Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bagi para petani, pemodalan merupakan hambatan utama dalalm mengembangkan usaha taninya. Suka atau tidak suka, pemodalan ini mengatur maju-mundurnya usaha tani.
Pada akhirnya banyak petani yang terpaksa meminjam kepada toke atau pemberi modal ilegal lainnya karena ketiadaan biaya.
Beberapa kasus di lapangan menunjukkan bahwasannya berhubungan dengan tengkulak atau toke membuat petani merana dan tidak bebas menentukan pemasaran hasil usaha taninya.
Contoh nyatanya terlihat dari kisah Hendra Irawan, seorang petani jagung di Nagari Panti Selatan Kabupaten Pasaman.
Hendra mengatakan bahwa budidaya jagungnya ini difasilitasi oleh toke atau tengkulak yang mendanai serta menyedia saprodi seperti bibit jagung, pupuk, dan pestisida.
Para toke ini mengambil untung dari petani dengan menaikkan harga saprodi sebesar 50 ribu lebih mahal. Jadi, misal harga pasar bibit jagung Pioneer P-32 adalah 500 ribu, maka petani tersebut harus membayar sebesar 550 ribu kepada toke saat selesai panen.
Terlebih, hasil panen jagung petani harus dijual kembali kepada toke dengan harga lebih rendah sekitar 2-3% dari harga pasar.
Artinya selain mendapatkan keuntungan dari harga saprodi yang diberikan ke petani, tengkulak atau toke juga mendapatkan keuntungan dari hasil panen jagung.
Setali tiga uang dengan Hendra, Antoni seorang petani padi di daerah yang sama juga menceritakan hal serupa.
Ia mengatakan bahwa setelah panen ia tak bisa bebas menjual padi hasil panennya. Sang toke atau tengkulak yang memodalinya akan datang satu minggu sebelum panen untuk memantau serta memberikan karung kepada Antoni sebagai kode.
Karung tersebut biasa dikenal sebagai bekal panen atau tanda bahwa panen tersebut adalah milik toke dan dia yang akan membelinya. Ketika masa panen tiba, para toke ini akan membeli gabah dari petani dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar.
Beberapa cerita yang saya temui tadi adalah bukti nyata bahwa betapa pentingnya pemodalan bagi para petani.
Lantas, mengapa masih banyak petani yang meminjam modal kepada toke atau tengkulak padahal terdapat Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dikeluarkan oleh pemerintah?
Ketika saya menanyakan ini, Hendra menjelaskan bahwasannya berurusan dengan toke atau tengkulak ini tidak ribet. Kapan saja ia butuh uang, para toke siap memberikannya tanpa persyaratan macam-macam yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Masih menurut Hendra, tidak hanya uang untuk biaya saprodi untuk budidaya jagung, melainkan juga biaya lain seperti kebutuhan dapur hingga biaya kuliah anak pun bisa diberikan oleh sang toke.
Meski memang dana-dana tersebut disertai konsekuensi yang merugikan para petani yang meminjam.
Sementara, untuk mengurus KUR perlu melewati proses yang sulit, butuh banyak waktu, dan bagi para petani sistem pengangsuran biaya pinajaman plus bunganya tiap bulan dirasa cukup menyulitkan.
Jadi, meski ada konsekuensi tersendiri yang harus diterima, meminjam kepada toke atau tengkulak lebih diminati petani daripada mesti mengurus KUR.
Untuk mendukung pernyataan tersebut, hasil survei Rantai Nilai kegiatan IPDMIP di Daerah Irigasi (DI) Batang Pekok tahun 2021 menjelaskan ada beberapa penyebab KUR Tani tidak terlalu diminati oleh petani.
Pertama, prosesnya ribet. Sebagian petani malas berurusan dengan Bank dan birokrasi. Bisa jadi disebabkan ketidak tahuan informasi dan tingkat pendidikan yang rendah.
Kedua, pinjaman plus bunga KUR Harus dibayar setiap bulan. Padahal modal yang dipinjam sudah habis digunakan baik untuk konsumtif maupun untuk modal budidaya.
Ketiga, uang hasil pembiayaan KUR tidak sepenuhnya digunakan untuk budidaya, acap kali digunakan untuk memenuhi kebutuhan lainnya, sehingga target pembiayaan KUR untuk biaya usaha tani tidak tercapai. Akibatnya produksi yang sudah direncanakan juga tidak sesuai harapan.
Keempat, petani kesulitan mencari akses pemasaran. Sementara jika berhubungan dengan tengkulak, soal pemasaran hasil panen sudah terjamin. Kondisi ini akan sangat terlihat di daerah-daerah terpencil dengan akses jalan yang sulit dan rusak.
Dengan kondisi yang demikian, petani akan kesulitan membawa hasil panen ke kota untuk menjualnya. Jadi di sinilah terlihat peran toke atau tengkulak “memperdaya” petani dengan menyediakan transportasi dengan konsekuensi tertentu yang ditanggung petani.
Kelima, jangka waktu angsuran atau pengembalian KUR cukup lama sehingga terasa sangat memberatkan.
Keenam, lokasi petani berada di daerah terpencil sehingga akses informasi tentang kredit KUR pun masih minim.
Ketujuh, sebagian besar petani sudah mendapatkan pinjaman melalui kredit umum atau reguler, sedangkan KUR yang dipersyaratkan Pemerintah adalah tidak atau belum pernah meminjam ke bank yang telah ditunjuk pemerintah untuk menyalurkan KUR. Suatu dilema memang!
Ketujuh faktor ini tidak bisa dimungkiri menjadi penyebab KUR tani Tidak diminati petani di beberapa daerah.
Padahal di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Pertanian seperti dilansir kompas.com, telah berhasil meningkatkan serapan kredit KUR pertanian hingga menembus angka Rp39,337 triliun lebih.
Jumlah tersebut memang masih jauh dari alokasi anggaran yang berjumlah Rp90 triliun per bulan Mei 2022. Akan tetapi, dengan berbagai fasilitas yang dilakukan pemerintah, kerja nyata petugas di lapangan, serta dukungan akses mudah dari lembaga perbankan mungkin bisa meningkatkan serapa KUR tani lebih tinggi lagi.
Harapannya, jika jumlah tersebut terpenuhi, maka akan semakin sedikit petani yang bergantung pada toke atau tengkulak, bahkan semoga tak akan ada lagi petani yang terlibat dengan para toke atau tengkulak ini.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Tujuh Alasan Mengapa KUR Tani Tidak Diminati Petani"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.