Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Joko Pinurbo berpulang. Hari ini untuk bersedih. Bersedih dengan cara membaca lagi puisi Joko Pinurbo.
Puisi-puisi yang dibuat Joko Pinurbo mengajarkan bagaimana menikmati tragedi, ironi, humor dari hidup sehari-hari jelata diikhtiarkan.
Puisi-puisinya mungkin tak sangar, tak mengoreksi kekuasaan.
Kalau membaca lagi karya-karya Joko Pinurbo, seperti ingin mengingatkan bahwa perjalanan dan pergulatan nasib manusia.
Bahwasanya orang kecil tidak cukup dimaknai dengan khutbah, apalagi janji politik yang temporer.
Sejalan-seirama dengan itu, puisi-puisi Joko Pinurbo mengajak kita bermain-main dengan tubuh/badan, menggenapi nasib.
Banyak sekali diksi-diksi yang digunakan Joko Pinurbo guna menggambarkan realitas lewat puisinya, ada celana, sarung, telepon genggam, toilet, hingga ranjang dan angkringan.
Malah seorang Sastrawan dan Cendikiawan (Alm.) Ignas Kladen menuliskan, bahwa penyair Joko Pinurbo selalu memandang tubuh manusia dengan nada yang ironis.
"Mengapa penyair Joko Pinurbo selalu memandang tubuh manusia dengan nada yang ironis, dengan bitter after-taste, yaitu rasa pahit yang menyusul setelah kita menelan sesuatu? Apakah tubuh manusia tidak menimbulkan pesona apa pun pada penyair ini?" tulisnya, dalam sebuah esai, "Puisi: Membaca Kiasan Badan".
Tubuh macam apa yang dikonstruksi dalam puisi yang dipertanyakan itu? Sebagai secuil gambaran, mari kita tengok puisi Mampir yang mirip pesan short message service (SMS).
Tadi aku mampir ke tubuhmu
tapi tubuhmu sedang sepi
dan aku tidak berani mengetuk pintunya.
Jendela di luka lambungmu masih terluka
dan aku tidak berani melongoknya.
Ignas Kleden tentu saja mengajukan (cara menemukan) jawaban.
Yakni dengan mengajak kita melihat tubuh dalam puisi penyair yang pada tanggal 11 Mei nanti akan berulang tahun kedalam diskursus intelektual, khususnya filsafat dan sosiologi. Tempat dimana tubuh direnungkan dalam konfigurasi kapitalisme dan masyarakat modern.
Ignas Kleden menutup renungannya dengan kalimat:
Dalam arti itu, kumpulan sajak ini dapat dipandang sebagai suatu seismograf kebudayaan karena dia menyingkapkan dan mengingatkan kembali pentingnya badan dalam hidup, dalam kebudayaan, dan dalam puisi Indonesia.
Membaca kiasan badan dengan benar, memahami bahasa badan dengan lebih sensitif, adalah sebuah jalan aman untuk memahami banyak perkara penting dalam kebudayaan dan masyarakat, juga di Indonesia.
Dari warisan renungan Ignas Kleden, saya lantas tergerak membaca ulang kumpulan puisi sang penyair kelahiran Sukabumi yang berjudul Selamat Menunaikan Ibadah Puisi (Gramedia, 2022).
Ini kutipan bait pertamanya:
Di bawah kibaran sarung, anak-anak berangkat tidur
di haribaan malam. Tidur mereka seperti tidur
yang baka. Tidur yang dijaga dan disambangi
seorang lelaki kurus dengan punggung melengkung,
mata yang dalam dan cekung.
"Hidup orang miskin!"pekiknya
sambil membentangkan sarung.
Kibaran sarung (dan bukan bendera negara) adalah pelindung bagi orang-orang miskin kala menidurkan nasibnya.
Jadi, jika kita kembali pada apa yang coba tuturkan oleh Ignas Kleden sarung dalam puisi itu tidak lagi berhenti sebagai atribut ekstrinsik (sesuatu yang berada di luar).
Sarung akhirnya telah menjadi bagian dari pergulatan sehari-hari dari nasib miskin dan batuk yang berbunyi sepanjang malam.
Sarung adalah bentuk simbolik, bagian dari ekspresi kebudayaan orang-orang miskin, walau tidak lantas bermakna dimonopoli oleh mereka yang malang. Oleh Joko Pinurbo, kegetiran, kenestapaan dan permainan humor yang sendu diimbuhkan; sedih tapi lucu.
Walau begitu, sarung jelas baru satu perkara saja. Ada satu puisinya yang secara tak sengaja saya temukan rak Toga Mas belum lama ini.
Puisi yang juga pendek saja ini berhasil menghadirkan lagi memori akan sebuah tempat yang identik dengan keseharian jelata, ngobrol dan nasib, serta cahaya remang di bawah malam.
***
Puisi-puisi Joko Pinurbo telah berhasil menggenapkan kesedihan ini, pada hari yang mana ia berpulang.
Joko Pinurbo mengabdikan hidup sebagai guru yang secara sungguh-sungguh membuat akrab dengan puisi yang pintar menertawakan tragedi sembari bermain dengan ironi.
***
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Terima Kasih Joko Pinurbo"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.