Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Satria Widiatiaga
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Satria Widiatiaga adalah seorang yang berprofesi sebagai Guru. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Menyoal Ekslusivitas Sekolah Negeri Favorit

Kompas.com - 24/01/2024, 14:00 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ketika ada kerabat dengan anak yang ingin masuk ke sekolah baru, biasanya mereka akan meminta rekomendasi atau pendapat mengenai sekolah negeri favorit lewat grup WhatsApp keluarga. Biasanya pertanyaan itu diikuti dengan perdebatan mengenai sekolah negeri mana yang dianggap favorit di kota tempat saya tinggal.

Sebagai guru, tentu saya sedikit-banyak tahu mengenai sekolah-sekolah mana yang dianggap favorit. Untuk tingkatan Sekolah Dasar, ada cukup banyak pilihannya, mulai dari desa hingga ke tengah kota.

Untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama, ada di bagian pinggiran kota hingga ke tengah kota. Sementara untuk Sekolah Menengah Atas, pilihan sekolah favorit hanya ada di wilayah tengah kota.

Pertanyaan mengenai sekolah favorit tadi memunculkan pendapat para tetua yang saling "mengadu" sekolah yang mereka anggap paling favorit.

Padahal dari diskusi itu, justru memperlihatkan bahwa sistem zonasi Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) yang diumumkan oleh pemerintah belum sepenuhnya mampu mengubah stigma sekolah favorit di mata masyarakat awam.

Saya pribadi mendukung penuh pemberlakuan sistem zonasi PPDB sebagai upaya menghilangkan stereotip terhadap sekolah-sekolah favorit. Namun, jika dipikirkan lebih mendalam, penerapan sistem zonasi baru akan berhasil apabila terjadi pemerataan standar fasilitas pendidikan di seluruh sekolah negeri Indonesia, tanpa terkecuali.

Hal ini memang tidak mudah dilakukan, namun suatu usaha yang perlu diupayakan untuk menciptakan keadilan dan kemerdekaan pendidikan bagi semua peserta didik di negara ini. Keseimbangan kualitas pendidikan antara sekolah di Jakarta dan di Bovendigul, Papua, haruslah menjadi prioritas tanpa pengecualian.

Kisah inspiratif Prof. Yohannes Surya, yang membawa bocah-bocah dari pedalaman Papua meraih medali dalam Olimpiade Sains Internasional, menunjukkan bahwa dengan memberikan fasilitas pendidikan setara, daerah terpencil juga mampu menghasilkan prestasi akademik yang gemilang.

Upaya Menghapus Stigma Sekolah Negeri Favorit

Menghapus stigma sekolah negeri favorit adalah langkah untuk memberikan peluang yang sama kepada setiap peserta didik, tanpa memandang tempat tinggal mereka.

Ini adalah upaya mewujudkan tujuan bersekolah untuk tidak lagi berkaitan dengan gengsi anak belajar di sekolah favorit atau tidak. Paradigma ini harus diubah agar menciptakan iklim pendidikan yang inklusif dan egaliter.

Tidak seharusnya orangtua kerepotan mendaftarkan anak ke sekolah-sekolah negeri yang dianggap memiliki kualitas terbaik. Sebenarnya, tidak ada kriteria yang jelas untuk menentukan sekolah negeri favorit.

Terkadang, nilai Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) dijadikan acuan, tetapi pemeringkatan ini tidak selalu dapat menjadi tolok ukur yang akurat.

Kisah Prof Yohannes Surya yang berhasil membawa bocah-bocah pedalaman Papua memborong medali dalam kompetisi Olimpiade Sains Internasional membuktikan bahwa anak-anak yang bersekolah bukan di sekolah favorit bisa berprestasi bahkan hingga tingkat internasional.

Apalagi, pemilihan sekolah favorit ini sangat bergantung pada persepsi masyarakat, entah itu terkait dengan kualitas guru, lulusan alumninya, fasilitas, atau hal-hal yang sering kali dilebih-lebihkan dalam perdebatan sekolah favorit. Stigma ini seharusnya tidak mengakar dan tidak sesuai dengan semangat mencerdaskan anak bangsa.

Sistem PPDB memang upaya konkret untuk membentuk ekosistem pendidikan yang berpihak pada peserta didik berdasarkan di mana tempat tinggal mereka.

Hanya saja, sistem ini masih dikeluhkan oleh banyak orang tua karena stigma sekolah favorit ini sudah begitu melekat di benak banyak orang.

Belum lama ini pemerintah lewat Kemendikbudristek menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 22 Tahun 2023 tentang sarana dan prasarana sekolah. Dalam peraturan ini memuat kriteria minimal sarana dan prasarana yang harus tersedia pada satuan pendidikan.

Terbitnya peraturan menteri ini diharapkan ada langkah lanjutan dengan mengadakan sensus infrastruktur dan prasarana sekolah.

Pasalnya data dari BPS menyatakan ada 60% ruang kelas SD di Indonesia kondisinya rusak ringan atau sedang pada tahun ajaran 2021/2022, sementara untuk sekolah SMP dan SMA tercatat 50-60% ruang kelasnya dalam kondisi rusak ringan atau sedang.

Akan tetapi, data itu baru sekadang catatan laporan saja, belum ada data konkret yang menghimpun secara detail mengenai bagian apa saja yang rusak dalam bangunan sekolah tersebut.

Maka dari itu, perlu adanya sensus yang menyeluruh mengenai sarana dan prasarana sekolah di seluruh Indonesia dan mesti melibatkan berbagai pihak, mulai dari komunitas penggiat pendidikan hingga komite sekolah.

Data yang terhimpun nantinya harus dimuat secara online dan realtime dalam satu web online khusus yang merilis data sekolah di seluruh Indonesia yang bisa diakses oleh semua pihak dan masyarakat.

Di samping menghimpun data lewat sensus, perlu juga diterapkan sistem untuk mutasi guru secara berkala. Sebab kita tidak bisa menilai secara subjektif mana guru yang cakap dan mana yang hanya mengajar dengan ala kadarnya.

Maka dari itu perlu ada mutasi guru secara berkala dalam satu wilayah kecamatan, kota atau kabupaten, tergantung jenjang pendidikan dan posisinya.

Tujuannya adalah agar tidak ada sekolah negeri yang hanya diisi oleh formasi guru yang itu-itu saja. Dengan demikian secara tak langsung sekolah-sekolah negeri di satu wilayah tidak lagi ada dikotomi guru-guru yang kompeten di satu sekolah yang sama, tetapi tersebar ke semua sekolah di wilayah tersebut.

Masalah lain yang perlu dilakukan untuk menghilangkan stigma soal sekolah favorit adalah dengan meninjau ulang nama sekolah negeri yang menggunakan nomor.

Terkait penggunaan nomor sebagai nama sekolah negeri, sebuah pertanyaan mendasar muncul, mengapa harus menggunakan urutan nomor angka?

Contohnya seperti SMA Negeri 1 Surabaya atau SD Negeri 16 Mangkubumen Lor. Alasan yang sering kali dikemukakan adalah untuk memudahkan administrasi, namun hal tersebut justru dapat memperkuat stigma sekolah negeri favorit.

Sebagai alternatif, nama sekolah negeri bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih mencerminkan identitas lokal, seperti menggunakan nama kelurahan atau desa tempat sekolah tersebut berada.

Meskipun penggantian nama ini mungkin akan menimbulkan biaya, namun langkah ini dapat mereduksi stigma sekolah favorit dan meningkatkan keadilan dalam dunia pendidikan.

Peran Aktif Komite Sekolah untuk Pemerataan

Peran komite sekolah sangat penting dalam mengawasi kualitas pendidikan di sekolah. Selama ini, komite seringkali dianggap hanya sebagai wadah berkumpul orang tua wali. Namun, peran mereka seharusnya lebih aktif dalam memastikan kualitas fasilitas sekolah.

Setiap agenda rapat tahunan komite sekolah sebaiknya melibatkan anggota DPRD atau perangkat kelurahan setempat. Tujuannya adalah memetakan fasilitas yang membutuhkan perbaikan dan mengalokasikan dana dari pemerintah daerah setempat. Dengan keterlibatan aktif komite sekolah, standar pelayanan sekolah dapat merata di seluruh wilayah.

Jika peran komite sekolah bisa dimaksimalkan dalam hal pengawasan kualitas fasilitas sarana prasarana sekolah di suatu wilayah, maka akan membantu pemerataan standar layanan sekolah secara nasional.

Ketimpangan standar kualitas fasilitas sekolah akan sangat tereduksi jika ada gerak cepat antara komite sekolah, pihak sekolah dan pemerintah setempat dalam memperbaiki kerusakan-kerusakan fasilitas sekolah serta pengadaan alat peraga pendidikan.

Sekolah negeri favorit seharusnya tidak boleh membudaya dalam kultur pendidikan kita, karena tak sesuai dengan semangat inklusif dan egaliter dalam membangun peradaban yang lebih baik.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Upaya Menghapus Status Sekolah Negeri Favorit"

 
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Embung Jakarta untuk Banjir dan Ketahanan Pangan
Kata Netizen
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Ikan Asap Masak Santan, Lezat dan Tak Pernah Membosankan
Kata Netizen
Menerangi 'Shadow Economy', Jalan Menuju Inklusi?
Menerangi "Shadow Economy", Jalan Menuju Inklusi?
Kata Netizen
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Bukit Idaman, Oase Tenang di Dataran Tinggi Gisting
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Terpopuler
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau