Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bambang Trim
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Bambang Trim adalah seorang yang berprofesi sebagai Penulis. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Bikin Buku Ilmiah Memasyarakat, Bisa?

Kompas.com - 21/05/2025, 16:45 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Ada banyak kesulitan ketika membaca buku ilmiah, di antara karena penulisnya kadang terlihat "sok ilmiah".

Bahkan, Steven Pinker, seorang psikolog dan linguis dari Harvard University, dalam bukunya The Sense of Style: The Thinking Person's Guide to Writing in the 21st Century (2014), mencirikan "sok ilmiah" itu dengan banyaknya akademisi menggunakan bahasa yang sulit dipahami.

Fenomena tersebut, bagi Steven Pinker, sebagai "the curse of knowledge" atau "kutukan pengetahuan".

Lebih jauh Pinker mengungkap seperti ini:

The curse of knowledge adalah kondisi ketika seseorang yang sangat memahami suatu topik ternyata kesulitan untuk membayangkan bagaimana rasanya ia tidak mengetahui topik tersebut. Hal itu membuat ia menulis atau berbicara dengan asumsi bahwa pembaca memiliki tingkat pengetahuan yang sama (dengan dirinya). Akibatnya, tulisan mereka menjadi penuh dengan istilah teknis, struktur kalimat yang rumit, dan argumen yang tidak dapat dijelaskan dengan jernih.

Mungkin penulis yang akademis lupa bahwa ia perlu memopulerkan karyanya (diseminasi) bukan hanya kepada sesama akademisi, melainkan juga ke masyarakat luas. Memang tidak perlu menggunakan "bahasa bayi", tetapi harus menggunakan bahasa semiformal dengan sifat yang fleksibel (lentur) dan populer. Salah satu makna populer di dalam KBBI adalah sesuai dengan kebutuhan masyarakat pada umumnya dan mudah dipahami orang banyak.

Istilah buku ilmiah populer mencuat, tetapi akademisi kurang suka menyebut buku mereka itu ilmiah populer karena terkesan kurang ilmiah. Alih-alih menyebut buku ilmiah populer, Direktorat Pendidikan Tinggi lebih memilih istilah 'buku referensi' yang sebenarnya keliru penyebutan dalam terminologi ilmu penerbitan dan ilmu perpustakaan.

Jauh sebelum masa kini, Mary Somerville, seorang penulis sains, telah memelopori penulisan buku ilmiah populer yang sukses pada abad ke-19. Bukunya yang ditujukan untuk masyarakat umum berjudul On the Connexion of the Physical Sciences (1834) laris terjual.

Buku itu membahas topik-topik, seperti gravitasi, magnetisme, optik, elektromagnetisme, dan termokimia, serta menjelaskan konsep-konsep itu dengan bahasa yang mudah dipahami dan terperinci. Buku itu juga mengandung banyak ilustrasi dan diagram sehingga lebih mudah dipahami oleh orang awam.

Kesadaran tentang perlunya penemuan ilmiah yang dipopulerkan muncul juga pada 1830. Pencetusnya seorang astronom bernama John F. William Herschel (penemu Planet Uranus). Ia menyadari perlunya genre sains populer.

Lalu, Herschel mengirimkan sepucuk surat kepada filsuf William Whewell. Ia menuliskan bahwa masyarakat umum membutuhkan "pencernaan dari apa yang sebenarnya diketahui di setiap cabang ilmu tertentu untuk memberikan pandangan yang terhubung tentang apa yang telah dilakukan, dan apa yang masih harus dicapai".

Di Indonesia hanya segelintir akademisi dan ilmuwan yang mampu menulis buku ilmiah populer serenyah kripik kentang atau senikmat klepon jika membaca dan mencernanya. Anda tak perlu mengernyitkan dahi untuk membacanya meskipun Anda tidak berlatar belakang keilmuan yang linear dengan si penulis. 

Penyebab Sok Ilmiah

Kembali saya. mengutip Pinker tentang mengapa terjadi sikap sok ilmiah dalam buku ilmiah. Berikut empat alasannya.

Norma dan Tradisi Akademik: Dalam banyak disiplin ilmu, menulis dengan gaya yang kompleks sering dianggap sebagai tanda kecerdasan dan keahlian.

Ketakutan akan Kritik: Akademisi sering kali menulis dengan bahasa yang rumit untuk melindungi diri dari kritik. Bahasa yang sulit dapat memberikan kesan otoritas dan membuat argumen mereka lebih sulit diserang.

Kebutuhan untuk Mendemonstrasikan Pengetahuan: Dalam dunia akademik, ada tekanan untuk menunjukkan kedalaman pengetahuan, yang terkadang mengarah pada penggunaan jargon berlebihan.

Kurangnya Pelatihan dalam Menulis: Banyak akademisi ahli dalam bidangnya, tetapi tidak mendapatkan pelatihan formal tentang cara menulis dengan jelas dan efektif.

