Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pilkada 2024 merupakan momentum penting untuk menguji sejauh mana populisme dapat dikelola dengan bijak dalam konteks politik lokal di Indonesia.
Akan tetapi, populisme telah menjadi fenomena global pada beberapa aspek termasuk politik.
Kalau pembahasannya ditarik pada konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada), populisme kerap kali menjadi strategi yang diadopsi oleh para calon pemimpin untuk menarik dukungan.
Francis Fukuyama, seorang profesor Ilmu Politik di Amerika Serikat, dalam artikel "What is Populism" (2017) mengidentifikasi tiga ciri utama populisme.
Pertama, populisme cenderung mengadopsi kebijakan jangka pendek yang pro-rakyat, bentuk kebijakan sosial seperti subsidi, pensiun, dan fasilitas gratis.
Bentuk seperti ini berdampak pada kebijakan ini seringkali tidak memperhatikan stabilitas ekonomi dan kepentingan jangka panjang negara.
Kedua, pemimpin populis mendefinisikan "rakyat" secara sempit berdasarkan identitas seperti etnis, ras, dan agama.
Donald Trump dengan slogannya "America First", misalnya, mempromosikan supremasi kulit putih, tetapi mengabaikan minoritas seperti Afrika-Amerika dan Hispanik.
Ketiga, gaya kepemimpinan populis sering kali membangun kultus pribadi dengan pemimpin mengklaim otoritas yang memungkinkan mereka bertindak secara independen dari lembaga demokrasi, terutama partai politik.
Populisme di Indonesia tercermin dalam retorika politik para elit yang menonjolkan kedekatan dengan rakyat.
Strategi populisme pragmatis telah ada sejak awal kemerdekaan Indonesia, pertama kali digunakan oleh Soekarno dengan doktrin Marhaenisme. Megawati Soekarnoputri kemudian melanjutkan populisme pragmatis, meskipun kebijakan pemerintahannya bersifat pragmatis (Triwibowo & Martha, 2021).
Penelitian Triwibowo & Martha (2021) mengungkapkan bahwa Jokowi dan Prabowo menunjukkan jenis populisme yang berbeda. Jokowi dikenal sebagai pemimpin populis santun, sementara Prabowo sebagai pemimpin populis ideal.
Menggunakan populisme pragmatis sebagai strategi politik untuk meraih kekuasaan politik, memanfaatkan retorika populisme tanpa konsistensi anti-elit yang sejati (Triwibowo & Martha, 2021).
Pilkada 2024 dan Pemimpin Populis
Pemimpin populis dalam konteks Pilkada cenderung menggunakan bahasa sederhana dan simbol-simbol budaya lokal untuk menarik dukungan.