Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Ada yang namanya rantai makanan dalam pembelajaran IPA, maka dalam ilmu ekonomi kita mengenal rantai pasok: dari produsen ke distributor, ke pengecer, lalu ke konsumen.
Namun, seiring berkembangnya teknologi, rantai ini mulai terputus, mengubah lanskap ekonomi kita dengan cara yang luar biasa "hebat".
Hadirnya e-commerce seperti koin bermuka dua, penyelamat sekaligus perusak struktur lama. Bayangkan, profesi pengecer yang selama ini menjadi tumpuan banyak orang, mulai terkikis.
Aplikasi belanja online mulai menggantikan peran mereka, membangun jembatan langsung antara konsumen dan produsen.
Pengecer yang dulu hanya bermodal kecil kini bisa langsung melangkahi distributor, membeli barang dalam jumlah besar langsung dari produsen.
Distributor yang merasa terancam, membuka divisi penjualan sendiri melalui akun "official" di platform e-commerce.
Perang harga pun terjadi. Penjual berlomba-lomba menarik konsumen dengan diskon dan gratis ongkir.
Konsumen pun semakin dimanja, tanpa sadar turut andil dalam mengacaukan rantai pasok. E-commerce memberikan kemudahan yang luar biasa, tapi di balik itu semua, ada harga yang harus dibayar.
Di balik layar e-commerce, terjadi konflik kepentingan yang intens. Distributor yang dulunya menguasai pasar lokal mulai kehilangan kendali.
Mereka yang merasa tersisih dari rantai pasok tradisional beralih membuka divisi e-commerce sendiri, menjual langsung ke konsumen dengan harga yang sangat kompetitif.
Tidak jarang, mereka juga menjadi pemasok bagi pengecer besar yang kemudian menjual barang dengan harga lebih rendah lagi, memperburuk situasi bagi pengecer kecil.
Situasi ini memicu perang harga, penjual besar dengan modal besar dapat menghabiskan uang untuk iklan dan promosi di platform e-commerce, menarik lebih banyak konsumen.
Mereka juga mampu memberikan diskon besar-besaran dan subsidi ongkir, menarik konsumen dari berbagai daerah, termasuk daerah-daerah terpencil.
Kondisi ini menciptakan konflik yang tidak hanya dirasakan oleh pengecer kecil, tetapi juga oleh konsumen dan pemerintah daerah. Sedangkan di satu sisi, konsumen menikmati kenyamanan dan harga murah yang ditawarkan e-commerce.
Bahkan di sisi lain, ekonomi lokal mulai terguncang. Pendapatan yang seharusnya berputar di daerah kini tersedot ke kota-kota besar.
ironi terbesar muncul e-commerce yang diharapkan membawa kemajuan dan kesejahteraan, justru menciptakan ketimpangan baru.
Pengecer kecil dan menengah terpinggirkan, sementara raksasa teknologi terus menggurita, menguasai pasar dengan kekuatan modal yang luar biasa.
Dalam menghadapi tantangan ini, diperlukan solusi yang komprehensif. Teknologi memang tidak bisa dihentikan.
Namun, kita bisa mencari cara untuk mengintegrasikannya dengan ekonomi lokal. Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang lebih berkeadilan.
Misalnya, platform e-commerce bisa diwajibkan untuk memberikan ruang yang lebih besar bagi pengecer lokal, dengan dukungan promosi dan pelatihan.
Penting bagi konsumen untuk lebih sadar akan dampak dari pilihan belanja mereka. Mendukung pengecer lokal bukan hanya soal harga, tapi juga soal keberlanjutan ekonomi daerah.
Teknologi seharusnya menjadi alat yang memperkaya kehidupan kita, bukan sebaliknya. Kita harus bijak dalam memanfaatkannya, memastikan bahwa semua pihak mendapatkan manfaat yang adil.
Rantai pasok yang seimbang adalah kunci untuk menciptakan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Di Balik Gemerlapnya Marketplace Ada Toko Kecil yang Bernafas pun Amat Sulit"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.