Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Rini Wulandari
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Rini Wulandari adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Tren Vlogger Kuliner, antara Viralitas dan Etis

Kompas.com - 15/04/2025, 17:18 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Dunia Kuliner kiini tak sekadar tentang rasa dan penyajian makanan, tetapi mesti menarik karena kebutuhan konten-konten vlogging.

Kadangkala karena mengejar viralitas sebagai bagian dari algoritma dunia digital di medsos, seorang vlogger kuliner seringkali melanggar yang tabu demi tujuan tersebut. 

Dengan "kebutuhan" orang mendapatkan informasi yang cepat, sehingga seorang vlogger bermanfaat bisa membagikan rekomendasi tempat makan, jenis makanan, dan pengalaman menikmati kuliner, dan kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari kita. 

Harus diakui kita sering mengandalkan vlog kuliner sebagai referensi dalam mencari tempat makan yang menarik, aman, sehat, dan tentunya terjangkau. 

Namun, fenomena ini juga membawa tantangan baru, terutama bagi mereka yang hanya berfokus pada viralitas daripada keakuratan dan kebaikan dalam memberikan informasi.

Viralitas yang Mengaburkan Tujuan

Vlog kuliner memang kerap kali mengundang perhatian dengan cara-cara yang unik dan menarik. Tak jarang, vlogger kuliner berlomba-lomba membuat konten yang mencolok, dengan tujuan agar video mereka mendapat banyak penonton dan komentar.

Kadang-kadang terlibat sangat berlebihan, terutam jika sudah menyangkut-endorsment karena harus mengikuti tuntutan "pengorder".

Namun, dalam keinginan untuk viral, banyak vlogger yang terjebak dalam jebakan sensasionalisme yang hanya mengutamakan klik dan jumlah tayangan, tanpa mempertimbangkan kualitas dan kebenaran informasi yang mereka berikan.

Akibatnya, kita sebagai penonton sering kali disuguhkan dengan rekomendasi tempat makan atau jenis kuliner yang belum tentu aman, sehat, atau terjangkau.

Penyajian makanan yang sangat berlebihan atau bahkan eksentrik, tanpa penjelasan yang memadai mengenai bahan atau cara penyajiannya, bisa menimbulkan kebingungan bagi penonton. Apalagi jika vloggernya datang dari latar yang tidak siap kapasitas sebagai seorang yang semestinya mereview--setidaknya dengan benar.

Misalnya, ketika vlogger menunjukkan makanan dengan tampilan yang sangat menarik tetapi tidak memberikan informasi tentang kandungan gizi atau kualitas bahan makanan tersebut, banyak penonton yang bisa terjebak dalam bayang-bayang popularitas tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap kesehatan.

Atau menjadikan makanan tersebut sebagai rekomendasi tapi justru membuatnya rugi dari sisi finansial dan juga kesehatan.

Kritik terhadap Vlogger Kuliner yang Asal-asalan

Dari perspektif kritis, banyak vlogger kuliner yang seharusnya bertanggung jawab dalam menyampaikan rekomendasi kuliner dengan lebih bijak.

Keinginan untuk mendapatkan banyak like dan komentar sering kali membuat beberapa vlogger menampilkan konten yang hanya mengedepankan sensasi, tanpa memperhatikan apakah makanan yang mereka tampilkan benar-benar sehat dan aman dikonsumsi oleh banyak orang.

Bukan sebuah rahasia jika viralitas menjadi mantra yang membuat seorang vlogger asal-asalan atau tak memiliki informasi cukup untuk sebuah kuliner yang diulasnya.

Salah satu contoh yang sering ditemui adalah promosi makanan dengan kandungan tinggi gula, garam, atau lemak jenuh yang tidak seimbang dengan nilai gizi yang seharusnya diperhatikan dalam pola makan sehat.

Tak jarang juga, tempat-tempat makan yang dipromosikan tidak memenuhi standar kebersihan atau kesehatan, tetapi karena faktor viralitas dan penampilan yang menarik, banyak orang yang tergoda untuk mengunjunginya tanpa mengetahui potensi risikonya. Padahal, makanan yang sehat dan aman untuk dikonsumsi seharusnya menjadi prioritas utama, bukan hanya soal tampilan atau kepopuleran tempat tersebut.

Mungkin akan lagi pertimbangannya jika review itu berkaitan dengan eksperimen sosial atau bagian dari upaya mendukung donasi, sehingga faktor kelayakan tempat bisa saja "terabaikan" karena niat utamanya membantu si pedagang.

Meskipun sebagai penonton harus ekstra hati-hati ketika harus mencoba rekomendasi kulinernya.

Bijak Merekomendasi sebagai Prioritas

Sebagai vlogger kuliner yang memiliki pengaruh--semacam publik figur jadinya, seharusnya mereka tidak hanya fokus pada jumlah views atau keuntungan materi dari sponsor, tetapi lebih bijak dalam memberikan rekomendasi yang berguna bagi penonton. 

