Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Keempat, faktor trauma. Banyak dari kita, baik yang termasuk generasi Milenial ataupun Gen Z yang memiliki trauma. Seringnya trauma ini membuat seseorang, terutama perempuan, merasa sulit kembali untuk menjalani kehidupan normal dan membuatnya takut untuk memulai sebuah hubungan, khususnya percintaan.
Fenomena waithood tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai negara seperti Jepang, Jerman, Yordania, China, Amerika Serikat, Rwanda, dan Guatemala. Perempuan Jepang melihat pernikahan sebagai beban yang dapat menghambat langkah mereka dalam meraih pendidikan lebih tinggi.
Hal ini pada akhirnya menyebabkan penurunan populasi manusia secara signifikan. Jerman mengalami peningkatan jumlah perempuan yang merasa lebih bahagia tanpa pasangan, menunjukkan tren yang meningkat sejak tahun 2005.
Peningkatan jumlah kelompok muda yang memilih untuk berstatus lajang juga terjadi di Indonesia. Pada tahun 2021, persentase lajang dewasa mencapai 61,09%. Angka ini meningkat jika dibandingkan pada tahun 2011 yang jumlahnya sekitar 51,98% (Kompas.id, 2022).
Berdasarkan data ini, menurut Marcia C. Inhorn dan Nancy J. Smith-Hefner dalam bukunya yang berjudul Waithood: Gender, Education, and Global Delays in Marriage and Childbearing mengatakan bahwa waithood pada akhirnya mendorong kaum muda untuk menunda pernikahan hingga childfree.
Jika ditilik secara konstruksi sosial, waithood terjadi tak hanya disebabkan karena adanya transformasi praktis dari berbagai pengaruh, seperti sosial, lingkungan, hingga kehidupan/aktivitas digial, melainkan juga disebabkan oleh terbentuknya karakter individu, terutama perempuan, yang lebih percaya diri, mandiri secara ekonomi, lebih punya nilai, dan lain-lain.
Meski begitu alasan mengapa seseorang memutuskan untuk waithood tentu akan berbeda-beda tergantung bagaimana ia menempatkan dirinya. Sebab, fenomena ini merupakan dinamika sosial dan perubahan ini tentu harus dimengerti sebagai perjalanan hidup seseorang. Artinya, ketika seseorang memutuskan untuk menunda pernikahan, maka sudah tentu itu menjadi urusan pribadi yang justru harus didukung oleh lingkungan di sekitarnya.
Pilihan untuk menunda pernikahan atau menjalani waithood tentu harus diimbangi dengan peningkatan nilai diri serta pemahaman dan pengetahuan dari diri seorang perempuan. Sebab, hal itu akan bisa menciptakan ruang dan tatanan yang lebih mendukung pengembangan diri dalam meraih kebahagiaan.
Pada akhirnya, pilihan untuk waithood layaknya lampu merah di persimpangan jalan, yang pada akhirnya akan segera berganti menjadi hijau dan itu berarti kita sebagai manusia harus melanjutkan perjalanan hidup kita hingga generasi berikutnya. Dengan memiliki bekal ilmu serta nilai diri yang cukup, maka niscaya kita semua akan siap baik secara mental maupun fisik untuk menghadapi berbagai fenomena sosial dan lingkungan sekitar kita yang terus bergerak secara dinamis.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Ketika Perempuan Memilih Berhenti di "Lampu Merah" atau Waithood, Fenomena Sosial-Global?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.