Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Mungkin hal-hal seperti ini tidak perlu terjadi jika ChatGPT dapat membantu memberikan solusi dalam waktu cepat, tanpa membuat pasien menunggu. Tentu hal ini sangat membantu. Jauh lebih baik daripada membuka buku dihadapan pasien, dan membuat pasien menunggu dokter menemukan jenis obat yang cocok.
Namun bukan berarti, pada akhirnya skill dokter tidak diperlukan. Mesin mungkin dapat menentukan obat-obatan yang harus diberikan kepada pasien setelah diberitahu (input) mengenai gejala-gejala suatu penyakit, dan berdasarkan logika yang sudah ditanam, maka pasien harus diberi obat A dengan dosis sekian.
Kenyataannya, dokter manusia lebih mengerti kondisi pasiennya karena dialah yang berinteraksi langsung dengan pasien. Dokter yang dapat mengambil keputusan apakah dosis obat diberikan sesuai teori atau sesuai kondisi pasien.
Contoh lain, mahasiswa bikin makalah tinggal bertanya lewat ChatGPT? Ya bagus dong. Biaya lebih murah, waktu lebih cepat. Tetapi tentunya harus bertanggung jawab juga ketika diuji tentang pengertian mereka terhadap makalah tersebut.
Jika tidak bisa menjawab, sebagus apapun makalahnya mana bisa lulus. Ada bagusnya juga jika mereka ditantang untuk mengimplementasikan teori yang mereka paparkan dalam makalah di metaverse.
Tujuannya untuk meyakinkan diri bahwa mahasiswa akan dapat mengimplementasikannya dengan baik di dunia nyata kelak. Jadi pada akhirnya, sudah tidak perlu lagi memusingkan apakah makalah dibuat dengan menggunakan ChatGPT atau teknologi sejenis, atau dibuatkan orang lain, dan seterusnya
Sama saja dengan ujian open book. Boleh buka buku ketika ujian berlangsung, karena ujiannya bukan hafalan.
Saat ini, mungkin dunia belum siap menghadapi fenomena penggunaan chatGPT. Dikabarkan universitas di Perancis melarang mahasiswanya untuk menggunakan ChatGPT untuk menyelesaikan tugas.
Mungkin saat ini ChatGPT masih kaku, jadi terlihat sekali kalau hasil generate mesin dan mungkin hasilnya belum terlalu benar. Tetapi pada akhirnya saya rasa penggunaan ChatGPT tidak akan dapat dibendung. Apalagi kalau selamanya gratis dan hasilnya makin bagus. Saat ini, mungkin hasilnya masih dianggap selevel hasil kerja google translate yang kurang baik untuk menerjemahkan kalimat.
ChatGPT, sebaiknya hanya dijadikan sebagai alat bantu, sebagus apapun pengembanganya nanti.
Betul, bahwa dia dapat menghasilkan "sesuatu" dari hasil interaksi dengan manusia. Jika dia tidak punya jawaban atas pertanyaan kita, dia akan balik bertanya, pertanyaan yang mengarahkan.
Semoga ChatGPT dapat terus diupgrade agar mendekati kebutuhan kita, sehingga kita punya waktu meningkatkan diri.
Kita tidak belajar dari mesin atau robot pintar, tetapi kita dapat menjadikan mesin atau robot itu sebagai asisten atau alat bantu untuk mempermudah hidup. Mesin dibuat oleh manusia, jadi seharusnya kita tidak belajar "lagi" pada mesin (teknologi).
Jadikanlah teknologi sebagai alat bantu dalam hidup. Let's welcome this "new" technology, walau dasar ilmunya gak baru-baru banget juga, tetapi idenya, menurut saya, cukup brilian.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "ChatGPT sebagai Model Referensi Terbaru?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.