Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhammad Dahron
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Muhammad Dahron adalah seorang yang berprofesi sebagai Freelancer. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

"Sustainable Living", Masih Sekadar Tren atau Kesadaran Sosial?

Kompas.com - 25/02/2025, 13:54 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Gaya hidup berkelanjutan alias Sustainable Living kini semakin populer. Kesadaran akan perubahan iklim, polusi plastik, dan eksploitasi sumber daya alam mendorong banyak orang untuk beralih ke pola hidup yang lebih ramah lingkungan. 

Mulai dari penggunaan produk berbahan alami, pengurangan limbah, hingga memilih transportasi yang lebih hijau, berbagai aspek kehidupan kini mulai disesuaikan demi mengurangi dampak negatif terhadap bumi.

Tren ini semakin diperkuat oleh media sosial, di mana banyak influencer dan brand mempromosikan gaya hidup berkelanjutan sebagai sesuatu yang modern dan keren. Dari kemasan eco-friendly hingga pakaian berbasis daur ulang, produk-produk hijau kini banyak beredar di pasaran dengan label "sustainable." 

Namun, di balik meningkatnya popularitas ini, muncul pertanyaan: apakah gaya hidup berkelanjutan benar-benar didorong oleh kesadaran akan lingkungan, atau hanya menjadi tren konsumtif yang mengikuti arus pasar?

Mengenal Gaya Hidup Berkelanjutan

Gaya hidup berkelanjutan adalah pola hidup yang bertujuan untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan sosial. Ini mencakup berbagai aspek kehidupan, mulai dari cara kita berbelanja, mengonsumsi makanan, menggunakan energi, hingga memilih transportasi. 

Prinsip dasarnya adalah memanfaatkan sumber daya dengan bijak, mengurangi limbah, dan mendukung praktik yang lebih ramah lingkungan. 

Dalam praktiknya, gaya hidup ini dapat diwujudkan dengan berbagai cara, seperti mengurangi penggunaan plastik sekali pakai, memilih produk yang tahan lama, menghemat air dan listrik, serta mengutamakan barang-barang yang diproduksi secara etis. 

Tidak hanya itu, pola makan juga menjadi bagian penting dalam keberlanjutan, di mana semakin banyak orang yang beralih ke makanan berbasis nabati atau memilih produk lokal untuk mengurangi jejak karbon dari rantai distribusi yang panjang. 

Kesadaran akan pentingnya gaya hidup berkelanjutan semakin meningkat seiring dengan maraknya isu lingkungan, seperti perubahan iklim dan pencemaran. 

Namun, di tengah popularitasnya, muncul tantangan dalam membedakan mana yang benar-benar didasarkan pada kesadaran dan mana yang hanya sekadar mengikuti tren. 

Banyak perusahaan mulai memasarkan produk mereka dengan label ramah lingkungan, tetapi tidak semuanya benar-benar berkontribusi dalam menjaga keberlanjutan. 

Kesadaran atau Sekadar Tren?

Tidak bisa dipungkiri, gaya hidup berkelanjutan kini juga menjadi bagian dari gaya hidup modern yang menarik perhatian banyak orang, terutama di media sosial.

Berbagai kampanye tentang keberlanjutan semakin sering muncul, didukung oleh influencer, selebritas, hingga merek-merek besar yang mempromosikan produk ramah lingkungan. 

Tren ini membuat gaya hidup berkelanjutan terlihat lebih menarik dan mudah diakses oleh banyak orang, terutama generasi muda yang lebih sadar akan dampak lingkungan dari kebiasaan konsumtif. Namun, di balik popularitasnya, muncul pertanyaan tentang seberapa tulus niat di balik penerapan gaya hidup ini. 

Banyak orang mulai menerapkan kebiasaan berkelanjutan bukan karena kesadaran penuh, melainkan karena tren yang berkembang di media sosial. Mereka membeli produk yang diklaim ramah lingkungan, tetapi tetap memiliki kebiasaan konsumtif yang bertentangan dengan prinsip keberlanjutan itu sendiri. 

Misalnya, membeli berbagai peralatan eco-friendly secara berlebihan tanpa benar-benar membutuhkannya, atau mengganti seluruh barang yang dimiliki dengan versi yang lebih ramah lingkungan tanpa mempertimbangkan dampak produksi dan limbah yang dihasilkan.

Selain itu, munculnya fenomena greenwashing semakin membuat publik perlu lebih kritis dalam menilai klaim keberlanjutan suatu produk. 

Banyak perusahaan memanfaatkan tren ini sebagai strategi pemasaran dengan mencantumkan label ramah lingkungan tanpa transparansi yang jelas mengenai bahan, proses produksi, dan dampak jangka panjangnya.

Bagaimana Menjalani Gaya Hidup Berkelanjutan dengan Benar?

Hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa gaya hidup berkelanjutan bukan sekadar mengikuti tren atau membeli produk berlabel eco-friendly. 

Lebih dari itu, ini adalah tentang pola pikir dan kebiasaan yang berfokus pada pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan dalam kehidupan sehari-hari. 

Untuk benar-benar menerapkannya, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan secara bertahap dan konsisten. Langkah awal yang paling sederhana adalah mengurangi konsumsi yang tidak perlu. Dalam dunia yang dipenuhi dengan budaya konsumtif, sering kali kita tergoda untuk membeli sesuatu hanya karena tren atau dorongan sesaat. 

Padahal, semakin sedikit kita membeli, semakin sedikit pula sumber daya yang digunakan dan limbah yang dihasilkan. Membiasakan diri untuk hanya membeli barang yang benar-benar dibutuhkan, memilih produk yang tahan lama, serta memperbaiki barang yang rusak sebelum membuangnya adalah cara efektif untuk mengurangi jejak lingkungan.

Selain itu, mengadopsi kebiasaan hemat energi juga menjadi bagian penting dari gaya hidup berkelanjutan. Mematikan lampu dan perangkat elektronik saat tidak digunakan, beralih ke peralatan hemat energi, serta mengurangi penggunaan air berlebihan dapat membantu menghemat sumber daya alam. 

Jika memungkinkan, menggunakan energi terbarukan seperti panel surya atau memilih penyedia listrik yang lebih ramah lingkungan juga dapat menjadi pilihan jangka panjang yang baik. Dari segi pola makan, memilih makanan yang lebih berkelanjutan juga memiliki dampak besar terhadap lingkungan. 

Mengurangi konsumsi daging, memilih produk lokal dan musiman, serta menghindari makanan dengan kemasan plastik berlebih dapat membantu menekan jejak karbon. Tidak harus menjadi vegetarian atau vegan secara penuh, tetapi sekadar mengurangi konsumsi produk hewani dan beralih ke alternatif yang lebih ramah lingkungan sudah dapat memberikan kontribusi yang berarti.

Transportasi juga menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan. Jika memungkinkan, menggunakan transportasi umum, bersepeda, atau berjalan kaki daripada mengandalkan kendaraan pribadi dapat membantu mengurangi emisi karbon.

Kesimpulan

Gaya hidup berkelanjutan bisa menjadi alat perubahan yang positif jika dilakukan dengan kesadaran penuh, bukan sekadar mengikuti tren. Jika hanya dijadikan ajang konsumsi baru, esensinya akan hilang dan dampaknya terhadap lingkungan menjadi tidak signifikan. 

Namun, jika diterapkan secara konsisten dengan fokus pada pengurangan limbah, penggunaan sumber daya yang bijak, dan perubahan kebiasaan sehari-hari, gaya hidup ini dapat membawa manfaat jangka panjang bagi bumi dan generasi mendatang. 

Pada akhirnya, keberlanjutan bukan tentang seberapa banyak produk eco-friendly yang kita beli, tetapi tentang bagaimana kita hidup dengan lebih sadar dan bertanggung jawab.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Gaya Hidup Berkelanjutan, antara Kesadaran dan Tren Semata?"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Kalau Sudah 'Uang Kita', Apakah Suami akan Malas Bekerja?
Kalau Sudah "Uang Kita", Apakah Suami akan Malas Bekerja?
Kata Netizen
Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?
Tahun Ajaran Baru Serba Baru, Memangnya Perlu?
Kata Netizen
Drama-drama yang Terjadi Hari Pertama Masuk Sekolah
Drama-drama yang Terjadi Hari Pertama Masuk Sekolah
Kata Netizen
Tentang Anggaran pada Awal Tahun Ajaran Sekolah
Tentang Anggaran pada Awal Tahun Ajaran Sekolah
Kata Netizen
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Terbiasa Hidup Berdampingan dengan Sampah, Bisa?
Kata Netizen
Melihat dengan Jelas Paradoks 'Needing Nothing Attracts Everything'
Melihat dengan Jelas Paradoks "Needing Nothing Attracts Everything"
Kata Netizen
Musim Bediding, Tradisi, dan Orang Toraja
Musim Bediding, Tradisi, dan Orang Toraja
Kata Netizen
'Kangkung Cabut', Kangkung yang Bisa Dipanen Berkali-kali
"Kangkung Cabut", Kangkung yang Bisa Dipanen Berkali-kali
Kata Netizen
Liburan Sekolah Sambil Belajar, Memangnya Bisa?
Liburan Sekolah Sambil Belajar, Memangnya Bisa?
Kata Netizen
Menyiapkan Diri untuk Jadi Pasangan (yang) Sempurna
Menyiapkan Diri untuk Jadi Pasangan (yang) Sempurna
Kata Netizen
Apa yang Bikin Punya Rumah Pakai KPR Sulit?
Apa yang Bikin Punya Rumah Pakai KPR Sulit?
Kata Netizen
Apakah Kemampuan Menulis Tangan Berguna di Masa Depan?
Apakah Kemampuan Menulis Tangan Berguna di Masa Depan?
Kata Netizen
Ini Cara Deteksi Barang KW di Marketplace
Ini Cara Deteksi Barang KW di Marketplace
Kata Netizen
Cerita Orangtua yang Anaknya Latihan Main 'Push Bike'
Cerita Orangtua yang Anaknya Latihan Main "Push Bike"
Kata Netizen
Turut Campur Mencari Jodoh yang Sudah Diatur
Turut Campur Mencari Jodoh yang Sudah Diatur
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau