
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Masihkah ada ruang yang menerima kita apa adanya—tanpa denda, tanpa syarat berlapis, dan tanpa banyak tanya—di tengah dunia yang kian serba cepat dan kaku?
Saya tidak menyangka masih mengingat nomor kartu anggota perpustakaan ini. Sudah lebih dari sepuluh tahun berlalu sejak terakhir kali berkunjung, tetapi kartu keanggotaan itu rupanya belum kehilangan daya berlakunya.
Seorang petugas bernama Edi dengan sabar memeriksa data saya, hanya bermodal nama lengkap. Dalam hitungan detik, riwayat peminjaman lama itu muncul kembali di layar.
“Mulai pinjam tahun 2008,” katanya.
Saya tertawa kecil, setengah membantah, setengah bernostalgia. “Sepertinya itu kartu kedua atau ketiga, Mas.
Tahun 2001–2002 saya sudah sering pinjam juga,” ujar saya, lebih karena ingin diakui sebagai pembaca lama daripada sekadar meluruskan data.
Perpustakaan Kabupaten Semarang memang menyimpan banyak jejak awal kegemaran membaca saya.
Di tempat inilah pertama kali saya bertemu karya Dewi Lestari dan menghabiskan waktu berjam-jam bersama buku-buku Meg Cabot. Awal 2000-an, saat ponsel pintar belum merajai kehidupan, datang ke perpustakaan berarti datang semata-mata untuk membaca.
Bangunannya mungkin sederhana jika dibandingkan perpustakaan megah di kota-kota besar.
Namun, bagi saya, di sinilah banyak kebahagiaan kecil pernah tumbuh—dari halaman ke halaman buku yang dipinjam.
Pulang Kampung dan Pulang ke Buku
Sudah lebih dari sepekan saya berada di kampung halaman. Salah satu kegelisahan saat pulang kampung adalah meninggalkan koleksi buku di rumah.
Dua buku yang saya bawa terasa cepat habis. Dalam situasi seperti itu, perpustakaan selalu menjadi jawaban paling masuk akal.
Gedungnya kini telah berubah. Lokasinya masih sama, tetapi sejak renovasi pada 2012, bangunan ini menjadi dua lantai.
Perpustakaan berada di lantai dua, sementara lantai lainnya difungsikan sebagai ruang arsip dan kantor. Wajahnya lebih modern, dengan warna yang lebih terang dan suasana yang lebih lapang.
Jumlah koleksi bukunya memang tidak berlebihan, tetapi cukup untuk mengobati dahaga bacaan warga sekitar.
Menurut Edi, setiap minggu ada sekitar 50 hingga 70 buku yang dipinjam. Angka itu pernah jauh lebih tinggi sebelum pandemi, yang memaksa jam operasional dipangkas dan suasana menjadi lebih lengang.
Perpustakaan yang Ramah dan Pemaaf
Saya menyebut tempat ini “paling pemaaf” bukan tanpa alasan. Kini tidak ada lagi sistem denda bagi keterlambatan pengembalian buku.
Barangkali ini cara mereka mendekatkan diri kembali kepada masyarakat. Di masa ketika perhatian orang mudah teralihkan oleh layar ponsel, mengajak orang datang dan membaca saja sudah merupakan pencapaian.
Di tengah keterbatasan, perpustakaan ini tetap berupaya merangkul. Setiap bulan, mereka rutin mengadakan pelatihan gratis—mulai dari bahasa Inggris, menulis, hingga keterampilan kerajinan tangan.
Pesertanya beragam, dari anak muda hingga orang tua. Tak heran, di antara rak buku terselip hasil-hasil kerajinan tangan, termasuk produk enceng gondok dari warga sekitar Banyubiru serta batik karya perajin lokal.
Meski tidak luas, fasilitasnya terbilang lengkap: ruangan ber-AC, Wi-Fi, toilet, hingga musala.
Keanggotaan lama saya tetap diakui, dan saya masih diizinkan meminjam buku. Alasan lain mengapa tempat ini terasa begitu ramah.
Bahkan Wi-Fi-nya bisa diakses bebas, tanpa kata sandi. Dari sekian banyak perpustakaan yang pernah saya kunjungi, ini mungkin satu-satunya yang melakukan itu.
Tanpa denda, tanpa batas keanggotaan, dan tanpa password—sulit mencari sebutan lain selain “pemaaf”.
Rak Sastra dan Sebuah Pinjaman Kecil
Saya datang pada hari Sabtu, beberapa jam sebelum tutup. Sabtu memang hanya buka setengah hari, cukup singkat untuk berlama-lama.
Beberapa anak tampak asyik membaca, sebagian sibuk dengan laptop, sementara yang lain lalu-lalang meminjam dan mengembalikan buku.
Seperti biasa, rak sastra langsung menarik perhatian saya. Setelah menimbang beberapa judul, pilihan jatuh pada 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009.
Batas peminjaman hanya dua buku dengan waktu satu minggu, cukup adil untuk berbagi ruang dengan pembaca lain.
Buku itu terlihat lebih tua dari usianya. Kertas menguning, sampul tidak lagi sempurna, dan bercak waktu hadir di banyak halaman.
Meski begitu, perpustakaan ini tetap memiliki anggaran pengadaan buku baru setiap tahun, meski jumlahnya kini lebih terbatas. Mereka juga menyediakan kotak saran, memberi kesempatan pengunjung mengusulkan judul-judul baru untuk melengkapi rak.
Saya sempat mencoba Wi-Fi mereka—dan cukup terkejut karena kecepatannya justru melampaui beberapa perpustakaan di kota besar.
Mungkin karena pengguna lebih sedikit, mungkin karena akhir pekan. Apa pun alasannya, ini patut diapresiasi.
Keberadaan Perpustakaan Kabupaten Semarang menjadi penanda bahwa akses terhadap ilmu pengetahuan dan internet seharusnya bukan lagi kemewahan. Ia hadir sebagai ruang publik yang terbuka dan bersahabat.
Saya pulang dengan satu buku pinjaman dan segenggam kenangan. Banyak hal yang saya hutangi dari tempat ini—kegemaran membaca, rasa ingin tahu, dan kenangan masa kecil.
Tak ada doa lain selain harapan agar perpustakaan ini terus hidup, tetap ramai, dan tidak kehilangan tempatnya di tengah perubahan zaman.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sowan ke Perpustakaan Paling Pemaaf di Kabupaten Semarang"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang