Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Beberapa waktu lalu, dunia maya dihebohkan oleh pernyataan seorang influencer Indonesia yang berkuliah di Amerika Serikat mengenai kurangnya kosakata dalam bahasa Indonesia dibandingkan dengan bahasa Inggris dan Arab.
Pernyataan ini dia sampaikan saat berada dalam sebuah acara siaran bersama Cinta Laura Kiehl.
Reaksi negatif dari warganet Indonesia pun tak terhindarkan, dengan banyak yang tidak setuju jika bahasa nasional kita dianggap kurang kaya kosakata.
Bahkan, komentar-komentar kasar membanjiri kolom-kolom komentar pada unggahan-unggahan yang membagikan pernyataan tersebut.
Unggahan asli dari akun influencer juga tak luput dari caci maki dalam kolom komentar.
Warganet Indonesia menunjukkan solidaritas dalam menyerangnya begitu mereka bersatu.
Mereka secara tiba-tiba bersatu untuk mengejek. Sayangnya, mengapa mereka tidak memilih untuk mengkritik influencer tersebut dengan cara yang lebih santun dan terpelajar.
Yang lebih memprihatinkan, warganet yang menggunakan komentar menghina tanpa melakukan riset lebih dulu.
Faktanya, Kamus Besar Bahasa Indonesia mencatat 127.036 kosakata dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, bahasa Inggris memiliki 1.022.000 kosakata, dan bahasa Arab memiliki sekitar 12,3 juta kata. Seperti yang disebutkan oleh influencer, memang benar bahwa jumlah kosakata bahasa Indonesia masih di bawah kedua bahasa yang dibandingkan.
Oknum netizen yang merespon tanpa memeriksa fakta terlebih dahulu justru menggambarkan seperti apa sumber daya manusia Indonesia.
Mereka merasa tersinggung jika bahasa Indonesia disebut kurang kaya kosakata dan orang-orangnya dianggap malas.
Tapi dengan cara mereka merespons secara gegabah tanpa memeriksa fakta terlebih dahulu, justru menguatkan pernyataan influencer bahwa orang Indonesia malas, terutama dalam membaca dan mencari fakta.
Setelah beberapa warganet lain mengungkap fakta mengenai jumlah kosakata bahasa Indonesia yang memang lebih sedikit dari bahasa Arab dan Inggris, warganet hujat mempermasalahkan cara influencer menyampaikan pesannya.
Lebih baik tidak mengatakan bahwa bahasa Indonesia kurang kaya kosakata, tapi katakanlah bahwa bahasa Indonesia masih perlu kosakata lebih banyak.
Sebagian warganet menyoroti pilihan kata influencer tersebut.
Warganet Indonesia juga tidak setuju dengan pernyataan influencer bahwa masyarakat Indonesia malas. Pilihan kata yang dianggap kurang tepat ini yang menyebabkan kemarahan warganet.
Memang, masyarakat Indonesia terkenal dengan keramahan dan sopan santunnya. Menggunakan kata-kata yang sopan dan baik akan lebih diterima. Mungkin tidak harus menyebut orang Indonesia malas, tapi cukup katakan bahwa orang Indonesia perlu lebih semangat dan rajin lagi.
Dari tuntutan agar influencer berbicara dengan kata-kata yang tepat, warganet justru tidak memberikan contoh kata yang benar, tapi justru melontarkan kata-kata kasar di kolom komentar unggahan tersebut.
Menggunakan kata-kata kasar dan tidak memilih kata-kata yang sopan dan terpelajar di kolom komentar seseorang sepertinya sudah menjadi suatu hal yang diterima.
Dari reaksi warganet Indonesia terhadap pernyataan bahwa bahasa Indonesia kurang kaya kosakata, terlihat bahwa kuantitas menjadi sorotan utama.
Seakan butuh validasi bahwa bahasa Indonesia kaya kosakata dalam hal kuantitas saja.
Sebenarnya, bahasa Indonesia sudah kaya dibanding bahasa dari negara lain. Namun, yang dibandingkan oleh influencer viral adalah bahasa Inggris dan bahasa Arab, yang memang secara jumlah kosakata masih lebih banyak dari bahasa Indonesia.
Juga perlu diingat bahwa bahasa Indonesia masih relatif muda dibanding bahasa Inggris dan Arab.
Jadi, secara logis wajar jika kosakata bahasa Indonesia lebih sedikit. Mengapa harus menolak fakta tersebut?
Lebih baik fokus pada kualitas penggunaan bahasa daripada jumlah kosakatanya.
Apakah warganet yang menghujat sudah menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dalam kehidupan sehari-hari?
Disadari bahwa bahasa asing sudah merajalela dalam kehidupan sosial di Indonesia.
Bahkan, bukan hanya masyarakat kelas atas yang menggunakan bahasa asing. Masyarakat biasa pun sering menggunakan bahasa asing dalam percakapan sehari-hari.
Contohnya, lebih banyak yang menggunakan kata "laundry" daripada "binatu". Kata "laundry" sudah begitu akrab, sementara tidak semua mengenal "binatu" sebagai alternatif.
Terlebih dengan maraknya toko online, bahasa asing lebih sering digunakan dalam transaksi.
Para penjual online lebih sering menggunakan kata "ready" daripada "tersedia", "delivery" daripada "pengantaran", dan sebagainya.
Jadi, mari renungkan kembali cinta kita pada kosakata bahasa Indonesia.
Daripada mencaci orang lain di media sosial, lebih baik tunjukkan cinta itu dengan menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.
Jadilah penutur bahasa Indonesia yang bijak!
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kuantitas Kosakata Bahasa Indonesia vs Kualitas Penuturnya"