Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Menikah adalah proses menyatukan dua kepala, dua pemikiran, dua keinginan menjadi satu dalam sebuah ikatan yang sah di mata agama dan negara.
Selain untuk memperoleh keturunan, menikah juga membentuk keinginan kedua belah pihak ingin memperoleh kebahagiaan dari pada ketika berstatus single.
Namun, seiring dengan berjalannya waktu terkadang apa yang diidamkan tak sesuai dengan kenyataan.
Banyak kerikil yang harus dilalui. Banyak fakta-fakta yang terkadang tidak mengenakan sepanjang perjalanan pernikahan. "Oh ternyata suamiku aslinya seperti ini. Oh ternyata istriku wataknya seperti ini," dan sebagainya
Banyak hal yang bisa menjadi pemicunya. Ada yang bilang karena terlalu cepat memutuskan untuk menikah sehingga belum benar-benar mempelajari karakteristik pasangan hidup.
Sedangkan jika terjadi pada lain orang ada yang merasa karena terlalu lama pacarana sehingga hubungan pernikahannya menjadi membosankan.
Hal itu jelas tak bisa dihindari, mengingat kita menikah dengan manusia yang tak pernah benar bisa dijangkau dalam hatinya.
Salah satu permasalahan yang cukup serius adalah ketika kita merasa kesepian dalam sebuah pernikahan. Komunikasi tak lagi banyak dan hangat.
Suami dan istri sibuk dengan perannya masing-masing sehingga tak lagi punya keinginan dan waktu untuk berbincang tentang hal-hal yang menyenangkan.
Saya dan suami adalah pasangan yang menjalani masa pra pernikahan dengan hubungan Long Distance Relationship (LDR) dan kami menjalaninya cukup singkat yakni hanya 2 bulan saja.
Setelah menikah pun kami tak punya banyak waktu untuk tinggal bersama, karena setelah satu tahun usia pernikahan, saya mendapat tugas dinas luar kota.
Tentunya kami sangat berharap memiliki waktu kebersamaan seperti pasangan lainnya. Namun apa mau dikata? Kondisi kami memang belum memungkinkan untuk melakukannya.
Walau begitu kami tetap merasa dekat, karena hampir setiap hari kami berkirim kabar baik melalui text atau video call.
Sampai akhirnya kesempatan itu datang setelah kami memiliki anak kedua. Saya dan suami memiliki komitmen untuk tidak lagi menerima tawaran kerja yang membuat salah satu dari kami berjauhan dengan keluarga.
Namun, ketika sudah dijalani, ternyata rasa kesepian itu justru ada. Saat kami sudah tinggal di bawah satu atap, kami malah kurang sekali berbincang satu sama lain. Kami hanya punya waktu untuk anak-anak.
Hal itu memang kami anggap perlu mengingat kami nggak mau anak-anak sampai merasa kurang diperhatikan oleh kedua orang tuanya.
Rasa kesepian ini sempat membuat keresahan untuk saya pribadi, saya berpikir seharusnya suami saya begini, seharusnya suami saya begitu.
Saya coba untuk komunikasikan keadaan ini pada suami. Namun ternyata dia menganggap tidak ada yang berubah dengan kondisi saat ini.
Dari sini saya mulai berpikir, mungkin memang harus ada adaptasi yang baru mengingat baru ini kami tinggal bersama lebih dari satu tahun. Saya tidak bisa selalu berharap semua bisa saya atur sehingga nampak sempurna "kayak orang-orang".
Saya pun secara inisiatif mulai untuk mengatur diri saya sendiri, menahan semua harus seperti yang saya mau.
Belajar untuk mengetahui kebiasaan pasangan sebelum menikah dan menerimanya
Menikahi lawan jenis yang berbeda pola pikir membutuhkan effort yang luar biasa. Apalagi jika kebiasaannya ketika belum bersama kita sangat jauh berbeda dengan kebiasaan kita.
Jika pasanganmu sosok introvert, jangan memaksakan dirinya menjadi sosok extrovert.
Jika dia tidak punya adik atau sejak kecil dibiasakan menghadapi segalanya seorang diri, jangan memaksakan diri untuk mengubah itu dengan meminta perhatian secara berlebihan atau ingin terlalu ikut campur urusannya.
Memaksanya untuk berbagi cerita ketika dia punya masalah. Cukup siapkan diri untuk menjadi lawan bicaranya kapanpun dia membutuhkan.
Jangan berharap selalu satu visi dan misi
Banyak di antara pasangan suami istri yang salah satunya dominan suka mengeluh. Permasalahan sepele yang tidak sesuai dengan kebiasaan kita tiba-tiba dijadikan alat untuk memacu sebuah keributan yang hebat.
Ingat, kita dan pasangan terlahir dari orang tua yang berbeda. Tidak ada pasangan yang 100% memiliki visi dan misi yang sama, yang ada adalah dua orang yang sama-sama berjuang untuk menyamakan visi dan misi dalam ikatan pernikahan.
Lakukan banyak kesibukan
Ini hal yang paling keras saya lakukan. Menulis adalah salah satu upaya menyibukkan diri. Mungkin untuk yang tidak suka menulis bisa lakukan hobi lainnya.
Melakukan hobi selain untuk menghabiskan waktu yang senggang, juga bisa mengurangi rasa lelah, menyenangkan hati, dan yang pasti mengurangi pikiran-pikiran jelek tentang pasangan.
Kesibukkan yang dilakukan juga bisa bersama teman-teman atau keluarga lain, yang pasti manfaatkan momen itu untuk melupakan rasa kesepianmu.
Jangan menceritakan rasa kesepian dalam rumah tangga pada orang yang salah
Dalam pernikahan, perselingkuhan adalah permasalah yang sangat ditakuti. Dan rasa kesepian dalam pernikahan bisa menjadi salah satu pemicunya.
Ingat kata pepatah "rumput tetangga jauh lebih hijau dan indah daripada rumput di halaman sendiri" Hal itu yang bisa muncul ketika kita dalam kondisi merasa kesepian.
Boleh saja kita bercerita tentang rasa kesepian pada orang yang kita percaya, bisa sahabat, keluarga (orang tua/kakak/adik) atau bisa juga ke konsultan pernikahan.
Namun jangan coba-coba menceritakan hal itu pada lawan jenis, apalagi yang memiliki keluhan yang sama dalam pernikahan. Hal itu bisa menjadi awal mula terjadinya perselingkuhan.
Kenali rasa sepi atau kesepian?
Ada sejumlah suami atau istri yang terkadang terlalu berlebihan dalam menyikapi rasa sepi. Padahal jika perasaannya sedang baik-baik saja, kesepian itu justru tak terasa.
Namun ketika hati atau kondisi mental sedang tidak baik-baik saja, perasaan itu makin membuncah dan mulai menganggu ketenangan. Coba pahami dulu apakah yang dirasakan benar-benar sebuah kesepian atau hanya rasa sepi belaka?
Belajar berdamai dengan kesepian
Sesungguhnya rasa sepi memang tidak bisa dihindari. Kita semua pasti akan mengalaminya. Entah ketika pasangan lebih dulu kembali ke Maha Pencipta, atau ketika anak-anak sudah besar dan sudah punya keluarga masing-masing, atau pasangan memang sudah tak ada cinta lagi.
Rasa kesepian itu normal adanya dan kita tak pernah bisa mengatur kapan datangnya. Yang bisa dilakukan hanya bagaimana cara kita untuk menerima kedatangannya yang tiba-tiba dan tetap menjalaninya dengan suka cita.
Belajarlah berdamai dengan rasa sepi, berpikirah positif bahwa kita sedang belajar merasakan kesepian yang sesungguhnya jika saat itu benar-benar datang.
Ajak pasangan untuk mengidentifikasi kesepian yang dirasakan
Tak salah jika kita mencoba untuk sharing tentang apa yang kita rasakan dalam rumah tangga. Libatkan pasangan untuk mengidentifikasi perasaan itu. Belajar menerima pendapatnya yang mungkin tidak sesuai harapan.
Ingat-ingat lagi bahwa dirinya juga memiliki kondisi yang terkadang harus dia terima demi menyenangkan hati kita.
Namun jika semua hal sudah dicoba dan tetap rasa kessepian dalam rumah tangga terus ada dan mengganggu dna memunculkan masalah-masalah baru, yakinkan diri untuk hidup sendiri.
Terlalu sibuk merasa kesepian bisa membuat kita menjadi kurang produktif. Aura yang terpancar juga tidak cerah.
Ingatlah bahwa diri kita sangat pantas untuk bahagia. Menangkan diri kita dengan melawan rasa kesepian jangan biarkan ia terus bermain-main dalam kepala hingga membuat kita lupa bahwa hidup ini hanya sebentar.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Lonely Marriage; Kesepian atau Hanya Rasa Sepi Semata?"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.