Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada momen seperti apa kiranya seorang Ibu bisa mendengarkan curhat anak laki-lakinya? Biasanya permasalahan apa? Cinta? Pertemanan?
Setiap malam sebelum tidur, saya dan Cato anak laki-laki saya punya satu kebiasaan kecil yang kami jaga dengan penuh cinta: ngobrol.
Bukan soal PR atau nilai ulangan, tapi tentang hal-hal sepele yang ternyata tidak sepele tentang temannya yang bikin kesal, tentang mimpi aneh yang dia alami tadi malam, atau tentang rasa takut yang belum sempat dia ungkapkan di siang hari.
Kadang kami hanya bicara lima menit. Kadang bisa sampai setengah jam, tergantung seberapa dalam perasaannya ingin disampaikan malam itu.
Rutinitas ini bukan sesuatu yang langsung terjadi begitu saja. Tidak ada metode khusus, tidak ada panduan parenting yang saya ikuti.
Semua bermula dari rasa penasaran saya terhadap isi kepala anak saya, sejak dia duduk di bangku sekolah dasar.
Awalnya, ia hanya menjawab pendek. "Ya." "Nggak tahu." "Biasa aja." Tapi saya terus menemaninya. Saya mendengarkan tanpa menghakimi. Lama-kelamaan, percakapan kami jadi lebih terbuka, lebih hangat, dan lebih bermakna.
Siapa sangka, obrolan sebelum tidur ini ternyata menjadi cara paling sederhana dan paling jitu untuk melatih anak saya berani bicara dan jujur mengungkapkan isi pikirannya.
Mengapa Anak Laki-laki Perlu Dilatih Bicara Sejak Dini
Saya semakin menyadari pentingnya rutinitas kecil ini ketika melihat banyak anak laki-laki di sekeliling saya seperti keponakan, murid, bahkan anak teman yang tumbuh menjadi pribadi yang kaku, canggung, dan kesulitan mengekspresikan perasaannya.
Mereka pintar, aktif, dan penuh ide, tapi sering kali bingung saat harus menyampaikan apa yang ada di dalam kepala atau hatinya.
Kita hidup di masyarakat yang, secara tidak sadar, masih menanamkan pesan-pesan seperti "anak cowok harus kuat," "jangan cengeng," atau "nggak usah banyak ngomong, laki-laki itu cukup tunjukkan lewat tindakan."
Akibatnya, banyak anak laki-laki tumbuh dengan kebiasaan memendam perasaan. Mereka menjadi pribadi yang terbiasa diam saat kecewa, takut menunjukkan rasa sedih, dan enggan mengakui ketakutan.
Padahal, kemampuan bicara dan mengungkapkan pikiran itu bukan sekadar keterampilan komunikasi. Ini adalah fondasi penting untuk membangun kepercayaan diri, hubungan sosial yang sehat, dan kesehatan mental yang baik.
Anak yang terbiasa menyuarakan isi hatinya akan lebih mudah menyampaikan ketidaknyamanan, lebih peka terhadap orang lain, dan tidak segan mencari bantuan saat menghadapi masalah.
Saya tidak ingin anak saya tumbuh menjadi laki-laki yang menganggap diam adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan konflik.
Saya ingin dia punya keberanian untuk bicara, untuk berkata "aku nggak suka diperlakukan seperti itu," atau "aku butuh waktu sendiri dulu," atau bahkan sekadar bilang "aku lelah hari ini."
Semua itu ternyata bisa dilatih dari hal-hal yang terlihat sepele seperti rutinitas ngobrol sebelum tidur.
Bukan Sekadar Tanya-Jawab Biasa
Banyak orangtua ingin dekat dengan anak, ingin tahu isi hati mereka, tapi tanpa sadar memperlakukan momen ngobrol sebagai sesi interogasi. Saya pernah begitu juga.
Di awal-awal, saya terbiasa menanyakan, "Cato kenapa diem aja kalau di sekolah?" atau "Kok nilai Cato ada yang turun?" Pertanyaannya memang tampak peduli, tapi nadanya sering penuh tekanan. Akhirnya, anak hanya menjawab sekenanya atau malah menghindar.
Saya belajar bahwa deep talk yang berhasil justru terjadi saat kita melepas niat menghakimi, menyudutkan, atau buru-buru memberi solusi. Obrolan yang saya dan anak saya bangun sebelum tidur bukan percakapan formal.
Tidak ada target harus dapat jawaban. Tidak selalu berakhir dengan kesimpulan atau nasihat. Kadang kami hanya tertawa membahas kejadian lucu di sekolah, kadang juga merenung bersama tentang perasaan sedih yang belum bisa dia jelaskan sepenuhnya.
Yang penting adalah suasana yang aman dan nyaman. Anak tahu bahwa dia didengarkan. Bahwa ia boleh salah, boleh bingung, dan boleh jujur. Saya pun belajar untuk tidak memotong ucapannya, tidak menghakimi reaksinya, dan tidak mengalihkan topik ketika dia mulai menyentuh hal-hal yang mungkin terdengar sepele bagi orang dewasa, tapi ternyata penting untuknya.
Percakapan semacam ini memang butuh waktu dan latihan. Tapi semakin sering dilakukan, semakin dalam ikatan yang terbentuk.
Saya bahkan sering menemukan bahwa lewat obrolan ini, anak saya mulai mengenali emosinya sendiri dan ia belajar menyebutkan apa yang ia rasakan, menjelaskan apa penyebabnya, dan kadang malah bisa menarik kesimpulan sendiri tanpa perlu saya arahkan.
Hasil yang Saya Lihat: Anak Lebih Percaya Diri dan Terbuka
Perubahan itu tidak terjadi dalam semalam. Tapi dari tahun ke tahun, saya bisa melihat sendiri bagaimana rutinitas kecil ini membentuk pribadi anak saya.
Ia menjadi lebih berani menyampaikan pendapat, tidak segan mengungkapkan rasa kecewa atau tidak setuju, dan yang paling saya syukuri yaitu ia tidak merasa tabu untuk menunjukkan perasaannya, termasuk rasa sedih atau takut.
Di sekolah, gurunya pernah bilang kalau anak saya sudah berani berpendapat tapi tetap sopan. Ia bisa mengutarakan pendapat saat berdiskusi, dan mampu menjelaskan kenapa ia memilih diam atau mundur dalam situasi tertentu.
Saat saya mendengar itu, hati saya terasa hangat. Ternyata, obrolan santai kami tiap malam benar-benar berdampak. Ia bukan hanya bisa bicara, tapi juga bisa memahami dirinya sendiri.
Bahkan dalam hubungan kami sebagai ibu dan anak, saya merasa jauh lebih dekat dengannya. Kami punya ruang aman bersama, ruang tanpa tekanan, tanpa ekspektasi tinggi, tanpa drama.
Di situ saya bisa benar-benar mendengarkan dia sebagai individu, bukan sekadar anak yang harus saya arahkan. Dan dia pun bisa melihat saya bukan hanya sebagai ibu, tapi juga teman cerita yang hadir utuh.
Sekarang, saat usianya makin besar, kami tetap melanjutkan rutinitas ini walau tidak selalu tiap malam. Tapi yang penting, ruang itu sudah terbentuk. Ia tahu bahwa kapan pun ia butuh bicara, saya ada. Dan ia juga tahu bahwa bicara itu bukan tanda kelemahan, tapi bagian dari kekuatan.
Bahkan sering kali saat kami dalam perjalanan kemanapun, tiba-tiba Cato nyeletuk dan menceritakan kejadian lucu saat di sekolah atau bertanya tentang hal menarik yang pernah dibacanya.
***
Banyak orang tua berpikir bahwa membangun komunikasi yang sehat dengan anak harus dimulai dengan momen besar seperti liburan keluarga, sesi konseling, atau aktivitas khusus.
Padahal, sering kali justru obrolan sederhana sebelum tidur bisa menjadi jembatan paling kuat untuk membentuk kedekatan emosional dan melatih keberanian anak dalam menyuarakan isi pikirannya.
Saya tidak bilang cara ini akan langsung berhasil di malam pertama. Bahkan bisa jadi, anak hanya menjawab sekenanya atau tampak tidak antusias, seperti menanam benih, kita perlu sabar, konsisten, dan percaya bahwa setiap kata yang kita ucapkan dengan tulus akan tumbuh menjadi sesuatu yang berarti.
Buat saya, deep talk sebelum tidur bukan sekadar rutinitas. Ini adalah hadiah kecil yang saya berikan pada anak laki-laki saya---hadiah berupa ruang aman untuk mengenal dirinya sendiri, belajar bicara tanpa takut salah, dan tumbuh menjadi laki-laki yang tidak kehilangan kepekaan dan keberanian untuk berbicara.
Kalau kamu orang tua yang sedang bingung bagaimana membangun koneksi dengan anak, mungkin kamu bisa mulai malam ini.
Matikan lampu. Tarik selimut. Dan tanyakan dengan lembut, "Hari ini gimana rasanya?" Lalu, dengarkan. Siapa tahu, dari situlah cerita luar biasa mulai tumbuh.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Anak Laki-laki Juga Boleh Curhat, Deep Talk untuk Tumbuhkan Kecerdasan Emosi Anak"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.