Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada forum World Government Summit 2025 di Dubai, pemerintah Indonesia mengumumkan pembentukan Danantara, lembaga pengelola investasi yang akan mengelola aset lebih dari 900 miliar dolar AS atau sekitar 14,5 kuadriliun rupiah.
Pernyataan tersebut sontak menarik banyak perhatian baik di dalam negeri maupun dunia internasional.
Bagaimana tidak, dengan jumlah aset kelolaan yang jumbo tersebut, Danantara akan masuk ke jajaran sepuluh besar Sovereign Wealth Fund (SWF) terbesar di dunia.
SWF merupakan lembaga yang dibentuk untuk mengelola aset atau kekayaan negara dan menginvestasikannya untuk memperoleh keuntungan.
Beberapa SWF yang terkemuka di dunia antara lain Norway Government Pension Fund Global, Temasek Holdings, dan China Investment Corporation.
Sebenarnya SWF bukan hal baru di Indonesia, di awal tahun 2021 lalu Pemerintahan Presiden Jokowi mendirikan Indonesia Investment Authority (INA), yang hingga saat ini mengelola aset sekitar 163 triliun rupiah.
Kini di awal tahun 2025, Presiden Prabowo mengumumkan pembentukan Danantara yang juga berfungsi sebagai SWF negara Indonesia. Berdasarkan pernyataan Kepala Danantara, Muliaman Darmansyah Hadad, nantinya INA akan dikonsolidasikan ke Danantara.
Lantas, apa perbedaan INA dan Danantara?
Secara fungsi, sebenarnya INA dan Danantara punya fungsi yang hampir sama, sebagai pengelola aset dan investasi negara.
Perbedaan mendasarnya adalah Danantara, selain berfungsi sebagai SWF, juga berperan sebagai superholding yang mengkonsolidasikan kepemilikan pemerintah di berbagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Jadi, dengan begitu, Danantara, yang didirikan berdasarkan landasan hukum Perubahan Ketiga atas Undang-Undang BUMN, akan memiliki kewenangan dalam mengelola deviden dan optimalisasi aset-aset BUMN.
Di tahap awal, akan dilakukan pengalihan pengelolaan dan kepemilikan saham tujuh BUMN besar dari Kementerian BUMN serta Kementerian Keuangan ke Danantara.
Perusahaan-perusahaan ini meliputi Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia (BNI), Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan Listrik Negara (PLN), Pertamina, dan Mining Industry Indonesia (MIND ID).
Semuanya merupakan BUMN yang memiliki kinerja cemerlang dan berperan vital dalam perekonomian Indonesia, menjadikan Danantara memiliki wewenang dan tanggung jawab yang luar biasa besar.
Pertaruhan Masa Depan
Danantara, merupakan akronim dari Daya Anagata Nusantara, yang berarti kekuatan masa depan Indonesia.
Pembentukan Badan Pengelola Investasi ini bertujuan untuk mendorong terwujudnya pertumbuhan ekonomi 8% sebagaimana ditargetkan Presiden Prabowo.
Selama sepuluh tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia selalu tertahan di angka 5%. Sedangkan untuk mencapai pertumbuhan ambisius 8%, jelas negara ini butuh sebuah terobosan yang tidak biasa-biasa saja.
Komponen pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi rumah tangga, investasi, pengeluaran pemerintah (government spending), dan ekspor di kurangi impor.
Kondisi saat ini, sekitar 50-55% total Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia berasal dari konsumsi rumah tangga.
Apabila pemerintah ingin mendorong tingkat konsumsi, tentu menjadi tantangan yang sangat berat di tengah tekanan ekonomi dan daya beli masyarakat.
Indonesia memerlukan mesin pendorong yang lebih kuat agar bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang eksponensial. Pendirian Danantara merupakan salah satu upaya solusi pemerintah terutama dalam hal mendorong pertumbuhan investasi di tanah air.
Investasi juga diharapkan memberi multiplier effect bagi peningkatan komponen lain agar pertumbuhan ekonomi 8% bisa terwujud.
Seberapa besar pengaruh keberadaan SWF?
Mari kita lihat kinerja SWF yang paling dekat dengan Indonesia, yaitu Temasek Holdings (Singapura) dan Khazanah Nasional Berhad (Malaysia).
Berdasarkan informasi dari website resmi keduanya, rata-rata imbal hasil (return) investasi sekitar 6% per tahun. Imbal hasil itu diperoleh dari kenaikan nilai ekuitas atas perusahaan-perusahaan yang dikelola Temasek dan Khazanah.
Secara persentase bukan angka yang terlalu besar, apalagi jika dibandingkan dengan yield obligasi emerging market.
Namun, kinerja SWF tidak hanya dilihat dari perolehan return-nya saja, karena selain investasi ekuitas sejatinya SWF sekaligus superholding juga berperan untuk menarik arus modal global ke dalam negeri.
Misalnya, Indonesia mencanangkan proyek kereta api lintas Kalimantan senilai 20 miliar AS atau sekitar 320 triliun rupiah. Tentu berat jika harus menggunakan APBN. Jika swasta semua, tentu para investor melihat risikonya sangat besar, apalagi pengembaliannya lama.
