Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Krisanti_Kazan
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Krisanti_Kazan adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Hari Anak Nasional 2025, Brain Rot, dan Brain Boost

Kompas.com - 23/07/2025, 14:18 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Hari Anak Nasional yang jatuh setiap 23 Juli terus menjadi pengingat kita tentang bagaimana masa depan anak-anak nanti.

Oleh karena itu, kita tidak bisa menyederhanakannya begitu saja tentang apa saja hal-hal yang dapat memengaruhi kualitas anak-anak hari ini.

Maka, dengan mengusung tema "Anak Hebat, Indonesia Kuat Menuju Indonesia Emas 2045", peringatan ini menjadi ajakan bagi semua pihak.

Orang tua, guru, pemerintah, hingga masyarakat digital perlu bergerak bersama guna membentuk generasi unggul yang siap menghadapi zaman. 

Namun, bagaimana jika anak-anak dari masa depan itu kini dipenuhi oleh konten viral yang dangkal, algoritma adiktif, dan nilai-nilai kosong?

Fenomena brain rot, yaitu kemunduran daya pikir dan minat belajar akibat konsumsi konten instan secara berlebihan, semakin mengintai anak-anak kita. 

Maka, pertanyaan penting pun muncul: apakah kita sedang menulis masa depan yang kuat, atau justru menghapusnya secara perlahan melalui layar yang terus menyala? 

Brain Rot, Ancaman Nyata di Era Digital

Di balik kemudahan akses informasi dan hiburan yang ditawarkan internet, terdapat sisi gelap yang mulai meresap diam-diam dalam kehidupan anak-anak: brain rot.

Istilah ini merujuk pada kondisi menurunnya fungsi kognitif, konsentrasi, dan minat belajar akibat paparan konten digital yang berlebihan, dangkal, dan adiktif. 

Fenomena ini semakin nyata ketika anak-anak lebih hafal nama selebgram daripada pahlawan nasional, lebih tertarik menonton video lucu berdurasi 15 detik daripada membaca cerita bergizi yang bisa menumbuhkan empati dan imajinasi.

Apa yang terlihat sepele—seperti scrolling TikTok atau YouTube Shorts selama berjam-jam—sebenarnya berdampak besar terhadap cara otak anak bekerja. 

Konten cepat saji yang mengutamakan hiburan instan mendorong anak untuk selalu mencari sensasi baru dan cepat bosan terhadap hal-hal yang membutuhkan proses dan konsentrasi. 

Mereka kehilangan daya tahan belajar, sulit fokus, dan cenderung pasif dalam berpikir.

Lebih mengkhawatirkan lagi, banyak dari mereka mengembangkan sikap apatis, mudah terprovokasi, dan rendah empati karena terbiasa dengan interaksi yang serba singkat dan artifisial.

Sebagai catatan, menurut laporan Common Sense Media, anak-anak dan remaja menghabiskan rata-rata lebih dari 7 jam per hari di depan layar, di luar kebutuhan belajar. 

Sementara di Indonesia, riset dari APJII (2024) menunjukkan bahwa lebih dari 60% pengguna internet aktif adalah anak usia 10–19 tahun, dan sebagian besar mengakses media sosial tanpa pendampingan.

Ini bukan lagi sekadar gaya hidup digital, tapi sinyal bahwa generasi muda kita sedang menghadapi krisis daya pikir yang mendesak.

Brain rot bukan soal melarang teknologi. Ini soal bagaimana teknologi digunakan. Dan jika tidak disikapi serius, kita bisa saja menyaksikan generasi yang mahir meniru, tapi tak mampu berpikir mandiri. 

Anak Hebat Butuh Brain Boost, Bukan Sekadar Asupan Konten

Mimpi besar menuju Indonesia Emas 2045 tidak cukup hanya dengan menghasilkan anak-anak yang akrab dengan teknologi. Anak hebat adalah anak yang mampu mengelola pikirannya, bukan sekadar mengikuti arus konten. 

