Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Suatu hari ada orangtua dari siswa S, sebut saja ibu L, terlihat begitu senang mengetahui prestasi anaknya yang mendapat ranking 10 saat penerimaan rapor hasil belajar.
Meski begitu bagi saya seorang guru, saya tahu cara siswa S belajar dan nilai-nilainya di rapor tetap tidak berubah. Tidak naik, pun tidak turun alias stagnan.
Aturan kurikulum saat ini mengatakan bahwa tidak ada pemberian ranking di rapor siswa. Artinya, Sang Guru yang mengajar siswa S menerapkan standar ganda.
Di satu sisi, Sang Guru mengaplikasikan deskripsi kemampuan murid sesuai kurikulum berlaku, namun di sisi lain guru tadi menerapkan pola rangking dari kurikulum yang lampau.
Pemberian ranking ini disampaikan secara lisan saat pembagian rapor akhir semester 1 di salah satu SMP swasta di Samarinda pada pertengahan Desember 2023, dan hal ini menimbulkan pertanyaan di benak saya.
Sejumlah asumsi muncul untuk menjelaskan mengapa Sang Guru tadi memberitahu ranking anak kepada orangtua murid. Salah satu asumsi adalah karena seringnya orangtua menanyakan tentang ranking anak.
"Bagaimana prestasi anak saya?"
"Anak saya ranking berapa?"
Pertanyaan-pertanyaan semacam ini masih sering terdengar di antara orangtua-orangtua yang berkumpul, berdiskusi tentang prestasi anak-anak mereka. Meskipun kolom ranking telah lama absen di rapor, citra prestise ranking masih belum pudar.
Bagi sebagian besar orangtua, ranking dianggap sebagai ukuran kesuksesan dalam mendidik anak. Hal ini menjadi sesuatu yang bisa mereka banggakan.
Namun, tanpa ranking, sekolah dianggap "tidak menarik" oleh mayoritas orangtua murid. Sekolah terlihat seperti rutinitas belaka, yang hanya menjadi tempat anak-anak pergi ke sekolah, belajar, pulang, dan harus menyelesaikan tumpukan PR di rumah.
Rapor diterima dengan deskripsi yang terasa seperti template dan terlalu bertele-tele, yang menurut saya, jarang dibaca oleh orangtua murid.
Asumsi kedua saya adalah karena guru ingin para muridnya lebih rajin untuk belajar demi meraih peringkat yang lebih baik di semester mendatang.
Dengan memberikan ranking, sang guru berusaha menciptakan kompetisi sehat di antara peserta didik. Tujuannya adalah agar mereka tidak hanya menjalani rutinitas harian yang membosankan, seperti belajar, mengerjakan tugas, menghadapi ujian, dan memperoleh rapor, tanpa adanya semangat kompetisi.
Dalam hal ini saya memang tidak menyalahkan sikap sang guru yang memberikan ranking, sebab memang kondisi pendidikan di kebanyakan sekolah hanya menjalankan proses belajar mengajar tanpa semangat. Jadi sang guru tadi ingin membangkitkan semangat belajar murid melalui pemberian ranking.
Namun, sebagai guru, baik di sekolah maupun sebagai "guru" bagi anak-anak di rumah, ada tiga hal yang perlu menjadi perhatian.