Seharusnya, rekomendasi yang diberikan haruslah mencakup aspek-aspek penting seperti keamanan, kesehatan, dan keterjangkauan. Hal ini bisa dimulai dengan memberikan informasi yang jelas mengenai bahan makanan yang digunakan, kebersihan tempat makan, dan pengaruh konsumsi makanan tersebut terhadap kesehatan jangka panjang.

Apalagi dengan kondisi dimana komposisi makanan yang tidak sehat semakin banyak--terutama penggunaan bahan pengawet, kadar gula tinggi atau jenis gula dalam versi lain yang juga tidak sehat bagi penderita penyakit tertentu.

Selain itu, vlogger kuliner juga mesti lebih terbuka dalam memberikan kritik yang konstruktif terhadap tempat makan yang mereka ulas.

Bukan berarti mereka harus selalu memberikan ulasan negatif, tetapi lebih kepada transparansi dalam menyampaikan kelebihan dan kekurangan dari setiap tempat makan atau jenis kuliner yang direkomendasikan. 

Dengan cara ini, penonton akan merasa lebih bijak dalam memilih makanan, tanpa terjebak dalam sensasi yang hanya mengutamakan viralitas semata.

Keterjangkauan harga juga menjadi hal yang tak kalah penting. Bukan hanya makanan dengan harga mahal yang bisa disebut berkualitas, tetapi banyak makanan sehat dan enak yang bisa ditemukan dengan harga yang sangat terjangkau.

Oleh karena itu, vlogger kuliner harus memperkenalkan kepada penonton bahwa makan sehat tidak selalu berarti mahal, dan banyak tempat yang menawarkan makanan berkualitas dengan harga yang ramah di kantong.

Vlog kuliner memang menjadi platform yang sangat potensial untuk berbagi informasi, tetapi harus disikapi dengan bijak.

Vlogger kuliner yang hanya mengedepankan viralitas tanpa memperhatikan aspek kesehatan, keamanan, dan keterjangkauan dapat berisiko membingungkan penonton yang ingin mencari tempat makan yang tepat. 

Oleh karena itu, penting bagi setiap vlogger kuliner untuk bertanggung jawab atas setiap informasi yang mereka bagikan, memberikan ulasan yang lebih mendalam dan kritis, serta menekankan pentingnya kesehatan dan keberlanjutan dalam konsumsi makanan.

Sebagai bagian dari jurnalisme warga-bertanggungjawab atas konten adalah sesuatu yang harus dijaga dan dijunjung tinggi demi manfaat bagi orang lain-bukan malah menyebar mudharat atau kerugian.

Dalam hal ini, keberhasilan bukan hanya diukur dari banyaknya views, tetapi dari dampak positif yang bisa dihasilkan bagi masyarakat.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kritik terhadap Vlogger Kuliner Pengikut Tren, antara Viralitas dan Etis"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

6 Tips Memilih Kambing yang Cukup Umur untuk Kurban

6 Tips Memilih Kambing yang Cukup Umur untuk Kurban

Kata Netizen
Bagaimana Cara Glow Up dan Memilih Kosmetik Sesuai 'Skin Tone'?

Bagaimana Cara Glow Up dan Memilih Kosmetik Sesuai "Skin Tone"?

Kata Netizen
Kapan Waktu yang Tetap untuk Memulai Investasi?

Kapan Waktu yang Tetap untuk Memulai Investasi?

Kata Netizen
'Deep Talk' Ibu dengan Anak Laki-laki Boleh, Kan?

"Deep Talk" Ibu dengan Anak Laki-laki Boleh, Kan?

Kata Netizen
Santo Fransiskus, Sri Paus, dan Ajaran Keteladanan

Santo Fransiskus, Sri Paus, dan Ajaran Keteladanan

Kata Netizen
Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca

Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca

Kata Netizen
Ujian Pernikahan Itu Ada dan Nyata

Ujian Pernikahan Itu Ada dan Nyata

Kata Netizen
Kembalinya Penjurusan di SMA, Inikah yang Dicari?

Kembalinya Penjurusan di SMA, Inikah yang Dicari?

Kata Netizen
Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film 'Jumbo'

Potensi Animasi dan Kerja Kolaborasi Pasca Film "Jumbo"

Kata Netizen
Apa yang Berbeda dari Cara Melamar Zaman Dulu dan Sekarang?

Apa yang Berbeda dari Cara Melamar Zaman Dulu dan Sekarang?

Kata Netizen
Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Cerita dari Subang, tentang Empang dan Tambak di Mana-mana

Kata Netizen
Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Benarkan Worklife Balance Sekadar Ilusi?

Kata Netizen
Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Langkah-langkah Memulai Usaha di Industri Pangan

Kata Netizen
Urbanisasi, Lebaran, dan 'Bertahan' di Jakarta

Urbanisasi, Lebaran, dan "Bertahan" di Jakarta

Kata Netizen
Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Proses Baru Karantina di Indonesia, Apa Dampaknya?

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau