Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Arti Piala Dunia untuk Tim Nasional Qatar"
Tim nasional Qatar boleh berbangga karena sudah tampil sebanyak 10 kali di ajang Piala Asia, bahkan pernah menjadi juara di tahun 2019.
Prestasi dan pencapaian itu sama sekali bukanlah pencapaian yang buruk untuk sebuah tim yang baru berlaga di pertandingan internasional resmi pertamanya pada 27 Maret 1970.
Akan tetapi, Piala Dunia berada di level dan tingkatan yang sama sekali beda dengan Piala Asia. Biasanya, negara yang dipilih menjadi tuan rumah Piala Dunia adalah negara yang tim nasional sepak bolanya sudah pernah menjadi juara atau paling tidak sudah pernah lolos ke ajang Piala Dunia.
Lain ceritanya dengan Qatar. Qatar sama sekali belum pernah berlaga di turnamen sepak bola paling bergengsi di dunia ini. Maka tak heran bila lantas Piala Dunia 2022 menjadi kontroversial kala Qatar terpilih menjadi tuan rumah.
Bahkan, The Times, secara terang-terangan menyebut Qatar menyediakan $880 juta dolar AS sebagai uang suap kepada FIFA, yang mestinya hal itu bersifat rahasia.
Lebih lanjut dijelaskan bahwa sebanyak $400 juta diberikan 21 hari sebelum pengumuman FIFA mengumumkan Qatar menjadi tuan rumah, sementara $480 juta lagi diberikan 3 tahun setelah pengumuman itu berlangsung.
Jumlah tersebut berada di luar jumlah uang yang digunakan Qatar untuk membangun berbagai infrastruktur pendukung, yakni sebanyak $220 miliar.
Akibat kabar itu dan keputusan kontroversial FIFA memilih Qatar menjadi tuan rumah Piala Dunia 2022, banyak “hujatan” ditujukan kepada Qatar, termasuk salah satunya datang dari eks-presiden FIFA, Sepp Blatter.
Hal itu disampaikan Blatter pada 8 November lalu, ia mengungkapkan bahwa menunjuk Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia 2022 adalah sebuah “kesalahan” dan merupakan “pilihan yang buruk”. Lebih lanjut, Blatter juga menegaskan bahwa keputusan tersebut adalah akibat dari tekanan politik terselubung.
Blatter mengatakan Piala Dunia 2022 diberikan kepada negara di Jazirah Arab itu karena "ulah" eks presiden UEFA, Michel Platini, yang berada di bawah tekanan presiden Prancis ketika itu, Nicolas Sarkozy.
"Untuk saya, sudah jelas bahwa Qatar adalah sebuah kesalahan, pilihan yang buruk. Ketika itu, di Komite Eksekutif, sudah disepakati bahwa Rusia menjadi tuan rumah Piala Dunia 2018 dan Amerika Serikat untuk Piala Dunia 2022. Itu adalah pernyataan damai untuk dua lawan politik menjadi tuan rumah Piala Dunia secara beruntun," kata Blatter, kepada surat kabar Swiss, Tages-Anzeiger.
Blatter tidak menyebut Qatar pilihan yang buruk karena kontroversi hak asasi manusia, melainkan karena: "Negara itu sangat kecil. Sepak bola dan Piala Dunia terlalu besar untuk Qatar."
Meski begitu, Piala Dunia 2022 sudah berjalan dan timnas Qatar sudah melakoni parta pembuka pada 20 November lalu dengan penampilan yang berantakan. Mereka kalah 0-2 dari Ekuador.
Dengan hasil itu, Qatar mencatatkan rekor baru sebagai tim tuan rumah Piala Dunia yang kalah pada pertandingan pembuka.
Seperti yang dikatakan Blatter, saat Qatar ditentukan sebagai negara tuan rumah Piala dunia tahun 2010 lalu, Qatar tidak memiliki sejarah tentang sepak bola. Bahkan saat itu, Qatar baru mulai membangun tim nasionalnya berbarengan dengan membangun negara. Dari nol.
Qatar sadar bahwa sejatinya mereka tak hanya harus membangun segala sarana dan prasarana pendukung Piala Dunia seperti hotel, stadion, jalan raya, sistem kereta metro, melainkan juga harus membangun sebuah tim nasional sepak bola yang kompeten, yang diharapkan tak akan tampil memalukan di ajang sepenting Piala Dunia.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya Qatar membangun sebuah tim sepak bola yang baik dari jumlah penduduknya yang hanya 3 juta jiwa. Dari jumlah itu, berapa orang yang kompeten untuk dipilih memperkuat timnas Qatar?
Sebagai perbandingan, di Indonesia saja dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta jiwa, masih merasa kesulitan untuk mencari pemain sepak bola yang kompeten dan mumpuni untuk bisa diajak membela timnas.
Bahkan tak jarang Indonesia masih harus mencari pemain keturunan Indonesia yang berlaga di luar negeri untuk selanjutnya dinaturalisasi.
Akibat situasi itu, Qatar kemudian menempuh jalan pintas: melakukan naturalisasi pemain.
Qatar sudah melakukan proses naturalisasi secara agresif dengan menawarkan status kewarganegaraan bagi pemain-pemain sepak bola berbakat bahkan sebelum mereka mengajukan diri sebagai calon tuan rumah Piala Dunia.
Dari usaha itu, pada tahun 2004 Qatar mencoba menaturalisasi tiga pesepak bola Brasil hanya dalam waktu satu pekan. Para pemain itu antara lain adalah Ailton, Dede, dan Leandro.
FIFA yang mengetahui hal itu geram hingga kemudian mengubah regulasi soal ketentuan naturalisasi. FIFA menambahkan di statuta bahwa pemain yang bisa menjadi warga sebuah negara adalah mereka yang sudah tinggal di negara selama 10 tahun.
Alhasil rencana naturalisasi Qatar gagal. Meski begitu, keluarga kerajaan tak tinggal diam, mereka kemudian menempuh jalan lain yang lebih rumit dengan membuat proyek dengan nama Aspire Academy.
Di akademi itulah semua atlet-atlet dilatih dengan bantuan teknologi serta berbagai sumber daya terbaik yang bisa mereka beli dengan uang yang mereka miliki.
Salah satu cabang olahraga yang terdapat dari program akademi itu tentu adalah sepak bola, Aspire Football Dreams. Akademi ini difokuskan untuk menemukan bakat-bakat sepak bola tersembunyi dari semua kota dan desa di seluruh dunia.
Program tersebut pertama kali dimulai tahun 2005 dengan beberapa kamp tempat pelatihan di Afrika. Kemudian, program itu melebarkan sayap hingga ke Amerika Latin dan Asia Tenggara.
Sebenarnya, Aspire Football Dreams juga menggunakan cara naturalisasi, namun dengan diselimuti “beasiswa” bagi para pemain untuk belajar di Qatar. Tujuannya tak lain agar bisa menghindari aturan 10 tahun residensi dari FIFA.
Tak disangka, segala usaha tersebut terbayar ketika Qatar sukses menjadi juara Piala Asia untuk pertama kalinya tahun 2019. Selain itu, Qatar juga dikabarkan menyewa sebanyak 600 ribu suporter untuk menyemangati tim nasional mereka.
Sebelum berlaga di Piala Dunia 2022, Qatar lebih dulu menguji skuat timnasnya di ajang Piala Arab 2021. Pada ajang itu, Qatar memasukkan 17 pemain naturalisasi dari total 23 pemain.
Para pemain naturalisasi itu terdiri dari pemain Sudan (7 orang), Mesir (1), Irak (2), Bahrain (1), Yaman (2), Ghana (1), Aljazir (2), dan Cape Verde (1).
Dengan skuat seperti itu, Qatar berhasil meraih posisi ketiga di ajang Piala Arab 2021 setelah mengalahkan Mesir lewat adu penalti.
Untuk Piala Dunia 2022, pelatih Qatar asal Spanyol, Felix Sanchez juga membawa 15 pemain naturalisasi dati total 26 pemain.
Para pemain neturalisasi yang membela Qatar di Piala Dunia 2022 adalah sebagai berikut.
Meshaal Barsham (Sudan)
Musab Kheder (Sudan), Bassam Al-Rawi (Irak), Ismaeel Mohammad (Sudan), Abdelkarim Hassan (Sudan), Assim Madibo (Sudan), Pedro Miguel (Cape Verde)
Karim Boudiaf (Aljazair), Boualem Khoukhi (Aljazair), Ali Assadalla (Bahrain), Abdelaziz Hatem (Sudan)
Akram Affif (Yaman), Ahmed Alaaeldin (Mesir), Almoez Ali (Sudan), Mohammed Muntari (Ghana)
Program Aspire Academy akan terus dijalankan Qatar meski gelaran Piala Dunia 2022 telah usai. Qatar juga telah menunjuk eks pemain nasional Australia, Tim Cahill, sebagai Chief Sports Officer.
Awalnya, Cahill ditunjuk menjadi Global Qatar Legacy Ambassador pada Februari 2020, dengan tugas untuk bekerja dalam program Generation Amazing, sebuah program pelatihan sepak bola untuk komunitas-komunitas miskin. Juga untuk mempromosikan Piala Dunia 2022 di Qatar.
Kini, Cahill tinggal secara permanen di Qatar untuk menjalankan tugasnya di Aspire Academy. Sebelum Chaill ada empat pemain lain yang pernah dipilih Qatar untuk menjadi duta Legacy Global Qatar.
Keempat pemain itu adalah Xavi Hernandez, Samuel Eto'o, Cafu, dan yang paling baru adalah Ronald de Boer.
"Piala Dunia adalah jembatan penting untuk perubahan sosial di Qatar. Untuk saya, itu adalah aspek paling penting dari program Legacy -- memperbaiki negeri menjadi tempat yang lebih baik untuk generasi selanjutnya," kata De Boer, eks pemain nasional Belanda, seperti dikutip dari situs Qatar 2022.
Piala Dunia 2022 bisa jadi akan digunakan Qatar sebagai batu pijakan untuk menuju penampilan di turnamen sejenis berikutnya.
Meski perlu diakui Qatar adalah peserta Piala Dunia yang masih “gamang”, namun Qatar sudah memiliki semua bekal dan jenis kekuatan, termasuk uang untuk membentuk sebuah tim sepak bola yang tangguh di Piala Dunia atau turnamen-turnamen internasional lain suatu hari nanti.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.