Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara ideal semestinya diikuti dengan inflasi yang rendah. Akan tetapi, menjodohkan kedua tujuan ini bukan perkara mudah.
Jika melihat Indonesia ke belakang pada saat zaman kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), laju ekonomi pada saat itu mencapai angka yang tinggi meski disertai inflasi yang tinggi pula.
Berbeda dengan masa SBY, pada masa pemerintahan Jokowi, pertumbuhan ekonomi tidak bisa melampaui tidak bisa melampaui pencapaian rekor saat era SBY meski di era Jokowi sukses menekan inflasi.
Dengan nilai inflasi yang rata-rata relatif rendah, pemerintahan Jokowi lebih menekankan pada pembangunan ekonomi melalui pemerataan pendapatan dan kesejahteraan. Konsekuensi dari laju inflasi yang rendah adalah pertumbuhan ekonominya juga terbatas.
Pada masa pemerintahan SBY, laju ekonomi Indonesia kerap berada di atas 6% dan pernah mencapai 6,5% di tahun 2011. Akan tetapi, prestasi itu diikuti dengan inflasi yang tinggi.
Tahun 2005 dan 2008, inflasi tahunan Indonesia sempat menyentuh 17,11% dan 11,06% secara berturut-turut. Ini menunjukkan bahwa meskipun pertumbuhan ekonomi tinggi diinginkan, namun inflasi yang tinggi juga menjadi dampak yang harus diatasi.
Di sisi lain, era kepemimpinan Jokowi menggambarkan sebuah paradoks. Meskipun pertumbuhan ekonominya tidak mampu melampaui rekor SBY, Jokowi berhasil menekan tingkat inflasi menjadi relatif rendah.
Selama hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi, catatan inflasi tahunan tidak pernah mencapai dua digit. Meskipun ada lonjakan pada tahun 2014 sebesar 8,36% dan 2022 sebesar 5,51%, angka inflasi mayoritas berkisar di bawah 3%.
Tentu dari dua era pemerintahan pemimpin Indonesia tadi tidak bisa dibandingkan secara langsung karena tantangan yang dihadapi pada tiap era berbeda. Pada satu dekade masa pemerintahan SBY, Indonesia dihadapkan pada kekhawatiran dampak dari krisis global yang bermula pada 2008.
Pada saat itu, Indonesia termasuk sedikit dari negara-negara yang mampu mempertahankan pertumbuhan ekonominya di tengah ketidakpastian global.
Tantangan berat juga muncul pada periode kepemimpinan Jokowi, di mana dunia diuji oleh pandemi Covid-19. Perekonomian global hampir mati karena aktivitas fisik dibatasi, dan pertumbuhan ekonomi pun menunjukkan angka negatif.
Selain pandemi, berbagai ketegangan geopolitik turut meramaikan panggung dunia, mulai dari perang dagang antara AS dan China hingga konflik bersenjata di Ukraina, Rusia, Palestina, dan Israel. Ketegangan tersebut juga berdampak pada persoalan ekonomi, terutama terganggunya rantai produksi yang memicu inflasi.
Pertumbuhan ekonomi yang baik tidak akan banyak berarti jika inflasinya tidak terkendali, begitupun sebaliknya. Meskipun tidak mudah, laju ekonomi tinggi kudu tetap dipacu sembari mengendalikan inflasi. Bank Indonesia menegaskan bahwa inflasi yang rendah dan stabil adalah prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Memasuki tahun 2024, pemerintah menetapkan target inflasi yang semakin rendah, berkisar antara 1,5% hingga 3,5%. Ini merupakan target yang paling rendah jika melihat sejarah target inflasi Indonesia sejak tahun 2001.
Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia, sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2023 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, ditargetkan mencapai 5,2%. Meski lebih tinggi dari realisasi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 sebesar 5,05%, angka ini menunjukkan keyakinan dalam mewujudkan kondisi ekonomi yang semakin baik.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya