Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Fenomena sepinya pasar dan "kegairahan" pelaku bisnis dalam melakoni unit bisnisnya mulai menurun.
Fenomena tersebut terjadi karena masyarakat yang tergolong kelas (ekonomi) menengah terlebih kelas (ekonomi) bawah beberapa tahun terakhir sudah mengurangi konsumsinya.
Pendapatan mereka tergerus dan/atau turun. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan atau melakukan konsumsi, mereka terpaksa "mengorek tabungan" atau biasa disebut dengan "makan tabungan".
Pendapatan Turun
Pendapatan turun yang menyebabkan masyarakat "makan tabungan" tersebut sudah berlangsung dua tahun terakhir ini.
Mandiri Spending Index (MSI) mencatat tren masyarakat kelas menegah bawah "makan tabungan" sudah terjadi sejak April 2023 dan masih akan berlanjut hingga tahun 2024.
Semua kelas masyarakat Indonesia mengalami penurunan kondisi penghasilan terutama kelas menengah bawah.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan bloomberg Technoz, kelas menengah bawah yang memiliki penghasilan 2,1 juta hingga 4 juta per bulan, mencatat penurunan indeks penghasilan saat ini paling tajam, pada Mei yaitu hingga 8 poin.
Sementara kelompok di bawahnya, penghasilan 1 juta hingga Rp. 2 juta tergerus tipis. Sedangkan konsumen dengan pengeluaran di atas Rp. 4 juta dan di atas Rp. 5 juta, juga turun 1,4 poin dan 4,4 poin.
Menurunnya pendapatan ini sebenarnya terjadi saat pandemi. Sayangnya, itu bertahan sampai saat ini. Tidak sedikit pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Kemudian, bagi masyarakat yang memperoleh pendapatan dari melakukan bisnis, bisnisnya stagnan dan turunnya permintaan atau daya beli, sehingga menyebabkan pendapatan mereka ikut menurun.
Itu baru dari satu faktor, ada faktor lain yang juga memengaruhi yaitu harga-harga terus naik.
Contoh Beban Nyata
Dalam fenomena yang ada, kita bisa menyimak apa yang dirasakan.
Contoh sederhana, dalam satu keluarga dengan lima anggota keluarga hanya Ayah yang bekerja. Pendapatan yang didapat lebih kurang 5 juta per bulan.
Bila dirunut, uang sebesar itu jika digunakan unutk memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak, mungkin tidak cukup.
Maka yang akan terjadi adalah Ayah memutar otak bagaimana untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan pendapatannya.
Dari pendaptannya itu, mesti dipilih dan pilah, mana yang digunakan untuk biaya sekolah anak dan mana yang mesti digunakan untuk membayar cicilan.
Jadi seiring berjalannya waktu tidak heran kalau fenomena "makan tabungan" mulai merebak. Bahkan lama-lama tabungan habis.
Lakukan Terobosan
Dalam mencari solusi persoalan yang satu ini, sedapat mungkin menggenjot pertumbuhan ekonomi dengan mendorong variabel ekonomi yang akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi, seperti invesatsi dan ekspor.
Menggiring investasi yang menciptakan multiplier effect yang besar, bukan semata investasi yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Kemudian langkah yang juga tak kalah penting adalah bagaimana menekan ketimpangan yang cendrung membesar di dunia kerja dan kalangan masyarakat luas.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengapa Fenomena "Makan Tabungan" dan Menahan Konsumsi Makin Marak?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.