Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tanggal 5 November 2023 lalu, sekitar 2 juta orang memenuhi wilayah Monumen Nasional (Monas) dalam aksi bela Palestina. Aksi yang dilakukan kurang lebih 4 jam ini merupakan buntut dari serangan Israel ke Gaza sejak 7 Oktober 2023 lalu.
Hingga 27 November 2023 lalu, diperkirakan serangan Israel telah menewaskan kurang lebih 15.000 jiwa dan 6.150 di antaranya termasuk anak-anak.
Dalam aksi bela Palestina tersebut, tak hanya orang dewasa yang ikut berpartisipasi, melainkan juga ada lansia, anak-anak, bahkan balita.
Dari pantauan pribadi, banyak anak-anak yang membawa dan mengenakan berbagai macam atribut, seperti ikat kepala, syal, bendera, serta tulisan atau poster berisi dukungan kepada Palestina.
Banyaknya anak-anak yang terlibat dan berpartisipasi dalam aksi bela Palestina lalu bukan saja karena korban terbesar dari konflik antara Palestina dan Israel adalah anak-anak.
Lebih dari itu, utamanya, para orangtua ingin mengajarkan soal kepedulian terhadap permasalahan kemanusiaan yang ada di Palestina yang seolah tanpa akhir.
Dalam konflik yang terjadi di Palestina ini memang tak bisa diabaikan adanya fakta bahwa anak-anaklah yang menjadi korban terbesar. WHO bahkan mengklaim kurang lebih 160 anak terbunuh setiap harinya.
Di sisi lain, menutup mata dan telinga anak-anak di seluruh dunia dari masifnya berita yang tersebar di jagad maya tentu tidak dimungkinkan.
Pada akhirnya, anak-anak akan tetap tahu bahwa ada daerah bernama Palestina yang banyak masyarakatnya termasuk di dalamnya anak-anak menjadi korban pembunuhan.
Bahkan mungkin saja sebagian dari anak-anak yang ikut dalam aksi tadi telah melihat kekejaman yang terjadi di Palestina lewat berita di televisi maupun lewat media sosial.
Beberapa orangtua yang membawa anaknya ikut dalam aksi bela Palestina lalu itu mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan apa yang sedang terjadi di negeri tersebut.
Di jagad blog, seorang ibu merasa cemas lalu menulis tentang pentingnya memberi tahu anak soal konflik yang terjadi di Palestina. Hal itu dilakukan guna mencegah terjadinya miss informasi yang diterima si anak.
Ia mencemaskan anak akan menerima informasi mentah yang bisa mengakibatkan pada konklusi yang salah jika tidak diarahkan secara jelas.
Seperti misanya narasi soal alasan Palestina diserang lantaran mereka telah menyerang lebih dulu, sehingga serangan yang diluncurkan Israel adalah bentuk dari pertahanan diri. Tanpa arahan dan penjelasan yang lengkap, anak bisa saja akan memaklumi alasan tersebut.
Di era teknologi saat ini, narasi pendek semacam itu sangat mudah kita temukan di berbagai kanal dunia maya. Hal tersebut semakin dibuat rumit dengan adanya kabar soal adanya buzzer dan influencer bayaran yang ditugaskan untuk menggiring opini masyarakat agar membela Israel.
Seorang kawan di Kabupaten Tangerang, mengaku bahwa anaknya sudah mendapat penjelasan mengenai konflik Palestina-Israel dari pihak sekolahnya, SD IT. Dengan begitu, ia tak perlu lagi menjelaskan dari ulang terkait konflik tersebut kepada anak di rumah.
Kawan lain yang tinggal di Semarang bercerita ia menerapkan praktik boikot terhadap berbagai produk-produk yang ditaksir pro Israel. Ia pun harus menjelaskan pada anaknya soal alasannya mengganti semua produk-produk di rumah yang biasa digunakan.
Ketika memberikan penjelasan pada anaknya yang masih berusia 6 tahun, ia memilih istilah dan membuat perumpaan yang mudah dipahami oleh anaknya.
Sebagai orangtua, memutuskan untuk menjelaskan dan membagikan informasi mengenai konflik maupun perang yang sedang terjadi kepada anak memang bukan hal yang mudah.
Ada bebera hal yang perlu digarisbawahi, seperti mengenai usia anak dan sejauh mana informasi yang sudah lebih dulu mereka terima.
Usia anak akan menentukan cara orangtua menyampaikan penjelasan terkait konflik agar lebih mudah dipahami. Pemahaman seorang anak balita yang bahkan belum mengenyam bangku pendidikan akan berbeda dengan anak yang sudah memasuki Sekolah Dasar, SMP, maupun SMA.
Akan tetapi, apakah orangtua perlu memberikan penjelasan tentang perihal yang belum disampaikan oleh sekolah?
Terkait hal ini, direktur klinis asosiasi Applied Psychological Services of New Jersey, Ashley Kipness, PsyD., berpendapat bahwa anak-anak sebaiknya tidak dihadapkan pada gambaran perang karena akan sulit dipahami.
Akan tetapi, menurut Zishan Khan, MD, seorang psikiater Mindpath Health, apabila anak tidak sengaja menyaksikan berita atau mendengar hal yang berhubungan dengan perang atau konflik, tentu ia butuh diberi penjelasan. Tujuannya tentu agar anak tidak ketakutan dan merasa tempatnya tidak aman.
Orangtua bisa memberi penjelasan dengan menggunakan bahasa dan istilah yang sesederhana mungkin. Contohnya, orangtua bisa menjelaskan bahwa perang adalah pertikaian antara dua pemikiran dan keyakinan.
Selanjutnya orangtua juga perlu menjelaskan bahwa konflik atau perang itu terjadi di daerah lain yang letaknya jauh dari tempat tinggal mereka agar anak tidak merasa ketakutan dan cemas.
Memberi penjelasan terkait situasi konflik dan perang pada anak yang sudah memasuki usia SMA, tentu berbeda lagi. Seorang psikolog sekaligus pendiri Mount Sinai Parenting Center, Aliza Pressman, Phd, mengatakan jika berbicara mengenai konflik atau perang pada anak usia SMA, tentu penjelasannya bisa menjadi lebih kompleks.
Di usianya yang sudah memasuki usia dewasa, anak SMA akan cenderung mendapatkan banyak informasi terkait konflik dan perang ini dari media sosial.
Maka dari itu, orangtua perlu memberi pemahaman bahwa media sosial memiliki algoritma yang bisa saja menggiring opini ke arah tertentu. Jika ini terjadi dan anak langsung percaya tentu akan berbahaya.
Melalui laman resminya, UNICEF juga memberikan beberapa arahan mengenai cara berdiskusi tentang konflik dan perang dengan anak. Hal-hal yang harus ditekankan orangtua pada anak, antara lain sejauh mana anak tahu dan apa yang mereka rasakan terkait konflik dan perang yang sedang terjadi.
Orangtua juga perlu mengingatkan anak bahwa semua orang berhak untuk merasa aman, baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. Selain itu bisa juga ajak anak untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang mereka senangi, tujuannya agar anak tidak terlibat pada kegiatan yang negatif. Terakhir, pastikan kita sebagai orangtua tidak membiarkan anak berada dalam keadaan tertekan akibat menerima banyak informasi soal konflik dan perang.
Oleh karenanya, penting bagi orangtua untuk selalu memantau keadaan dan perkembangan psikisnya. Jaga anak tetap merasa aman dan terhindar dari rasa tertekan dengan lakukan kegiatan yang ia sukai bersama demi mengurangi konsumsi berita yang ia terima.
Terakhir, selain berfokus pada si anak, kita juga perlu fokus terhadap kondisi diri sendiri, salah satunya dengan berlatih mengendalikan diri. Tidak dipungkiri berita jumlah korban dari konflik Palestina membuat saya, Anda, dan banyak masyarakat Indonesia cenderung akan marah.
Perasaan emosional ini sedikit-banyak tentu akan berpengaruh terhadap cara kita memberi penjelasan dan pengertian pada anak. Maka dari itu, selain perhatikan anak, penting juga untuk memperhatikan kondisi diri sendiri.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Siasat Berikan Pemahaman Konflik Palestina Israel ke Anak"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.