Di Indonesia penerbitan buku ilmiah sering kali karena dorongan angka kredit untuk kenaikan pangkat dan kewajiban akademis.

Sedikit sekali akademisi yang benar-benar mencurahkan perhatian bagaimana bukunya dapat menjadi populer, bahkan best seller. Bahkan, ia (buku itu) tidak ditangani dengan proses editorial memadai.

Tawaran penerbitan yang murah meriah dari vanity publisher (penerbit berbayar) yang sering kali mengabaikan mutu buku sering kali menyebabkan buku-buku ilmiah itu tidak memasyarakat (membumi) dan sekadar terbit setelah itu mati.

Buku-buku ilmiah itu sama sekali tidak memberikan kebaruan (novelties) sekaligus memberi kontribusi pada pemajuan keilmuan.

Saya mendapatkan informasi tahun lalu Perpusnas melalui Pusat Bibliografi dan Pengolahan Bahan Perpustakaan (Pusbiola) telah menerbitkan lebih dari 100 ribu ISBN. Artinya, ada 100 ribu lebih buku yang diterbitkan tahun 2024. Pada kuartal pertama tahun ini, bahkan sudah dikeluarkan sekira 40.000 ISBN. 

Terus terang meskipun sangat produktif dalam produksi judul, saya kira sebagian buku yang diterbitkan itu adalah buku tidak bermutu.

Mengapa saya berani mengajukan klaim seperti itu? Pengalaman menjadi narasumber berbagai pelatihan penulisan buku sejak 2000 di berbagai daerah dan berbagai kampus menunjukkan kita hanya punya semangat untuk menulis buku, tetapi sama sekali tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai plus keseriusan.

Ketika menjadi anggota Komite Penilaian Buku Nonteks dan Buku Teks di Pusat Perbukuan, Kemendikbudristek (sekarang Kemendikdasmen), hanya 30% buku yang dinyatakan layak. Sisanya 70% adalah buku tidak layak, padahal buku-buku itu telah bernomor ISBN. Itu sebabnya saya pernah menyampaikan bahwa ISBN tidak ada hubungannya dengan mutu buku.

Mereka yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai ingin menulis buku ilmiah sekaligus disebut sebagai penulis buku ilmiah agar menaikkan prestise. Namun, buku-buku itu kebanyakan tidak layak disebut buku karena ternyata juga ditangani oleh editor yang lemah dalam soal buku ilmiah.

Kajian terhadap penulisan dan penerbitan buku ilmiah di Indonesia juga sangat kurang. Para dosen lebih asyik membahas soal artikel ilmiah di jurnal bereputasi.  Tantangan menulis buku kurang menarik bagi mereka karena mungkin buku itu harus tebal dan kompleks (meluas dan mendalam). Tawaran jalan pintas menulis buku dengan 99% menggunakan AI menjadi menarik bagi mereka, apalagi dapat diselesaikan dalam 1 hari seperti kecap para pengiklan.

Menulis Buku Ilmiah yang Memasyarakat

Topik seperti judul subtopik artikel ini yang disodorkan kepada saya oleh Pusbiola Perpusnas RI untuk mengisi webinar pada 15 Mei 2025. Kegiatan itu diselenggarakan dalam rangka menyambut HUT Perpusnas RI ke-45 sekaligus Hari Buku Nasional yang jatuh pada 17 Mei 2025.

Namun, saya hanya memberi materi hanya dalam tempo 30 menit sehingga terbatas sekali dibandingkan segudang masalah buku ilmiah yang harus disampaikan.

Titipan pesan dari Perpusnas RI sebenarnya bagaimana saya dapat menegaskan buku ilmiah seperti apa yang pantas diberi ISBN.

Ada banyak buku ilmiah yang sebenarnya tidak menunjukkan ciri sebuah buku. Beberapa buku dikonversi dari tesis/disertasi, tetapi hanya kulit luar yang berbeda, isinya plek ketiplek

Selain itu, ada juga persoalan sasaran penerbitan. Untuk hal ini, saya menyinggung dalam satu salindia pemikiran Chris Anderson (2006) tentang model grafik long tail dalam bisnis penerbitan buku ilmiah. Buku ilmiah cenderung berada pada ekor panjang yang menunjukkan objek kurang populer, bahkan samar-samar.

Hal itu harus dipahami hingga pada batas tiras produksi berapa sebuah buku layak diberi ISBN atau apakah ia menggunakan opsi open access dalam bentuk buku elektronik?

Kekacauan pemahaman juga terjadi pada ciri buku ilmiah dibandingkan jenisnya. Ada beberapa jenis buku ilmiah, yaitu buku ajar (dikonversi dari RPS), buku teks (menggunakan struktur keilmuan untuk pasar lebih luas), monografi riset (menggunakan topik ceruk/narrow scope), dan buku ilmiah populer---Dikti menyebutnya buku referensi (menggunakan topik meluas/board scope).

