Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Begitulah kira-kira kalimat yang diucapkan Socrates ribuan tahun lalu. Meski sudah lama, kalimat tersebut masih relevan untuk bisa direnungkan hingga sekarang. Kalimat Socrates itu sengaja saya sematkan di sini agar kita semua bisa merenungkan dan bertanya, apakah praktik pendidikan yang selama ini dilakukan di negeri ini sudah "menyalakan pelita"? Atau hanya mengisi bejana belaka?
"Menyalakan pelita" dalam kalimat Socrates itu memiliki makna yang berhubungan dengan membangun kesadaran berpikir menuju sebuah pencerahan. Hal ini berhubungan dengan pencerahan tentang apa dan bagaimana mestinya kehidupan di masa depan itu bisa dicapai dengan cara yang menyenangkan dan bahagia.
Pendidikan merupakan sarana penuntun bagi proses pencarian manusia untuk mengasah akal, pikiran serta hatinya. Agar menjadi makhluk yang sempurna (insan al kamil).
Dalam teori filsafat Aristotelianisme ada istilah animal rasionale. Istilah ini menjelaskan bahwa manusia adalah binatang (baca: makhluk) yang berpikir. Ini jugalah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya, yakni akal dan pikirannya.
Meski begitu, memiliki pikiran dan akal saja tidaklah cukup untuk disebut manusia sempurna. Manusia baru bisa disebut sempurna jika akal pikirannya diimbangi dengan ketajaman hati nurani dan keluhuran budi pekerti. Nah, di titik itulah pendidikan meneguhkan peranannya.
Kita semua pasti setuju dan meyakini bahwa pendidikan akan membawa kehidupan manusia ke masa depan yang lebih cerah. Artinya, dengan pendidikan yang baik, manusia akan mampu menggapai segala cita-citanya. Meskipun memang dalam beberapa tahun terakhir, dunia pendidikan kita sedang menghadapi tantangan yang cukup berat akibat dampak negatif pesatnya arus perkembangan zaman.
Salah satu tantangan yang terlihat adalah adanya fenomena perundungan di lingkungan pendidikan yang belum lama ini terjadi. Hal ini jadi bukti bahwa sistem pendidikan kita sedang diuji, seberapa siapkan perangkat pendidikan kita mampu membendung dan mereduksi segala perilaku menyimpang tersebut.
Di samping itu, sejauh mana sistem pendidikan kita mampu untuk membawa generasi penerus bangsa ini menjadi generasi bangsa yang unggul dan berdaya saing di era kompetisi global.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi memang mendorong sekuat tenaga agar kurikulum merdeka siap dilaksanakan secara serentak pada tahun pelajaran 2024/2025. Dengan harapan tentu agar kurikulum ini membawa pendidikan kita menuju sebuah titik terang dan bergerak ke arah yang lebih baik.
Pada tahun 2023, sebagaimana dilansir dari laman Kompas.id, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari 203 negara. Posisi Indonesia masih tertinggal dari negara tetangga, seperti Singapura (21), Malaysia (38), atau Vietnam (66).
Ketertinggalan pendidikan Indonesia ini meliputi ketidakseriusan menangani salah kunci utama pendidikan soal peningkatan kualitas, profesioanalisme, dan kesejahteraan guru. Jika mengacu pada data tersebut, bisa dikatakan bahwa kualitas pendidikan Indonesia belum bisa dikategorikan baik.
Masih banyak hal yang harus dibenahi agar kualitas pendidikan kita beranjak naik dan bisa setara dengan negara-negara maju lain. Atau paling tidak pendidikan kita bisa setara dengan negara tetangga, Singapura, yang sampai saat ini masih dinobatkan sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik di kawasan Asia Tenggara.
Dari semua hal itu, apakah nantinya Kurikulum Merdeka akan menjadi solusi pendidikan kita? Tentu untuk menemukan jawabannya bukanlah hal mudah. Sebab, hal itu membutuhkan kajian yang mendalam tentang efektivitas penerapan Kurikulum Merdeka dalam mendorong keberhasilan praktik pendidikan kita.
Tentu kita semua sebagai masyarakat Indonesia merindukan pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang dapat menyalakan pelita intelektual generasi penerus bangsa. Tak peduli apa kurikulum dan sistem pendidikan yang tengah diterapkan, tentu semua itu akan kembali bermuara pada falsafah bangsa Indonesia; membentuk manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila; yang berketuhanan, berperikemanusiaan, berjiwa persatuan, serta memiliki semangat keadilan sosial dalam kebhinekaan.
Anak-anak murid kita bukan hanya diibaratkan sebagai bejana kosong yang hanya diisi dan dijejali dengan berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah. Lebih dari itu, generasi penerus bangsa kita adalah pembelajar yang aktif, yang bahkan bisa belajar dari mana saja, dari kapan pun dan siapa pun.
Oleh karenanya, guru memiliki peran yang begitu fital untuk mengarahkan dan memfasilitasi anak didiknya agar menemukan pengetahuan serta pemahaman akan ilmu.
Hal itu juga yang dalam Kurikulum Merdeka dikenal sebagai pembelajaran yang berpihak pada murid. Konsep itu merupakan pendekatan yang dalam proses pembelajaran dapat mengakomodasi kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa sebagai fokus utama. Sebuah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek yang unik dan dinamis.
Sebagai catatan, Kurikulum Merdeka memang menitikberatkan pada pengembangan kreativitas serta pembentukan karakter murid. Dengan konsep berdiferensiasi dan penajaman karakter melalui pendekatan proyek penguatan profil pelajar pancasilanya, Kurikulum Merdeka diharapkan menjadi kurikulum yang aktual sesuai dengan paradigma pembelajaran abad ke-21.
Maka dari itu Kurikulum Merdeka diharapkan bukan menjadi pembelajaran yang dilaksanakan ibarat hanya mengisi bejana kosong, guru berperan sebagai sumber ilmu pengetahuan dan murid berperan sebagai pihak yang menerima pengetahuan secara pasif.
Hal itu tentu bertolak belakang dengan pembelajaran abad 21 yang berpusat pada murid dan murid bertindak sebagai subjek aktif dalam pembelajaran.
Lantas, bila kembali pada pertanyaan awal, di manakah posisi pendidikan Indonesia dalam beberapa tahun terakhir, apakah sudah termasuk kategori menyalakan pelita atau hanya mengisi bejana kosong?
Jawabannya tentu hanya bisa ditemui di dalam hati para guru sendiri, sebab guru lah yang bertindak sebagai pelaksana teknis pendidikan, dan guru pula lah penggerak sistem pendidikan itu sendiri.
Kurikulum Merdeka yang memberikan keleluasaan bagi para guru untuk merancang dan mengembangkan pembelajaran, tentu tidak akan berjalan efektif jika tidak diimbangi dengan semangat dan kreativitas dalam berkarya. Artinya, kurikulum dapat dikatakan bagus jika diimbangi dengan sarana-prasarana sekolah yang memadai serta kemampuan SDM guru yang mumpuni.
Akan tetapi, sayangnya dewasa ini kedua hal tersebut justru menjadi PR besar bagi pemerintah kita. Di Indonesia, setiap tahun masih saja terdengar isu tentang kesejahteraan para guru, tidak sedikit pula berita tentang sekolah dengan minim sarana-prasarana, khususnya di wilayah pelosok Indonesia.
Perlu diakui, untuk menggerakkan kapal besar bernama pendidikan Indonesia membutuhkan kerja keras dan komitmen bersama dari semua pihak. Pemerintah sudah memulainya dengan apa yang kita kenal dengan guru penggerak. Akan tetapi peran guru penggerak saja tidak akan cukup, melainkan juga butuh peran keluarga, sekolah, dan masyarakat, serta negara secara keseluruhan.
Jangan sampai angan bahwa pendidikan kita akan mencerahkan ibarat menyalakan pelita dan bukan sekadar mengisi bejana kosong hanya menjadi jargon semata, menjadi kalimat indah penuh metafora yang mudah diucapkan namun sulit untuk mewujudkannya karena justru permasalahan yang paling krusial, yakni kesejahteraan guru/pendidik tidak terpenuhi.
Atau bisa juga sebaliknya, di saat kesejahteraan guru sudah tercukupi, akan tetapi guru malah menjadi pribadi yang enggan mengembangkan diri. Begitu pun dengan sarana dan prasarana sekolah, jangan sampai sudah banyak guru yang menginginkan perubahan dan kemajuan, tapi sarana dan prasarana sekolah belum juga bisa mendukung.
Negara tidak boleh abai dengan berbagai macam isu pendidikan dan harus terus menerus melakukan berbagai upaya kebijakan guna mendorong pendidikan kita ke arah yang lebih baik. Agar pelita-pelita intelektual menyala dengan terangnya di seluruh antero negeri. Menerangi bangsa dan negara dengan cahaya kemajuan dan keberadaban. Tetap sehat dan tetap semangat. Maju terus pendidikan Indonesia. Salam blogger persahabatan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.