Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sekolah juga tidak mungkin menutup diri dari masukan, pendapat, saran bahkan kritik dari wali muridnya. Justru sekolah harus siap dengan itu semua.
Sekolah yang bagus adalah sekolah yang terbuka serta tidak menutup diri dari segala penilaian masyarakatnya.
Kritik, pendapat saran, dan masukan hendaknya bisa ditanggapi secara profesional dan proporsional.
Pendidikan adalah tanggung bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Demikian menurut konsep trilogi pendidikan Ki Hajar Dewantara.
Perilaku anak di sekolah sedikit banyaknya adalah cerminan bagaimana ia bersikap di rumah dan di lingkungan keluarga.
Seorang anak yang dididik dengan baik, penuh perhatian, dan kasih sayang dari orangtuanya tentu akan berbeda dengan anak yang kurang perhatian dan kurang kasih sayang dari orangtua.
Ketika anak berbuat kenakalan atau melakukan perilaku menyimpang di sekolah, bisa jadi karena di rumah kurang mendapat didikan dan pengawasan dari orangtua ataupun keluarganya. Maka dalam hal ini sangatlah penting adanya sebuah kerjasama yang sinergis antara pihak sekolah dengan pihak orangtua.
Tidak ada guru yang sempurna, demikian juga tidak ada orangtua yang sempurna. Karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna. Yang dibutuhkan adalah kerja sama dan saling bergotong-royong di dalam mendidik dan membentuk karakter anak sehingga ia menjadi pribadi yang baik, berguna bagi diri diri sendiri dan orang lain. Dibutuhkan rasa saling pengertian dan kesadaran bersama dalam konteks mendidik anak yang sekarang ini semakin berat dan banyak tantangannya.
Bagaimana Sebaiknya Sekolah Menerima Kritik dan Masukan?
Soe Hok Gie pernah mengatakan, "Guru yang tidak tahan kritik silahkan masuk ke keranjang sampah". Memang betul dan saya pun sependapat dengan Soe Hok Gie.
Sulit dan sangat tidak mungkin guru dan sekolah dewasa ini akan lepas bahkan menutup diri dari kritikan dan masukan masyarakat. Semua pihak di era keterbukaan informasi ini harus siap dinilai oleh siapa pun juga.
Justru dengan adanya kritikan dan masukan, maka bisa menjadi sarana untuk evaluasi, refleksi, serta menyamakan visi antara pihak sekolah dan wali murid. Karena kembali lagi, pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga, sekolah, dan masyarakat. Bukan tanggung jawab guru atau wali murid semata.
Dalam konteks masalah riuhnya grup WhatsApp di atas, saya merasa lebih tepat jika hal-hal semacam itu memang dibahas di internal grup WhatsApp saja. Supaya dibicarakan dan dimusyawarahkan di dalam grup saja.
Menjadi tidak etis kemudian jika dibahas di sosial media yang sifatnya publik. Karena tentu hal ini justru akan mengundang persoalan baru. Masalah tidak selesai, tidak ketemu solusi dan justru akan merembet kemana-mana.
Inilah yang saya sebut pentingnya literasi dalam menggunakan sosial media. Agar semua pihak bijak dalam menggunakan sosial media.
Kalau dulu mungkin kita mengenal peribahasa "mulutmu harimaumu", tetapi sekarang peribahasa itu agaknya sudah bergeser menjadi "jarimu harimaumu".
Dengan pola komunikasi yang efektif akan memberikan dampak positif pada ketahanan sekolah itu sendiri. Kepercayaan wali murid terhadap sekolah akan meningkat, dan secara tidak langsung akan terbentuk branding yang baik terhadap sekolah tersebut di masyarakat lua.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pentingnya Menjaga Komunikasi Antara Sekolah dengan Masyarakat"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.