Ciri setiap buku itu tidak jelas pada banyak buku panduan penulisan buku ilmiah yang dikeluarkan oleh pemerintah atau kampus. 

Saya lebih suka menggunakan panduan dari BRIN dan berdiskusi dengan teman-teman BRIN karena beberapanya lulusan dari ilmu penerbitan dan ilmu perpustakaan yang memahami hakikat buku.

Ciri dan sifat buku sudah mengalami pergeseran untuk masa kini sehingga definisi dan ciri yang dibuat UNESCO pada 1964 sudah tidak relevan lagi.

Sebagai contoh soal ketebalan buku yang layak disebut buku atau buku ilmiah. UNESCO membuat batasan lebih dari 49 halaman;

Dikti di dalam POPAK 2019 membuat batasan minimal 60 halaman; BRIN dalam Program Akuisisi Pengetahuan Lokal membuat batasan minimal 90 halaman.

Memang tidak ada standar baku untuk ketebalan halaman buku dan format halaman buku harus kelipatan 8/16 juga sudah tidak berlaku setelah adanya buku elektronik.

Soal ketebalan itu bagi saya urusan soal kedalaman materi yang dihubungkan dengan pembaca sasaran.

Penulis dapat menimbang-nimbang seberapa luas dan seberapa dalam ia hendak menyampaikan hasil penelitian, pengembangan, dan pemikirannya di dalam sebuah buku. Ia kini menghadapi pembaca sasaran dari empat generasi: Baby Boomers, Gen-X, Gen-Y (milenial), dan Gen-Z. 

Buku ajar kini akan banyak dikonsumsi Gen-Z dan Gen-Y menyusul. Buku teks akan banyak dikonsumsi Gen-Y, Gen-X, dan menyusul Baby Boomers.

Monografi riset hampir sama dengan buku teks. Buku ilmiah populer sangat mungkin dibaca oleh empat generasi.

Maka dari itu, penulis buku ilmiah kini harus menyesuaikan materi, gaya penulisan, dan kebutuhan pembaca lintas generasi, apalagi jika menulis buku ajar yang harus berhadapan dengan Gen-Z---masalah terbesar kita menghadapi sebagian besar generasi yang kurang literat dan malas membaca buku.

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Buku Ilmiah yang (Tidak) Memasyarakat"

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Ramai-ramai Cari Cuan Jelang Hari Raya Kurban
Ramai-ramai Cari Cuan Jelang Hari Raya Kurban
Kata Netizen
Bikin Buku Ilmiah Memasyarakat, Bisa?
Bikin Buku Ilmiah Memasyarakat, Bisa?
Kata Netizen
Bagaimana Menjelaskan Kesehatan Reproduksi kepada ABK?
Bagaimana Menjelaskan Kesehatan Reproduksi kepada ABK?
Kata Netizen
Melihat Sisi Lain MBG dari Sudut Keamanan Pangan
Melihat Sisi Lain MBG dari Sudut Keamanan Pangan
Kata Netizen
Daripada Dikirim ke Barak, Lebih Baik Rehabilitasi Sosial
Daripada Dikirim ke Barak, Lebih Baik Rehabilitasi Sosial
Kata Netizen
Di Balik Layar Cerita Mengompos dengan Komposter Drum
Di Balik Layar Cerita Mengompos dengan Komposter Drum
Kata Netizen
Jika MBG Dimasak oleh Ibu Sendiri...
Jika MBG Dimasak oleh Ibu Sendiri...
Kata Netizen
Standarisasi MBG, dari Pengawasan hingga Sanksi
Standarisasi MBG, dari Pengawasan hingga Sanksi
Kata Netizen
Mencari Jalan Tengah Wisuda Sekolah agar Terlaksana
Mencari Jalan Tengah Wisuda Sekolah agar Terlaksana
Kata Netizen
6 Tips Memilih Kambing yang Cukup Umur untuk Kurban
6 Tips Memilih Kambing yang Cukup Umur untuk Kurban
Kata Netizen
Bagaimana Cara Glow Up dan Memilih Kosmetik Sesuai 'Skin Tone'?
Bagaimana Cara Glow Up dan Memilih Kosmetik Sesuai "Skin Tone"?
Kata Netizen
Kapan Waktu yang Tetap untuk Memulai Investasi?
Kapan Waktu yang Tetap untuk Memulai Investasi?
Kata Netizen
'Deep Talk' Ibu dengan Anak Laki-laki Boleh, Kan?
"Deep Talk" Ibu dengan Anak Laki-laki Boleh, Kan?
Kata Netizen
Santo Fransiskus, Sri Paus, dan Ajaran Keteladanan
Santo Fransiskus, Sri Paus, dan Ajaran Keteladanan
Kata Netizen
Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca
Hari Buku, Tantangan Literasi, dan Rumah Baca
Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau