Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Hilman I.N
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Hilman I.N adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Indonesia dan Tingkat Kesejahteraan Tertinggi di Dunia

Kompas.com, 28 Mei 2025, 17:46 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ini merupakan kabar gembira bagi kita semua: riset terbaru dari The Global Flourishing Study (GFS) mengungkapkan Indonesia jadi negara paling sejahtera.

Laporan tersebut dipublikasikan oleh Universitas Harvard, Gallup, dan Baylor University ini menyebut Indonesia sebagai negara dengan tingkat kesejahteraan tertinggi di dunia. 

Pertanyaan yang terlintas adalah apa yang membuat Indonesia mendapat hasil seperti itu? Padalah sehari-hari kita seperti disuguhkan berita-berita yang tidak mengenakan.

Kita terbiasa memahami kesejahteraan sebagai angka-angka statistik: GDP per kapita, indeks pembangunan manusia, atau koefisien Gini. Namun, GFS mengambil pendekatan yang lebih halus dan manusiawi. 

Mereka tidak hanya menghitung pendapatan, tetapi juga mengukur bagaimana manusia memaknai hidup mereka, apakah mereka merasa bahagia, memiliki tujuan, sehat secara mental dan fisik, serta terhubung dengan sesama. 

Dalam indikator semacam ini, rupanya orang Indonesia justru unggul. Skor kita 8,47, jauh di atas Jepang yang justru terjebak dalam rasa hampa meski fasilitas hidupnya serba lengkap.

Mungkin ini saatnya kita bertanya ulang: apakah makna sejahtera sudah terlalu lama dicuri oleh definisi sempit? Ketika manusia dilihat hanya sebagai mesin ekonomi, maka negara yang "sejahtera" adalah negara yang produktif, efisien, dan kompetitif. 

Tetapi GFS mengembalikan kesejahteraan pada asalnya, sebagai keadaan batin yang utuh. Maka tak heran jika Indonesia, negara dengan ribuan kelompok arisan, forum RT yang aktif, dan jadwal pengajian hampir setiap malam, tampil sebagai pemenang.

Barangkali ini juga teguran lembut untuk para elite intelektual kita, yang gemar membandingkan bangsa sendiri dengan negara-negara OECD tanpa memahami substrat sosial yang membentuk masyarakat kita. 

Kita sering merasa gagal hanya karena kita bukan Finlandia. Kita minder karena tidak bisa mengirim astronot, padahal mungkin kita lebih lihai membangun hubungan tetangga dan merawat orangtua. Kita terlalu lama merasa tidak bahagia karena definisi kebahagiaan selalu kita ambil dari luar negeri.

Namun tentu saja, hasil studi ini bukan tanpa catatan. Sebuah skor tidak serta merta membebaskan kita dari fakta objektif bahwa masih banyak warga Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan, pendidikan masih timpang, dan pelayanan kesehatan belum menjangkau semua lapisan. 

Akan tetapi, studi ini juga tidak mengingkari itu. Ia hanya menunjukkan bahwa di tengah segala kekurangan, kita masih tahu cara bersyukur.

Kebersyukuran ini bukan sikap pasrah. Ia justru bisa menjadi modal sosial yang tak ternilai. Dalam tradisi psikologi positif, flourishing adalah keadaan ketika seseorang tidak hanya bertahan hidup, tetapi berkembang secara utuh. 

Ada hal menarik, salah satu faktor penentu flourishing adalah keterlibatan dalam kegiatan komunitas dan keagamaan. Ini menjelaskan mengapa Indonesia bisa unggul. Kita adalah bangsa yang gemar berkumpul, berbagi, dan, apapun labelnya, beribadah.

Bandingkan dengan Jepang, yang meski modern, dihuni oleh generasi muda yang kesepian, relasi sosialnya dingin, dan angka bunuh dirinya tinggi. Modernitas ternyata tidak menjamin makna. Kemajuan teknologi tidak otomatis membuat orang merasa hidupnya berarti.

Halaman:

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau