Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dengan kata lain, para orangtua tersebut sudah tidak mau disibukkan lagi dengan masalah perkembangan mental atau karakter anak-anak mereka sendiri.
Kedua hal tersebut lah yang terjadi dan kerap ditemukan serta selalu mewarnai proses pembelajaran sekolah di kampung.
Kembali lagi, hal ini erat kaitannya dengan usulan Presiden Joko Widodo bahwa pemberian PR pada siswa hendaknya lebih ke hal-hal yang berkaitan dengan pembinaan atau penerapan karakter, tidak terkait akademis dan tentu tempat pelaksanaannya di rumah.
Memang perlu diakui usulan tersebut sangat bagus dan perlu diaplikasikan secara menyeluruh.
Akan tetapi, usulan tersebut jika disandingkan dengan kenyataan dan konteks sekolah di kampung maka tentu penerapannya tidak akan semudah yang dibayangkan.
Oleh karena itu, sebelum usulan penghapusan PR berwujud pada sebuah kebijakan maka kajian berikut perlu dipertimbangkan.
Pertama, kesadaran akan berpendidikan mesti disamaratakan terlebih dahulu mulai dari Sabang sampai Merauke.
Dengan begitu maka akan tercipta keseimbangan pola didik dari guru, pihak sekolah, dan orangtua bagi para siswa. Sebab, cita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa adalah cita-cita bersama.
Untuk mewujudkan hal tersebut tentu diperlukan peran pemangku pendidikan untuk membuat berbagai kebijakan hingga penerapannya.
Maka dari itu dialog serta komunikasi menjadi hal kunci untuk membuka kesadaran akan berpendidikan.
Dalam membangun dialog dan komunikasi tersebut perlu dihindarkan dari relasi subjek-objek atau otoritas sebagai pemegang kendali, sehingga tercipta dialog yang deliberatif dan tanpa tekanan.
Pada akhirnya akan memunculkan dan menciptakan kesadaran akan keberlangsungan pendidikan.
Kedua, pembenahan sarana atau fasilitas yang mendukung terutama dalam hal kemudahan para siswa dalam menimba ilmu pengetahuan mesti setara dan serasi mulai dari Sabang sampai Merauke, dari sekolah yang ada di pelosok maupun sekolah yang ada di kota.
Ketiga, alih-alih selalu memberikan PR sebagai instrumen yang menakutkan bari para siswa, pendidik justru bisa memberikan feedback atau umpan balik dan sebaiknya selalu diintegrasikan dengan pelajaran atau topik yang sedang dikaji.
Berbagai hal tersebutlah yang mesti dan perlu dipertimbangkan serta diperhatikan lagi sebelum memutuskan untuk menghapus pemberian PR kepada siswa.
Oleh karena itu, PR sebagai instrumen akademis akan tetap menjadi pilihan utama sekalipun berhadapan dengan kenyataan yang kontroversial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.