Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Salah satu produk unggulan petani di Indonesia adalah komoditi sayur-sayuran dan palawija. Di Indonesia, kebutuhan akan sayur selalu meningkat setiap tahunnya, apalagi pada bulan-bulan tertentu ketika ada hari raya besar keagamaan.
Sayur-sayuran seperti kembang kol, tomat, cabe, sawi, buncis, kacang merah, daun bawang, bawang merah, jagung, wortel, seledri, ubi jalar, kacang tanah, kacang kedelai dan kentang adalah beberapa komoditi yang populer dibudidayakan di daerah.
Petani-petani sayur dan palawija di daerah, terutama yang ada di Kabupaten Tana Toraja belum semua memiliki kemampuan yang memadahi dalam bertani, berbeda dengan para petani di Jawa yang rata-rata sudah memiliki kemampuan yang mumpuni.
Salah satu penyebab petani di daerah tak begitu memiliki kemampuan bertani yang mumpuni adalah godaan finansial dan kesejahteraan yang terlihat dari petani lokal yang memang memiliki pengetahuan bertani yang baik dan akhirnya ikut-ikutan mencoba peruntungan.
Topangan ekonomi sebagai dampak dari kegiatan bertani sayur dan palawija makin meningkatkan pula pembukaan kebun-kebun dan lahan baru.
Aktivitas pembukaan lahan itu akhirnya berjalan tanpa kontrol seiring semakin banyaknya orang yang ingin mulai menjadi petani, tanpa mengindahkan faktor kelestarian lingkungan dan malah menimbulkan dampak negatif.
Di samping itu, proses perawatan sayuran dan palawija yang tak berjalan sebagaimana mestinya juga ikut berkontribusi menimbulkan gangguan lingkungan.
Pada titik inilah sebenarnya sudah jadi warning dini lingkungan pada para petani tersebut untuk bijak, profesional, dan hatihati dalam menjalankan aktivitasnya.
Di Kabupaten Tana Toraja bagian Selatan yang berbatasan langsung dengan Kabupaten Enrekang, terdapat dua kecamatan yang warganya banyak berprofesi sebagai petani sayur dan palawija. Dua kecamatan itu adalah Gandangbatu Silanan dan Rano.
Alasan masyarakat kedua kecamatan tersebut menjadi petani adalah karena wilayah mereka berbatasan langsung dengan Kecamatan Masalle, Alla, dan Baroko di Kabupaten Enrekang yang hampir semua warganya adalah petani sayur.
Meski begitu, ada perbedaan topografi antara kecamatan yang ada di Kabupaten Enrekang dan Tana Toraja. Kondisi lahan di Kabupaten Enrekang cenderung lebih landai dan didominasi oleh bebatuan, sehingga banyak kebun sayur di sana lebih banyak diakutkan tanah.
Sementara di wilayah Kabupaten Tana Toraja, meski ada lahan yang landai tetapi tidak didominasi oleh bebatuan, melainkan tanah hitam kecoklatan.
Di dua desa yang ada di Kecamatan Rano, topografi wilayahnya cenderung berupa pegunungan terjal, tanah cokelat kehitaman, dan tak berbatu. Maka dari itu, aktivitas penebangan pepohonan diperlukan untuk membuka lahan tanam baru.
Ironisnya, aktivitas penebangan pohon ini juga dilakukan pada hampir semua jenis pohon yang dinilai mengganggu tanaman sayur dan palawija nantinya, seperti tanaman cokelat, kopi, dan pepohonan alamiah lainnya.
Padahal di medio tahun 2010 hingga 2014, sisi barat pegunungan di wilayah ini masih didominasi pepohonan hijau dan kebun kopi. Sayangnya, kini sejauh mata memandang yang terlihat hanya lahan dengan warna kekuningan akibat lahan yang ditanami sayur. Cuaca pun berubah, yang tadinya dingin kini mulai beranjak panas.
Sayangnya, tak ada yang bisa mencegah dan membatasi aktivitas penebangan pohon demi membuka lahan tanam sayur dan palawija ini. Pasalnya, lahan ini merupakan lahan milik pribadi.
Maka dari itu, sebenarnya yang menjadi kunci agar tak ada lagi aktivitas penebangan ini adalah kesadaran diri dan edukasi terkait bahaya menggunduli pepohonan di tanah-tanah rawan longsor.
Dari aktivitas penebangan pohon ini dampaknya sudah mulai terlihat. Hampir sepuluh tahun terakhir ini, mulai terjadi banyak tanah longsor di bagian timur dan tengah Kecamatan Rano.
Selain longsor, juga pernah terjadi banjir bandang yang menhanyutkan sebuah rumah dan mengakibatkan satu korban jiwa.
Belum lagi terjadi pergerseran tanah yang membuat puluhan penghuni rumah mesti diungsikan. Semua ini terjadi karena tidak adanya pepohonan yang menyangga tanah. Kesuburan tanah di sana justru dirusak oleh pembukaan lahan sayur dan palawija secara masif.
Selain aktivitas penebangan pohon ada juga pembakaran rumput kering yang dilakukan di musim kemarau. Aktivitas tersebut dilakukan hampir di semua lahan kebun sayur dan bawang, khususnya lahan yang ada di wilayah Tana Toraja.
Aktivitas pembakaran ini dilakukan pada waktu sore hingga malam hari. Tujuan pembakaran ini dilakukan sore hingga malam hari adalah agar api pembakaran lahan ini bisa dikontrol dan tidak tertiup angin.
Biasanya warga akan membakar lahan seluas-luasnya untuk membuka lahan tanam sayur baru yang justru memicu kebakaran lebih besar dan akhirnya membutuhkan bantuan dari pasukan pemadam kebakaran.
Sulitnya mencegah aktivitas pembakaran ini diperparah dengan adanya anggapan masyarakat setempat yang percaya bila sebuah lahan di bukit terbakar maka nanti akan dipastikan turun hujan.
Akibatnya, tak heran bila kemudian hari terjadi kebakaran hebat di sebuah lahan perbukitan dan kemudian lahan tersebut berubah fungsi menjadi lahan tanam.
Alasan lain mengapa banyak masyarakat lokal memilih untuk membakar semak belukar untuk membuka lahan tanam adalah karena cara tersebut dianggap lebih mudah dan murah jika dibandingkan dengan dibersihkan tanpa membakar.
Selain dampak kebakaran yang bisa merambat dan menjadi semakin luas, aktivitas pembakaran ini juga mengakibatkan pencemaran udara karena asap pekat hasil pembakaran.
Hal lain yang menjadi pemicu kerusakan lingkungan adalah penggunaan herbisida dan pestisida kimia secara masif. Pasalnya, beberapa jenis sayuran seperti kembang kol dan bawang merah sangat membutuhkan pestisida untuk memastikan hasil panen maksimal.
Penggunaan pestisida pada tanaman sayur ini awalnya bertujuan agar tanaman-tanaman tersebut tak terserang dari serangan hama dan penyakit batang busuk.
Akan tetapi penggunaan pestisida secara berlebihan ini akan menurunkan tingkat kesuburan dan akan mencemari air tanah yang akhirnya akan bisa merusak mikroorganisme di tanah tersebut.
Selain penggunaan pestisida pada tanaman, pemakaian herbisida secara masif untuk mematikan gulma juga dapat merusak lingkungan. Pasalnya, penggunaan herbisida ini bisa mencemari manusia dan ternak yang berada di sekitar lahan tersebut.
Akibat nyata dari penggunaan beberapa zat kimia secara masif tersebut adalah banyak warga di Tana Toraja yang jatuh sakit. Selama ini warga lokal mempercayai bahwa penyebab mereka sakit adalah karena diguna-guna.
Akan tetapi, setelah diselidiki penyebab utamanya adalah karena mengonsumsi air yang tercemar zat kimia akibat penggunaan pestisida dan herbisida.
Faktor lain seperti masih abainya warga menggunakan alat pelindung diri (APD) ketika melakukan aktivitas penyemprotan juga menjadi penyebab utama mereka jatuh sakit.
Maka dari itu, sudah saatnya kini petani-petani lokal, terutama mereka yang berkecimpung di komoditi sayuran dan palawija mulai peduli akan penggunaan alat serta bahan-bahan lain agar tak mencemari lingkungan. Tak hanya sekadar mengejar keuntungan ekonomi semata.
Rusaknya lingkungan akan memberi dampak jangka panjang yang ujung-ujungnya juga akan merugikan diri mereka sendiri. Selain itu, diperlukan juga peran lembaga atau instansi terkait untuk melakukan pendampingan serta edukasi pada para petani lokal terkait pengetahuan bertani yang aman dan tak membahayakan lingkunga.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Peringatan Dini Petani Sayur dan Palawija di Daerah"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.