Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sementara rumah, bagi kebanyakan masyarakat kampung tidak ada hubungan sama sekali dengan hal-hal yang berkaitan dengan sekolah.
Atau secara sederhana kewajiban sekolah adalah memanusiakan para peserta didik sedangkan kewajiban orang tua semata-mata melunasi SPP saja.
Dengan kata lain, kecerdasan dan masa depan anak adalah tanggung jawab sekolah, sedangkan ketika sudah di rumah anak-anak kembali bertugas untuk membantu pekerjaan orangtuanya di rumah, seperti memasak, timba air, jaga adik, cari kayu bakar dan lain sebagainya.
Bagi pendidik yang tengah mengabdi dan berjuang di kampung atau pelosok tentu anggapan tadi sangat menggelisahkan.
Dan sebenarnya sekaligus dapat dijadikan sarana otokritik bagi para pendidik. Otokritik itu adalah sebagai berikut.
Pertama, memunculkan dilematis yang mendalam terutama dalam hal memotivasi dan mengevaluasi kemampuan para peserta didik.
Sayangnya sampai saat ini, satu-satunya instrumen yang masih berlaku dan diterapkan untuk mengukur perkembangan aspek akademis siswa itu adalah dengan cara memberikan pekerjaan rumah (PR) yang masif.
Tujuannya tentu untuk memastikan bahwa siswa memiliki waktu sendiri dalam mengembangkan kemampuan akademis mereka di rumah.
Kedua, soal penanaman nilai karakter siswa di sekolah juga selalu berhadapan dengan situasi kelam. Apalagi mengenai kedisiplinan, tata krama, dan sopan santun dalam diri siswa.
Tak jarang para pendidik dalam mendisiplinkan siswa menggunakan kekerasan seperti main otot dengan cara tempeleng atau lainnya.
Mirisnya, cara ini dianggap sebagai semacam alternatif untuk “mendidik” siswa yang belum bisa mengubah karakter sesuai kriteria yang ditentukan sekolah.
Hal ini tentu akan memicu orangtua siswa yang tidak terima akan menuntut pendidik tersebut terkait tindakan kekerasan kepada anak mereka. Walau tak jarang pula ada orangtua siswa yang mendukung cara pendidik tersebut dalam “mendidik” anaknya.
Dari berbagai respons orangtua terkait perlakukan pendidik kepada anak-anak mereka, akan memunculkan kontroversi apalagi jika dikaitkan dengan ketentuan hukum.
Namun, di sisi lain memang faktor kondisi di Timur Indonesia yang justru menuntut pendidik melakukan cara-cara mendidik dengan kekerasan.
Dan bagi orangtua yang mendukung aksi pendidik tersebut semata-mata karena menganggap pembinaan perilaku dan mental anak merupakan tanggung jawab penuh para pendidik dan pihak sekolah.