
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
“Ibu kok ninggalin anak?”
“Harusnya weekend buat keluarga, bukan buat tidur sendirian.”
Aku bukan ibu yang jahat. Aku hanya ingin tidur tanpa tangisan, dan minum kopi tanpa teriakan rebut mainan.
Tetapi di mata banyak orang, keputusan ngamar sendirian bisa dianggap dosa.
***
Tekanan Tak Terucap: Standar Ibu yang Sempurna
Menjadi ibu di era media sosial kadang terasa seperti ikut lomba tanpa garis akhir.
Setiap hari kita disuguhi potret “ibu ideal”: rumah rapi, anak tertawa, wajah selalu tersenyum.
Akan tetapi di balik layar, banyak ibu yang nyaris tumbang karena lelah menyeimbangkan segalanya.
Penelitian internasional menunjukkan, sekitar 65–70 persen orang tua bekerja mengalami kelelahan emosional (burnout) akibat tekanan ganda antara pekerjaan dan pengasuhan anak.
Jika di Indonesia, tren yang sama juga terlihat—banyak ibu bekerja yang menghadapi stres kronis karena tuntutan peran yang tak pernah selesai.
Sayangnya, empati terhadap kondisi itu masih jarang. Begitu tahu saya “healing sendirian di hotel,” komentar yang muncul justru seperti: “Kok bisa tega ninggalin anak?” atau “Suami nggak marah?”
Lucunya, jarang ada yang bertanya, “Kamu capek nggak?” atau “Kamu butuh didengar?”
Titik Jenuh dan Hak untuk Menepi
Sore itu, saya duduk di tepi ranjang hotel, menatap langit mendung di balik jendela besar.
Tak ada suara televisi anak-anak.
Tak ada aroma nasi gosong karena multitasking di dapur.
Hanya saya, segelas milkshake, dan roti bakar sederhana—yang terasa sangat istimewa karena dinikmati tanpa tergesa.
Sebelum berangkat, suami sudah tahu rencana ini. Ia hanya berkata pelan,
“Mama santai aja, Papah jagain anak-anak.”
Kalimat sederhana itu terasa seperti izin untuk bernapas. Tak lama kemudian, kakak saya mengirim pesan singkat:
“Enjoy ya, kamu pantas istirahat.”
Saya membaca pesan itu sambil tersenyum. Rasanya seperti ada yang memahami—bahwa kadang, cara terbaik mencintai keluarga adalah dengan memulihkan diri sendiri dulu.
Me Time Bukan Egoisme, Itu Bentuk Cinta Diri
Masih banyak yang menganggap me time sebagai bentuk pelarian. Padahal, menurut psikolog klinis Tiara Puspita, self-care bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar agar keseimbangan emosional tetap terjaga.
Ibu yang tidak diberi ruang istirahat justru berisiko kehilangan kendali emosi—dan dampaknya bisa dirasakan seluruh keluarga.
Penelitian lokal juga menunjukkan bahwa semakin sering seorang ibu melakukan self-care, semakin baik pula kemampuannya mengelola stres pengasuhan.
Maka, dengan kata lain, waktu untuk diri sendiri bukan pelarian—melainkan investasi kecil agar tetap utuh, sehat, dan bahagia.
Saya teringat kalimat dari seorang konselor yang pernah saya dengar:
“Ibu yang menolak istirahat sebenarnya sedang menabung kelelahan untuk besok.”
Dan saya pernah merasakannya—marah hanya karena tumpahan susu, menangis karena suara tangisan anak terasa begitu bising di kepala. Saat itu saya sadar: saya tidak butuh nasihat, saya butuh jeda.
Pulang dengan Versi Diri yang Lebih Tenang
Keesokan paginya, saya bangun tanpa alarm, tanpa tangisan, tanpa terburu-buru.
Saya membuka gorden, membiarkan matahari pagi masuk lembut ke kamar.
Rasanya seperti hidup kembali berjalan pelan, setelah sekian lama terasa seperti lomba maraton tanpa garis akhir.
Saat pulang ke rumah, anak-anak langsung memeluk saya. Suami tersenyum dan bertanya,
“Tidurnya cukup?”
Saya menjawab, “Cukup. Aku siap lagi.” Jawaban sederhana, tapi mengandung rasa syukur yang dalam.
Malamnya saya menulis di ponsel: “Ternyata tidak ada yang salah dari mencari jeda. Ibu yang waras adalah hadiah terbaik bagi anak-anaknya.”
Sadar dan Penuh Kasih
Mungkin bagi sebagian orang, menginap sendirian di hotel terdengar seperti bentuk pelarian.
Tapi bagi banyak ibu, itu adalah cara paling sederhana untuk tetap bertahan.
Kita sering lupa, cinta juga butuh tenaga. Dan tenaga itu hanya tumbuh dari hati yang diberi ruang untuk beristirahat.
Jadi, jika suatu hari kamu merasa ingin melepaskan sejenak peranmu sebagai ibu, jangan buru-buru merasa bersalah.
Kamu bukan egois. Kamu hanya manusia—yang ingin tetap utuh agar bisa terus mencintai dengan sadar.
Untuk menjadi ibu yang baik, kadang kita perlu berhenti sejenak. Agar bisa kembali, dengan hati yang penuh.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ngamar Sendiri di Hotel: Dosa atau Hak Ibu untuk Waras?"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang