Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Apa sebenarnya masalah setiap tahun ada saja kasus-kasus siswa yang ijazahnya ditahan setelah mereka lulus?
Kisruh terkait ijazah dan sumbangan orang tua yang belum dibayarkan ini menjadi isu tahunan di berbagai SMA dan SMK negeri.
Misalnya, pada Januari 2025, puluhan ijazah siswa di SMKN 3 Depok ditahan karena orang tua belum melunasi sumbangan sekolah sebesar Rp 6 juta (Tribunnews). Di Yogyakarta, ratusan siswa juga mengalami hal serupa karena belum melunasi sejumlah biaya (Kompas.id).
Persoalan ini memunculkan dua kubu pendapat yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, ada yang berpegang teguh pada aturan bahwa sekolah negeri tidak berhak menagih komitmen partisipasi pendanaan apa pun dari orang tua siswa.
Di sisi lain, ada pula yang beranggapan bahwa orang tua siswa tetap wajib berkontribusi dalam pendanaan pendidikan anak mereka, terutama di jenjang SMA atau SMK negeri.
Ambiguitas ini akhirnya membuat pihak sekolah dan masyarakat, termasuk orang tua, terjebak dalam perdebatan yang tak kunjung usai. Masing-masing mencari siapa yang benar dan siapa yang salah.
Masyarakat merasa bahwa orang tua siswa tidak perlu membayar apa pun ke sekolah, apalagi jika sekolah menarasikan hal tersebut sebagai sumbangan.
Mereka berpegang pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 75 Tahun 2016 Pasal 10 Ayat 2, yang dengan jelas menyatakan bahwa penggalangan dana oleh komite sekolah berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa sumbangan tidak boleh dipaksakan.
Sebaliknya, pihak sekolah beranggapan bahwa orang tua tetap memiliki tanggung jawab terhadap pendanaan pendidikan anak mereka.
Apalagi karena anggaran pendidikan yang dialokasikan pemerintah sering kali tidak mencukupi kebutuhan operasional sekolah. Akibatnya, sekolah merasa perlu mencari tambahan dana agar kegiatan pendidikan tetap berjalan.
Perbedaan persepsi ini akhirnya merusak hubungan harmonis antara sekolah dan orang tua siswa, atau bahkan antara sekolah dan masyarakat secara luas.
Sekolah kerap menjadi sasaran kritik karena menagih sumbangan kepada orang tua siswa, sementara orang tua dan siswa menjadi korban karena ijazah mereka tertahan akibat ketidaksepakatan ini.
Kesalahpahaman dalam Sumbangan Sekolah
Sekolah negeri dilarang melakukan pungutan apa pun kepada siswa atau orang tua. Hal ini merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 75 Tahun 2016, khususnya Pasal 10 Ayat 2, yang menyatakan bahwa penggalangan dana oleh komite sekolah berbentuk bantuan dan/atau sumbangan, bukan pungutan.
Lebih lanjut, Pasal 12 menegaskan bahwa komite sekolah dilarang menarik pungutan dari peserta didik atau orang tua/walinya. Dengan demikian, jelas bahwa sekolah tidak boleh melakukan pungutan dalam bentuk apa pun.
Namun, dalam praktiknya, banyak orang tua merasa bahwa sumbangan sekolah sering kali menyerupai pungutan. Kesalahpahaman ini berakar dari perbedaan pemahaman mengenai definisi pungutan dan sumbangan.
Berdasarkan Pasal 1 Permendikbud yang sama, pungutan didefinisikan sebagai penarikan uang oleh sekolah kepada peserta didik atau orang tua/walinya yang bersifat wajib, mengikat, serta jumlah dan jangka waktu pemungutannya telah ditentukan. Sementara itu, sumbangan bersifat sukarela dan tidak boleh mengandung unsur pemaksaan.
Meski demikian, fenomena di lapangan menunjukkan bahwa sekolah kerap menargetkan sumbangan dalam jumlah tertentu guna mendukung kebutuhan operasionalnya.
Hal ini bukan tanpa alasan. Sekolah memiliki tanggung jawab untuk memastikan keberlangsungan program pendidikan dan kegiatan siswa.
Sebelum tahun ajaran baru dimulai, sekolah biasanya telah menyusun Rencana Kegiatan dan Anggaran Sekolah (RKAS) untuk satu tahun pelajaran, dari Juli hingga Juni tahun berikutnya.
RKAS ini memuat berbagai kebutuhan, mulai dari pengadaan sarana dan prasarana hingga pelaksanaan kegiatan akademik dan ekstrakurikuler.
Sebagai contoh, jika total kebutuhan anggaran sekolah dalam satu tahun adalah Rp3 miliar dan jumlah siswa adalah 1.000 orang, maka secara matematis, sumbangan yang dibutuhkan per siswa adalah Rp3 juta.
Untuk memastikan keberlangsungan program, sekolah sering kali meminta orang tua mengisi dan menandatangani surat pernyataan kesanggupan sumbangan. Pada titik inilah sering muncul kesalahpahaman.
Di satu sisi, sekolah merasa perlu menyampaikan jumlah kebutuhan dana agar perencanaan berjalan baik.
Sesuai Pasal 10 Ayat 3 Permendikbud 75/2016, komite sekolah memang harus menyusun proposal perencanaan kegiatan sebelum melakukan penggalangan dana.
Oleh karena itu, wajar jika sekolah menyampaikan estimasi kebutuhan dana dan menginformasikan perkiraan kontribusi per siswa.
Namun, di sisi lain, orang tua sering kali merasa terbebani dengan adanya angka tertentu dan batas waktu pembayaran, sehingga sumbangan ini terasa seperti kewajiban.
Kesenjangan pemahaman ini diperparah oleh kenyataan bahwa Bantuan Operasional Sekolah (BOS) tidak selalu mencukupi seluruh kebutuhan sekolah.
Banyak kegiatan primer tidak sepenuhnya didanai oleh BOS, sehingga sekolah harus mencari sumber pendanaan tambahan, termasuk dari orang tua siswa.
Surat pernyataan kesanggupan sebenarnya merupakan alat transparansi dan perencanaan anggaran yang membantu sekolah memperkirakan jumlah dana yang dapat terkumpul. Namun, ketika alat ini dipahami sebagai kewajiban, konflik pun muncul.
Yang paling penting, sekolah harus memahami bahwa tidak ada justifikasi hukum untuk menahan ijazah siswa hanya karena sumbangan belum dibayarkan.
Instrumen kesanggupan sumbangan seharusnya tidak menjadi alat pemaksaan, melainkan mekanisme perencanaan yang tetap menghormati hak peserta didik.
Jika kedua belah pihak, sekolah dan orang tua, dapat membangun pemahaman dan komunikasi yang lebih baik, maka polemik ini dapat dihindari.
Solusi Bersama
Dalam menghadapi permasalahan terkait sumbangan pendidikan di sekolah, perlu ada pendekatan yang lebih bijaksana dari semua pihak.
Sekolah wajib mematuhi peraturan yang sudah ada, salah satunya adalah Permendikbud Nomor 75 Tahun 2016, yang dengan jelas melarang adanya pungutan dari orang tua siswa.
Sekolah juga harus lebih bijak dalam mengelola dana sumbangan yang diterima, menyesuaikan antara dana yang terkumpul dengan kegiatan yang bisa dilaksanakan. Prinsip utama yang harus dipegang adalah efisiensi anggaran dan pengelolaan yang transparan.
Sekolah harus memiliki rencana anggaran yang realistis dan fleksibel, dengan mempertimbangkan berapa banyak dana yang dapat diperoleh dan bagaimana cara menyesuaikan kegiatan dengan dana yang terkumpul.
Tidak ada yang salah dengan menentukan angka yang diperlukan dalam perencanaan anggaran, tetapi jangan sampai narasi angka tersebut justru terasa sebagai kewajiban yang mengikat.
Di sisi lain, orang tua siswa juga perlu memahami pentingnya komitmen yang mereka buat. Ketika mereka menyetujui untuk memberikan sumbangan, mereka juga harus menjaga komitmen tersebut agar tidak mengganggu arus kas sekolah yang sudah direncanakan.
Namun, yang lebih penting adalah menciptakan kesepahaman bahwa sumbangan itu bukan kewajiban yang membawa ancaman, seperti drama tahan ijazah yang sudah cukup meresahkan.
Pemerintah juga memiliki peran yang sangat penting. Pemerintah harus memastikan pendanaan melalui BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dapat memenuhi kebutuhan dasar sekolah, serta memberikan fleksibilitas dalam penggunaannya untuk berbagai kegiatan.
Penyelesaian yang bijaksana adalah kunci, dengan tetap mengedepankan kepentingan anak-anak sebagai generasi penerus bangsa, tanpa terjebak dalam polemik dan konflik yang bisa merusak kredibilitas dunia pendidikan itu sendiri.
Jangan lagi ada drama tahan-tahan ijazah. Mari bersama-sama memastikan bahwa pendidikan adalah hak yang diberikan dengan penuh kebijaksanaan dan keadilan!
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Mengakhiri Drama Tahan Ijazah"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.