menjadi bagian dari kelas menengah tetap mengharuskan mereka untuk memiliki kemampuan tertentu untuk memenuhi standar tertentu. Mereka masih harus bekerja keras untuk memperoleh daya beli tertentu agar dapat mengakses layanan yang tidak selalu didukung oleh kebijakan pemerintah, seperti subsidi. Perbedaannya, mungkin, adalah bahwa mereka bukanlah proletariat melainkan kognitariat.
Namun, karena status mereka sebagai kognitariat, beberapa pandangan menganggap mereka sebagai kelas semu; tidak jelas dan tidak memiliki dasar yang kuat seperti pertentangan antara borjuasi dan proletar dalam sistem kapitalisme.
Meskipun demikian, beberapa anggota dari kelompok ini telah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu. Ini memungkinkan mereka untuk tetap bertahan dengan tingkat pengeluaran tertentu tanpa terjebak dalam siklus kemerosotan kelas.
Kondisi yang tidak stabil seperti ini tidak hanya menunjukkan posisi yang belum mantap di tengah-tengah, tetapi juga menggambarkan variasi dari dinamika kerentanan kelas di hadapan kejutan ekonomi.
Kelompok yang tidak stabil seperti ini disebut Calon Kelas Menengah (Aspiring Middle Class). Mereka telah melampaui kemiskinan tetapi belum mencapai status kelas menengah atas. Mereka lebih mewakili realitas dari Kelas Menengah Bawah.
Menariknya, menurut World Bank, kelompok masyarakat yang menuju kelas menengah sangat penting untuk menggali potensi pembangunan Indonesia dan mendorong negara menuju status negara berpenghasilan tinggi.
Namun, menjadi negara berpenghasilan tinggi tidaklah cukup untuk membuat Indonesia menjadi negara modern yang peduli terhadap kebutuhan semua warganya.
Salah satu keprihatinan terhadap pertumbuhan kelas menengah disuarakan oleh mantan Menteri Keuangan, Chatib Basri. Pendapatnya disampaikan dalam sebuah artikel yang dimuat oleh Kompas (8/12/2023), yang berjudul Kelas Menengah RI Butuh Perhatian Sebelum Terlambat.
Dibandingkan dengan Chile di Amerika Latin yang memiliki arsitektur dan fokus pembangunan yang serupa dengan Indonesia, Chatib Basri mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada ketidaksetaraan vertikal. Ini berarti bahwa kebijakan ekonomi yang hanya berfokus pada mengurangi kesenjangan pendapatan, mencapai pertumbuhan ekonomi, dan mengentaskan kemiskinan tidaklah cukup.
Dengan pertumbuhan kelompok ini terutama kelas menengah bawah, perhatian terhadap kesetaraan horizontal atau kualitas hidup, yang menjadi perhatian mereka, seharusnya juga diperhatikan dengan cermat.
Jika negara gagal melakukan hal ini, maka ketidakpuasan yang dirasakan oleh kelas menengah bawah terkait dengan kualitas hidup, pekerjaan, akses terhadap kebutuhan pokok, perumahan yang terjangkau, perasaan akan keadilan politik dan ekonomi, keterbukaan, dan demokrasi dapat menjadi pemicu ketegangan sosial dan protes.
Dengan kata lain, semakin banyak jumlah populasi kelas menengah, semakin relevan pula isu-isu terkait keadilan dan kualitas hidup. Dalam konteks ini, kita harus melihat di mana posisi kelas menengah bawah dalam dinamika antara dua kutub ideologi politik, seperti antara Kiri dan Kanan.
Kita memiliki latar belakang, pengalaman, dan kompetensi yang beragam. Ada yang bekerja di sektor publik, menjadi dosen, memiliki bisnis kecil, atau bekerja profesional dengan tingkat pengeluaran yang dinyatakan oleh World Bank sebagai bagian dari Kelas Menengah. Meskipun internet menghubungkan kita dan menempatkan kita dalam konteks yang sama, hal itu tidak membuat kita menjadi sebuah kelompok yang kohesif.
Mengapa hal ini terjadi? Ada banyak alasan atau alasan yang mungkin mengapa kita tidak bergabung sebagai satu kesatuan.
Namun, setidaknya, posisi ideologis kita terhadap isu-isu publik seperti pemilihan umum, elitisme, layanan kesehatan, fasilitas pendidikan, nasib guru honorer, atau bahkan nasib kita sendiri, mencerminkan beragam pandangan dan perhatian yang berbeda.
Ini berarti bahwa dalam hal ideologi, yang merupakan seperangkat gagasan atau ideal tentang masa depan yang berbeda dari situasi saat ini, kita tidak selalu sepakat. Nasib, kecemasan, dan suara kita berbeda dari orang-orang di kelompok lain seperti petani, kaum miskin di perkotaan, buruh, atau nelayan miskin.
Dalam banyak kasus, terutama bagi kelas menengah bawah yang telah bertahun-tahun berjuang melawan siklus penurunan ekonomi, kita seringkali dianggap sebagai orang-orang yang tidak konsisten. Sebagai orang yang bekerja keras tetapi hidup dalam kondisi yang biasa-biasa saja, kemarahan kita mudah tersulut karena terganggunya kenyamanan pribadi.
Secara tegas, dalam pandangan golongan politik Kiri, kelas menengah bawah dianggap sebagai kelompok yang tidak berarti, egois, dan kurang memiliki ideologi.
Di sisi lain, di dalam hierarki yang sama, kita mungkin tidak pernah dianggap layak untuk naik ke tingkat atas. Terutama bagi mereka yang merupakan bagian dari sedikit keluarga yang disebut setiap tahun dalam majalah Forbes.
Usaha keras kita tidak pernah cukup. Mungkin ada beberapa pengecualian, ketika seseorang mencapai posisi tertentu dalam hierarki sosial (dan tentu saja tidak lagi menghabiskan waktu untuk berdebat di Kompasiana).
Karena itu, di sisi yang lain, kita mungkin merasa terjebak. Beberapa di antara kita mungkin hanya mampu bekerja selama 40 jam seminggu namun pendapatan yang diperoleh tidak cukup untuk membayar cicilan rumah, biaya perawatan kulit bulanan, biaya pendidikan anak, berlangganan layanan internet, hingga biaya servis kendaraan.
Kerja keras kita belum cukup untuk membawa perubahan nasib. Kita masih belum dianggap layak untuk naik kelas sosial.
Terjepit dalam kondisi yang sulit, kita seringkali merasa tercekik setiap bulannya, namun tidak ada pilihan lain selain bertahan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kelas Menengah Bawah: Terkutuk di Kanan, Tersudutkan di Kiri"