Oleh karena itu, Danantara diperlukan untuk meracik 'deal' yang menarik sehingga pemerintah dan swasta dapat sama-sama berkontribusi mewujudkan proyek tersebut.
Perumpaan teknisnya bisa dilakukan dengan membentuk PT Borneo Railway, lalu saham disetor bersama Danantara, investor swasta nasional, dan investor swasta internasional.
Terwujudnya proyek tersebut akan membuka lapangan kerja baru, penjualan bahan bangunan, material besi, jalur perdagangan barang yang lebih efisien, pariwisata yang meningkat, dan lain-lain. Multiplier effect-nya pada ekonomi akan sangat besar.
Meskipun di sisi lain, keterlibatan investor global akan membuat nuansa kapitalisme mau tidak mau semakin kental. Hitung-hitungan solvabilitas dan profitabilitas harus jelas meskipun terkadang berdampak pada biaya yang dikenakan ke masyarakat menjadi lebih besar.
Danantara harus cermat memperhatikan aspek ini. Kombinasi antara investasi di dalam negeri dan ekuitas di luar negeri menjadi strategi yang menarik sekaligus menantang.
Kebijakan investasi dan proyek strategis harus direncanakan dengan lebih matang, pemerintah tidak bisa asal jadi atau "main-main" karena ada keterlibatan investor global di situ.
Jika investasi atau proyek tersebut gagal atau ada korupsi, nama Indonesia di mata internasional akan tercoreng. Ini akan menjadi pertaruhan besar masa depan Indonesia.
Oleh karena itu, pemilihan manajemen Danantara nantinya harus benar-benar profesional, orang-orang yang memiliki kapabilitas dan integritas di level internasional.
Jika jajaran manajemen diisi oleh oligarki atau kental unsur politik, maka masyarakat Indonesia patut khawatir, SWF bisa menjadi bom waktu jika tidak dikelola dengan baik. Indonesia, seharusnya tidak kekurangan profesional dan talenta-talenta terbaik di berbagai bidang.
Membutuhkan Semua Mata
Pengalihan pengelolaan aset-aset BUMN ke Danantara, membuat badan investasi tersebut akan memiliki kewenangan yang sangat strategis.
Apalagi BUMN di Indonesia memiliki mandat penting untuk menyediakan berbagai kebutuhan pokok bagi masyarakat. Sehingga pemerintah dan masyarakat harus benar-benar mengawal kinerja lembaga ini.
Dalam hal pengelolaan investasi, tentu perlu disadari bahwa risiko kerugian itu selalu ada, termasuk di Danantara ini. Sebagai referensi, Temasek pernah membukukan keuntungan return investasi 46% di tahun 2004, namun juga pernah merugi 30% di tahun 2009.
Tentu kita tidak ingin Danantara memiliki kinerja yang tidak baik atau kebijakan korporasi yang mengabaikan kepentingan masyarakat luas.
Oleh karena itu idealnya Danantara juga harus mengutamakan transparansi. Publikasikan secara berkala kemana dana investasikan dan bagaimana kinerjanya.
Seperti kita bisa melihat secara detail bagaimana kinerja investasi Temasek dan Khazanah melalui websitenya.
Apalagi kita hidup di era digital, pengelola investasi sudah selayaknya mempublikasikan secara berkala bagaimana strategi, implementasi, dan performa investasi mereka.
Secara struktur, Danantara akan bertanggung jawab langsung kepada Presiden Indonesia. Lembaga ini juga akan diaudit setiap tahun oleh auditor independen, sama seperti Temasek dan Khazanah. Pada tahun keuangan 2023, Temasek diaudit oleh PriceWaterhouseCoopers (PWC) dan Khazanah oleh Ernst & Young (EY).
Meskipun banyak pihak juga menyoroti dalam beleid perubahan Undang-Undang BUMN, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa secara langsung melakukan audit, harus melalui permintaan DPR atau pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
Oleh karena itu, masyarakat harus ikut memantau kinerja Danantara, karena jika lembaga ini gagal, masyarakat luas juga akan terdampak.
Kita harus belajar dari berbagai skandal fraud yang melibatkan SWF seperti 1Malaysia Development Berhad (1MDB), Libyan Investment Authority, Fundo Soberano de Angola, hingga Venezuela National Development Fund.
Kelemahan kontrol dan pengawasan membuat oknum-oknum yang tidak berintegritas menggunakan dana SWF untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Dengan berbagai catatan tersebut, transparansi dan good corporate governance menjadi krusial apabila Danantara ingin unggul di panggung internasional.
Berbagai lapisan masyarakat juga sudah memberi peringatan dengan gerakan "Indonesia Gelap". Tentu kita tidak ingin kegelapan itu benar-benar terjadi, oleh karena itu pemerintah juga perlu adaptif terhadap masukan dan kritik berbagai pihak.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Danantara, Mengejar Solusi atau Ambisi?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya