Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ini merupakan kabar gembira bagi kita semua: riset terbaru dari The Global Flourishing Study (GFS) mengungkapkan Indonesia jadi negara paling sejahtera.
Laporan tersebut dipublikasikan oleh Universitas Harvard, Gallup, dan Baylor University ini menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan tertinggi di dunia.
Pertanyaan yang terlintas adalah apa yang membuat Indonesia mendapat hasil seperti itu? Padalah sehari-hari kita seperti disuguhkan berita-berita yang tidak mengenakan.
Kita terbiasa memahami kesejahteraan sebagai angka-angka statistik: GDP per kapita, indeks pembangunan manusia, atau koefisien Gini. Namun, GFS mengambil pendekatan yang lebih halus dan manusiawi.
Mereka tidak hanya menghitung pendapatan, tetapi juga mengukur bagaimana manusia memaknai hidup mereka, apakah mereka merasa bahagia, memiliki tujuan, sehat secara mental dan fisik, serta terhubung dengan sesama.
Dalam indikator semacam ini, rupanya orang Indonesia justru unggul. Skor kita 8,47, jauh di atas Jepang yang justru terjebak dalam rasa hampa meski fasilitas hidupnya serba lengkap.
Mungkin ini saatnya kita bertanya ulang: apakah makna sejahtera sudah terlalu lama dicuri oleh definisi sempit? Ketika manusia dilihat hanya sebagai mesin ekonomi, maka negara yang "sejahtera" adalah negara yang produktif, efisien, dan kompetitif.
Tetapi GFS mengembalikan kesejahteraan pada asalnya, sebagai keadaan batin yang utuh. Maka tak heran jika Indonesia, negara dengan ribuan kelompok arisan, forum RT yang aktif, dan jadwal pengajian hampir setiap malam, tampil sebagai pemenang.
Barangkali ini juga teguran lembut untuk para elite intelektual kita, yang gemar membandingkan bangsa sendiri dengan negara-negara OECD tanpa memahami substrat sosial yang membentuk masyarakat kita.
Kita sering merasa gagal hanya karena kita bukan Finlandia. Kita minder karena tidak bisa mengirim astronot, padahal mungkin kita lebih lihai membangun hubungan tetangga dan merawat orangtua. Kita terlalu lama merasa tidak bahagia karena definisi kebahagiaan selalu kita ambil dari luar negeri.
Namun tentu saja, hasil studi ini bukan tanpa catatan. Sebuah skor tidak serta merta membebaskan kita dari fakta objektif bahwa masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, pendidikan masih timpang, dan pelayanan kesehatan belum menjangkau semua lapisan.
Akan tetapi, studi ini juga tidak mengingkari itu. Ia hanya menunjukkan bahwa di tengah segala kekurangan, kita masih tahu cara bersyukur.
Kebersyukuran ini bukan sikap pasrah. Ia justru bisa menjadi modal sosial yang tak ternilai. Dalam tradisi psikologi positif, flourishing adalah keadaan ketika seseorang tidak hanya bertahan hidup, tetapi berkembang secara utuh.
Ada hal menarik, salah satu faktor penentu flourishing adalah keterlibatan dalam kegiatan komunitas dan keagamaan. Ini menjelaskan mengapa Indonesia bisa unggul. Kita adalah bangsa yang gemar berkumpul, berbagi, dan, apapun labelnya, beribadah.
Bandingkan dengan Jepang, yang meski modern, dihuni oleh generasi muda yang kesepian, relasi sosialnya dingin, dan angka bunuh dirinya tinggi. Modernitas ternyata tidak menjamin makna. Kemajuan teknologi tidak otomatis membuat orang merasa hidupnya berarti.