Untuk itu, mereka membutuhkan brain boost—stimulus yang memperkuat kemampuan berpikir kritis, membangun imajinasi, dan menumbuhkan empati.

Brain boost tidak datang dari layar, melainkan dari interaksi bermakna, kegiatan aktif, dan lingkungan yang kaya stimulasi positif. Anak-anak membutuhkan pengalaman membaca buku cerita yang membuat mereka berimajinasi, berdiskusi tentang hal-hal yang sedang mereka lihat di internet, bermain di alam terbuka, atau bahkan membuat karya dari ide-ide sederhana yang mereka miliki. 

Semua ini memperkuat koneksi otak yang membuat mereka mampu berpikir jangka panjang, memahami sebab-akibat, dan membedakan mana informasi yang bermanfaat dan mana yang hanya sensasi sesaat.

Dalam hal ini, peran orang tua dan guru sangat krusial. Orang tua perlu lebih hadir, bukan sekadar hadir secara fisik, tetapi juga hadir secara emosional dan intelektual—menjadi teman berdiskusi yang kritis dan bijak terhadap penggunaan teknologi. 

Guru pun dituntut untuk tidak hanya mentransfer pengetahuan, tetapi juga menjadi fasilitator yang menghubungkan pelajaran dengan dunia nyata dan dunia digital yang mereka kenal.

Langkah kecil seperti mengajak anak berdiskusi tentang konten yang mereka tonton, mengenalkan podcast atau buku bergambar yang sesuai usia, hingga mengajak mereka membuat konten positif sendiri, bisa menjadi cara sederhana namun berdampak besar dalam memberikan brain boost.

Di sinilah pendidikan karakter dan literasi digital harus berjalan beriringan—karena anak yang hebat tidak hanya bisa membaca buku, tapi juga bisa “membaca dunia”. 

Kolaborasi Menuju Indonesia Emas 2045

Membangun generasi hebat tidak bisa dilakukan oleh satu pihak saja. Menuju Indonesia Emas 2045 adalah perjalanan panjang yang memerlukan kolaborasi seluruh ekosistem: keluarga, sekolah, masyarakat, pemerintah, hingga penyedia platform digital. 

Semua memiliki peran penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara utuh—baik secara kognitif, emosional, maupun sosial.

Di lingkup keluarga, orang tua memegang peran utama sebagai "gatekeeper" konsumsi konten anak. Pendampingan yang konsisten, dialog terbuka tentang apa yang mereka lihat di internet, serta penanaman nilai-nilai kritis sejak dini adalah fondasi penting. 

Sementara di sekolah, guru dan tenaga pendidik perlu beradaptasi dengan gaya belajar generasi digital tanpa kehilangan esensi pendidikan karakter dan nalar berpikir. 

Sekolah juga bisa menjadi ruang aman bagi anak untuk belajar memilah informasi dan menumbuhkan rasa ingin tahu melalui pendekatan yang kreatif dan relevan.

Pemerintah dan lembaga terkait dapat memperkuat ekosistem ini dengan menyediakan akses literasi digital yang merata, menyusun kebijakan perlindungan anak di ruang siber, serta mendukung gerakan-gerakan yang mengedukasi publik tentang pentingnya penggunaan teknologi secara sehat. 

Tak kalah penting, platform digital sebagai ruang yang paling sering diakses anak-anak, juga harus memiliki komitmen dalam menyediakan fitur edukatif, memfilter konten yang merusak, dan menampilkan narasi-narasi inspiratif yang memperkuat karakter positif.

Sudah saatnya kita bergerak bersama, tidak hanya mengandalkan pendidikan formal, tapi juga pendidikan sosial dan digital. Anak hebat tidak lahir dari larangan dan pengawasan semata, tetapi dari lingkungan yang memfasilitasi eksplorasi sehat, penuh makna, dan arah yang jelas. 

Mimpi Indonesia Emas 2045 hanya akan menjadi kenyataan jika hari ini kita mampu menjaga kejernihan pikiran anak-anak dari keruhnya dunia digital.

***

Peringatan Hari Anak Nasional 2025 bukan sekadar seremoni tahunan, melainkan alarm sosial yang mengingatkan kita semua bahwa masa depan Indonesia sangat bergantung pada bagaimana kita memperlakukan dan membimbing anak-anak hari ini. 

Di tengah derasnya arus digital, kita tidak bisa hanya berharap anak-anak tumbuh hebat dengan sendirinya. Kita perlu hadir, membimbing, dan menyiapkan ruang-ruang aman dan sehat bagi mereka untuk berpikir, berproses, dan berkembang.

Dari brain rot ke brain boost, dari anak yang sekadar menjadi konsumen konten menjadi anak yang kritis, kreatif, dan berkarakter—proses ini tidak instan, tetapi sangat mungkin dicapai jika kita bergerak bersama. 

Keluarga, sekolah, pemerintah, komunitas, hingga penyedia platform digital memiliki andil besar dalam menentukan arah langkah generasi masa depan.

Mari jadikan Hari Anak Nasional sebagai titik balik. Bukan hanya untuk merayakan keberadaan anak-anak, tetapi untuk menguatkan komitmen kita menjadikan mereka anak hebat—yang mampu membawa Indonesia menuju masa depan yang kuat, cerdas, dan bermartabat.

Karena setiap klik, setiap tayangan, dan setiap percakapan hari ini adalah investasi bagi Indonesia 2045.

Saatnya kita bantu anak-anak menulis masa depan mereka dengan isi kepala yang jernih dan hati yang tangguh.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Hari Anak Nasional, dari Brain Rot ke Brain Boost, Demi Indonesia Emas 2045"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Hari Anak Nasional 2025, Brain Rot, dan Brain Boost
Hari Anak Nasional 2025, Brain Rot, dan Brain Boost
Kata Netizen
Terlalu Banyak Konsumsi Gula dan Dampaknya Pada Waktu Tidur
Terlalu Banyak Konsumsi Gula dan Dampaknya Pada Waktu Tidur
Kata Netizen
Prinsip Finansial agar Dompetmu Tidak Boncos
Prinsip Finansial agar Dompetmu Tidak Boncos
Kata Netizen
Antara Uang Suami-Istri, Terselip Hidup Keluarga Sandwich
Antara Uang Suami-Istri, Terselip Hidup Keluarga Sandwich
Kata Netizen
Lewat Satu Genggaman, Toko Buku Bisa Terselamatkan
Lewat Satu Genggaman, Toko Buku Bisa Terselamatkan
Kata Netizen
Jadi Begini Rasanya 20 Bulan Pakai Mobil Listrik...
Jadi Begini Rasanya 20 Bulan Pakai Mobil Listrik...
Kata Netizen
Melihat Tolerasi dan Uniknya Ma'papura di Tana Toraja
Melihat Tolerasi dan Uniknya Ma'papura di Tana Toraja
Kata Netizen
Lebih Mending Mana, Lari atau Jalan Kaki?
Lebih Mending Mana, Lari atau Jalan Kaki?
Kata Netizen
Semua Serba Digital, tetapi Lebih Sering 'Sok Tahu'
Semua Serba Digital, tetapi Lebih Sering "Sok Tahu"
Kata Netizen
Selain 'Ramah', Apa yang Dibutuhkan Siswa Baru saat MPLS?
Selain "Ramah", Apa yang Dibutuhkan Siswa Baru saat MPLS?
Kata Netizen
Kalau Sudah 'Uang Kita', Apakah Suami akan Malas Bekerja?
Kalau Sudah "Uang Kita", Apakah Suami akan Malas Bekerja?
Kata Netizen
Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?
Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?
Kata Netizen
Drama-drama yang Terjadi Hari Pertama Masuk Sekolah
Drama-drama yang Terjadi Hari Pertama Masuk Sekolah
Kata Netizen
Tentang Anggaran pada Awal Tahun Ajaran Sekolah
Tentang Anggaran pada Awal Tahun Ajaran Sekolah
Kata Netizen
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau