Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
"Tapi ku berada di lampu merah. Ku harap kau sabar untuk menunggu aku di sana. Walau ku berada di lampu merah" - (The Lantis, 2021)
Sepenggal lirik lagu tersebut telah menjadi sangat populer di tahun 2021. Lagu dari grup band indie pop ini viral di berbagai media sosial seperti TikTok dan Instagram, serta mendominasi di platform streaming musik Spotify.
Lagu "Lampu Merah" juga mengandung metafora mendalam yang menggambarkan perjalanan hidup seseorang, baik laki-laki maupun perempuan yang terhenti sejenak atau terjebak dalam situasi tertentu.
Saat berhenti inilah, seseorang akan meminta calon pasangannya untuk menunggu atau bahkan berhenti hingga waktu menemukan pasangan yang tepat tiba. Ketika seseorang berhenti sejenak dalam hidupnya, harapannya akan memberikan waktu untuk menemukan jalan keluar atau solusi agar bisa terus melanjutkan hidupnya dan bisa mengatasi segala masalah yang ada.
Layaknya lampu lalu lintas, cepat atau lambat lampu hijau akan menyala, dan kita akan segera melanjutkan perjalanan lagi dalam hidup kita hingga akhirnya tiba pada tujuan masing-masing.
Lagu "Lampu Merah" juga mencerminkan fenomena sosial yang dikenal dengan istilah "waithood". Istilah ini berasal dari bahasa Inggris, yang secara harfiah berarti "masa tunggu" atau "masa menunggu". Diane Singerman, seorang profesor di American University, dalam publikasinya yang berjudul Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East mendefinisikan waithood sebagai penundaan pernikahan yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti pendidikan, karier, dan tuntutan ekonomi keluarga (Singerman, 2007).
Di Indonesia, waithood tidak hanya merupakan fenomena lokal, melainkan juga bagian dari tren global yang mulai muncul pada abad ke-21. Bukan hanya budaya patriarki yang berperan sebagai penyebab waithood, tetapi faktor ekonomi dan kesulitan dalam membina hubungan pernikahan juga menjadi faktor utama.
Diah, seorang Mahasiswa S2 di salah satu perguruan tinggi di Jakarta misalnya, mengungkapkan bahwa, meskipun telah berpacaran cukup lama, ia tidak lagi merasa terburu-buru untuk menikah di usianya yang sudah memasuki 30 tahun. Beda Diah, beda juga Putra seorang karyawan swasta yang bekerja di Kalimantan Timur, yang melihat pernikahan sebagai langkah penting dalam meningkatkan strata sosialnya. Bahkan ia menganggap pernikahan menjadi tujuan yang harus dicapai saat ia menginjak usia 26 tahun.
Perbedaan pandangan ini yang kemudian menciptakan konstruksi baru dalam kehidupan sosial generasi Z. Beberapa individu, seperti Diah, lebih memilih fokus pada persiapan masa depan dan kehidupan ekonominya, sedangkan yang lain, seperti Putra, melihat pernikahan sebagai cara untuk meningkatkan strata sosial. Kesadaran ekonomi menjadi faktor utama bagi Diah, sementara Putra melihat pernikahan sebagai manifestasi strata sosial yang dapat memberikan keuntungan dalam kehidupan masa depan.
Data dari BPS RI (2022) menunjukkan bahwa Indonesia mengalami tren penurunan jumlah pernikahan yang cukup tajam dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Di tahun 2022, Indonesia hanya mencatatkan 1,7 juta pernikahan secara nasional, dengan usia rata-rata di atas 22 tahun dan rata-rata kelahiran anak hanya satu. Paradigma mengenai kualitas hidup setelah menikah menjadi isu penting, yang dipengaruhi oleh beberapa faktor berikut ini.
Pertama, pendidikan dan karier. Bagi kaum Gen Z pendidikan menjadi kebutuhan dasar yang dapat membantu mereka meraih harapan dan menghadapi berbagai krisis sosial dengan kematangan. Dengan pendidikan mereka akan bisa menghadapi berbagai krisis sosial yang muncul dalam bentuk berbagai kultur dan coraknya.
Oleh karenanya, sangat masuk akal apabila pendidikan dan karier bagi Gen Z masuk dalam kategori "very important" dengan jumlah 83% di berbagai belahan dunia menurut survei Gallup and Walton Family-US Youth Survey (2023).
Kedua, faktor psikologi sandwich. Umumnya mereka yang tergolong Gen Z berada pada posisi "sandwich psychology". Jika dilihat secara psikologis, para Gen Z ini memiliki tanggung jawab ganda yang artinya ia harus memenuhi kebutuhan hidup anggota keluarganya yang lain, seperti orangtua dan saudara kandungnya.
Akibatnya, ia tak lagi memiliki penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Situasi ini membuat Gen Z berada di posisi yang begitu rumit dan menjadi salah satu faktor yang membuat mengapa banyak dari mereka memutuskan untuk menunda pernikahan.
Ketiga, merasa sulit menemukan pasangan yang cocok. Menemukan pasangan yang sesuai dengan kriteria juga menjadi tantangan tersendiri, terutama bagi perempuan. Pasalnya, kaum hawa ini memang memiliki kecenderungan untuk lebih berhati-hati ketika memilih pasangan. Ditambah lagi ia harus mengenal Sang Calon Pasangan secara pribadi lebih dalam sebelum memutuskan untuk menikah.