
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejauh mana sistem pengangkutan sampah di Jakarta telah benar-benar memperhatikan ketepatan waktu, keselamatan petugas, dan kenyamanan publik?
Pertanyaan ini kembali relevan menyusul kabar duka meninggalnya seorang sopir truk sampah akibat antrean panjang saat bongkar muat di TPST Bantargebang.
Peristiwa ini membuka kembali diskusi tentang bagaimana pengelolaan sampah ibu kota dijalankan, tidak hanya dari sisi teknis, tetapi juga dari sisi kemanusiaan.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta menyatakan tengah melakukan evaluasi internal, termasuk menata ulang sistem antrean dan jadwal pengangkutan sampah dari lima wilayah kota.
Langkah ini diharapkan dapat menciptakan arus pembuangan yang lebih stabil sekaligus menghadirkan kondisi kerja yang lebih manusiawi bagi para petugas di lapangan.
Evaluasi tersebut patut diapresiasi, mengingat pengelolaan sampah Jakarta merupakan pekerjaan besar yang melibatkan ribuan orang dan volume sampah yang tidak sedikit.
Sejak beberapa tahun lalu, Jakarta sebenarnya telah memiliki fleksibilitas dalam pengangkutan sampah. Sistem pengiriman menuju Bantargebang dapat dilakukan selama 24 jam melalui jalur tertentu, sebuah kebijakan yang semestinya mendukung efisiensi.
Maka, dengan produksi sampah harian yang mencapai 7.500 hingga 8.000 ton, sistem yang berjalan nyaris tanpa jeda waktu menjadi kebutuhan mutlak.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa fleksibilitas tersebut belum sepenuhnya diterjemahkan menjadi ketepatan waktu yang konsisten.
Dalam praktiknya, pengumpulan sampah dari wilayah-wilayah administrasi Jakarta kerap berlangsung lebih lambat dari jadwal ideal.
Truk-truk yang seharusnya sudah bergerak menuju Bantargebang pada pagi hari, masih tertahan karena proses pengumpulan yang belum selesai.
Akibatnya, sampah menumpuk di sejumlah titik, bau tak sedap menyebar, dan kehadiran truk sampah di jam sibuk turut memperberat lalu lintas. Situasi ini tentu merugikan banyak pihak, mulai dari warga, pengguna jalan, hingga para petugas itu sendiri.
Menariknya, persoalan ini bukan disebabkan oleh keterbatasan armada. DLH DKI Jakarta dalam beberapa tahun terakhir justru telah melakukan modernisasi dengan menghadirkan truk-truk compactor berkapasitas besar yang lebih ramah lingkungan dan mampu menekan bau selama pengangkutan.
Bahkan, armada truk sampah bertenaga listrik mulai dioperasikan sebagai bagian dari komitmen pengurangan emisi.
Dukungan teknologi dan sarana yang relatif memadai, persoalan utama tampaknya terletak pada manajemen waktu dan koordinasi operasional.