Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Mahéng
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Mahéng adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Paylater, Racun yang Membuat Kelas Menengah Sulit Kaya

Kompas.com, 9 Maret 2024, 10:00 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Dalam perjalanan mencapai kebebasan finansial, sering kali kita diingatkan dengan adagium yang menyatakan, "Orang kaya berutang untuk bisnis, kelas menengah berutang untuk gaya hidup, dan orang miskin berutang untuk bayar utang."

Meskipun terdengar sederhana, namun kenyataannya jauh lebih kompleks. Bagi kelas menengah, utang tidak hanya menjadi pilihan, melainkan juga jebakan yang sulit dihindari dan dapat menghambat pencapaian kemapanan finansial.

Meski pendapatan kelas menengah relatif stabil, banyak dari mereka terjebak dalam siklus utang yang sulit diputus. Data dari Harian Kompas mencatat bahwa sekitar 52 juta jiwa dari total penduduk Indonesia, termasuk dalam kategori kelas menengah alias kelompok orang yang dikatakan "susah kaya."

Berangkat dari hal tersebut, muncullah sebuah pertanyaan, mengapa para warga kelas menengah yang sudah kerja keras bagai kuda masih saja sulit mencapai kemapanan finansial?

Pertama-tama, kita harus memahami bahwa takdir Tuhan dapat menentukan kekayaan dan kemiskinan. Namun, di balik takdir itu, ada konsep "sunnatullah" atau hukum kausalitas yang menjelaskan mengapa seseorang mungkin sulit menjadi kaya. Salah satu dari hukum tersebut adalah kecenderungan untuk terjerat dalam utang.

Sebagai masyarakat Indonesia, kebiasaan berutang memang bukanlah hal baru. Akan tetapi, yang membahayakan bila utang tersebut dilakukan untuk memenuhi gaya hidup konsumtif. Dorongan untuk terlihat glamor, konsumsi berlebihan, dan keinginan untuk tampil bergaya dapat mendorong masyarakat kelas menengah untuk berutang. Bahkan dalam beberapa kasus ekstrem, ada orang yang terjerat utang karena judi online.

Saya pun pernah menjadi bagian dari mereka yang gemar berutang. Ideologi konsumerisme yang menghargai materi dan mendorong manusia untuk terus membeli, membawa saya ke dalam siklus utang yang sulit untuk diakhiri. Haryo Setyo Wibowo, dalam bukunya Milenialnomics Mengatur Keuangan dengan Bahagia, menyebutkan bahwa uang dapat menjadi berhala yang menghadapkan manusia pada perdebatan antara kebutuhan dan keinginan.

Paylater, Salah Satu Sumber Masalah Masyarakat Kelas Menengah

Zaman sekarang, di media sosial banyak sekali orang yang menebar "racun" alias konten yang menggoda pengguna media sosial tersebut untuk membeli barang-barang yang sebenarnya tidak kita butuhkan. Ditambah lagi, ada paylater yang sebenarnya tidak solutif semakin membuat banyak orang lebih mudah terjerumus dalam jerat utang.

Paylater, meskipun menawarkan kemudahan "beli sekarang, bayar nanti," sebenarnya adalah bentuk utang. Meskipun terlihat menguntungkan, paylater dapat menjadi racun yang membawa malapetaka bagi keuangan kita. Kebiasaan berutang melalui paylater dapat menggerogoti kantong kita dan menjebak kita dalam siklus utang yang sulit untuk dihentikan.

Apalagi kalau kita sampai memiliki anggapan bahwa "kalau tidak berutang, tidak akan bisa memiliki". Padahal anggapan semacam ini justru berbahaya, sebab membuat kita mengabaikan prinsip-prinsip keuangan yang sehat dan mendorong perilaku konsumtif yang tidak berkelanjutan.

Saya sendiri mengakui bahwa saya pernah memiliki mentalitas serupa, tetapi setelah kembali ke ranah spiritual dan menemukan pegangan hidup, saya memahami bahwa rezeki, termasuk uang, diberikan berdasarkan kebutuhan, bukan keinginan semata.

Apakah kamu pernah berutang hanya untuk membeli pakaian seharga kurang dari Rp50.000 dan memilih untuk menyicilnya selama beberapa bulan menggunakan paylater?

Jika pernah, kamu harus berhati-hati dan segera menghentikan kebiasaan itu. Sebab jika dibiarkan hal itu akan menjadi racun yang dapat membentuk kebiasaan berutang serta menjebak kita dalam siklus berutang yang tak sehat.

Sebagai masyarakat Indonesia, kita mengenal sebuah peribahasa "besar pasak daripada tiang". Sejatinya, peribahasa ini bisa jadi pengingat kita untuk tidak hidup boros dan melampaui batas kemampuan finansial kita. Jangan sampai makna dari peribahasa tadi benar-benar terjadi dalam hidup kita alias pengeluaran kita lebih besar daripada penghasilan yang didapat.

Selain peribahasa tadi, sebuah lagu yang dipopulerkan Haji Uma, penyair kondang asal Aceh berjudul "Gaya Hudep" juga memiliki pesan agar kita jangan hidup berlebihan dan boros.

Keu gaya hudep hana meu oeh ban (Gaya hidup sekarang sudah tidak menentu).

Peubloe tanoeh blang geujak bloe HP (Rela jual tanah sawah untuk beli smartphone).

Penggalan lirik lagu tersebut menggambarkan realitas gaya hidup konsumtif yang menjerumuskan banyak orang, termasuk muda-mudi di Aceh, yang rela mengorbankan aset berharga demi mengikuti tren dan keinginan sesaat.

Buku The Top 10 Distinctions Between Millionaires and the Middle Class karya Keith Cameron mengungkap perbedaan mencolok dalam kebiasaan mengelola keuangan antara orang kaya dan kelas menengah. Kelas menengah sering terjebak dalam gaya hidup konsumtif yang melebihi kemampuan mereka.

Paylater menjadi pilihan yang populer, memungkinkan mereka untuk membeli barang-barang di luar jangkauan finansial mereka. Uang yang seharusnya bisa ditabung untuk masa depan justru dihabiskan untuk membeli gadget terbaru, pakaian bermerek, dan liburan mewah.

Tidak hanya utang, keinginan untuk mendapatkan sesuatu dengan cepat atau instan juga berbahaya. Fast food dan fast fashion, meskipun menarik, memiliki risiko yang tinggi, baik bagi lingkungan maupun finansial kita.

Memilih untuk membeli fast fashion dengan harga murah mungkin dapat memberikan banyak pakaian dengan harga terjangkau, tetapi kualitasnya tidak tahan lama. Sebaliknya, memilih slow fashion yang berkualitas baik dapat menjadi investasi jangka panjang, meminimalkan pembelian berulang-ulang.

Promo flash sale juga perlu diwaspadai. Jangan sampai ketika kita melihat promo tersebut langsung tergoda untuk check out barang yang sebenarnya tak dibutuhkan tanpa pertimbangan yang matang.

Meskipun saya masih berusaha melunasi utang, saya menyadari betapa pentingnya untuk memutus lingkaran utang yang melelahkan. Beberapa faktor, seperti gaji pas-pasan, biaya hidup yang tinggi, dan inflasi, memang berada di luar kendali individu dan menjadi alasan penghambat kelas menengah sulit mencapai kekayaan.

Akan tetapi, selain faktor-faktor tersebut ada faktor lain seperti literasi keuangan yang perlu terus ditingkatkan pada tiap individu. Tanpa literasi keuangan yang baik, sekalipun seseorang memiliki gaji tinggi, ia tak akan memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk mengelola keuangan dengan baik. Alih-alih bisa mengatur keuangannya, justru ia akan mudah terjebak dalam gaya hidup konsumtif dan malah kesulitan untuk menabung.

Oleh karena itu, mari tingkatkan literasi keuangan sebagai langkah pertama menuju kebebasan finansial yang sejati.

Pada akhirnya, utang bagaikan pisau bermata dua. Di satu sisi membantu, namun di sisi lain malah menjerat. Bagi kelas menengah, utang sering kali menjadi jebakan yang sulit dihindari, menghambat mereka mencapai kemapanan finansial.

Kebiasaan berutang, terutama untuk gaya hidup konsumtif adalah salah satu faktor utama yang menghambat kelas menengah untuk mencapai kemapanan finansial.

Ditambah lagi dengan godaan "racun" di media sosial dan solusi "tidak solutif" seperti paylater, semakin mempermudah kita untuk terjerumus dalam lilitan utang yang tak berujung.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Paylater" dan Racun Gaya Hidup: Musuh Tersembunyi Kelas Menengah Susah Kaya"

 
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya
Kenapa Topik Uang Bisa Jadi Sensitif dalam Rumah Tangga?
Kenapa Topik Uang Bisa Jadi Sensitif dalam Rumah Tangga?
Kata Netizen
Urgensi Penataan Ulang Sistem Pengangkutan Sampah Jakarta
Urgensi Penataan Ulang Sistem Pengangkutan Sampah Jakarta
Kata Netizen
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kini Peuyeum Tak Lagi Hangat
Kata Netizen
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Membayangkan Indonesia Tanpa Guru Penulis, Apa Jadinya?
Kata Netizen
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Resistensi Antimikroba, Ancaman Sunyi yang Semakin Nyata
Kata Netizen
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Ketika Pekerjaan Aman, Hati Merasa Tidak Bertumbuh
Kata Netizen
'Financial Freedom' Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
"Financial Freedom" Bukan Soal Teori, tetapi Kebiasaan
Kata Netizen
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus 'Dosa Sampah' Kita
Tidak Boleh Andalkan Hujan untuk Menghapus "Dosa Sampah" Kita
Kata Netizen
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Tak Perlu Lahan Luas, Pekarangan Terpadu Bantu Atur Menu Harian
Kata Netizen
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Mau Resign Bukan Alasan untuk Kerja Asal-asalan
Kata Netizen
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan 'Less Cash Society'?
Bagaimana Indonesia Bisa Mewujudkan "Less Cash Society"?
Kata Netizen
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Cerita dari Ladang Jagung, Ketahanan Pangan dari Timor Tengah Selatan
Kata Netizen
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Saat Hewan Kehilangan Rumahnya, Peringatan untuk Kita Semua
Kata Netizen
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Dua Dekade Membimbing ABK: Catatan dari Ruang Kelas yang Sunyi
Kata Netizen
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Influencer Punya Rate Card, Dosen Juga Boleh Dong?
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau