
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Tidak semua, tetapi ada: bahwa pria yang berpenghasilan rendah daripada istri akan bekerja secara maksimal.
Hal semacam ini pernah saya temui beberapa kali melihat adanya kenyataan suami yang malah jadi malas bekerja setelah tahu penghasilan istrinya bisa menutupi banyak pengeluaran rumah tangga.
Seperti yang terjadi para salah satu teman saya. Sejak awal berumah tangga, mereka menggunakan istilah uang kita. Uang suami ya uangnya istri, uang istri yang uangnya suami.
Beberapa tahun awal pernikahan, mereka bisa saling mengisi tempayan rumah tangganya. Semua pengeluaran dalam kondisi aman tak kekurangan.
Mereka bisa rutin mengumpulkan uang dan mewujudkannya dalam tabungan emas. Bahkan suatu ketika, mereka bisa membangun rumah impian.
Namun, semua berubah sejak suaminya memutuskan berhenti dari pekerjaan tetap. Ia yang awalnya sebelum bekerja di luar rumah sebetulnya sudah melakoni pekerjaan penulis lepas hingga berpenghasilan lumayan, ternyata pengalamannya tersebut tak menjamin ia bisa kembali punya semangat bekerja mandiri di rumah.
Malah saat tahu istrinya makin hari punya penghasilan makin besar, ia justru menarik diri ke zona nyaman untuk bermalas-malasan.
Saudara-saudaranya sudah mengingatkan bahwa walau bagaimanapun, ia adalah kepala keluarga yang harus tetap lebih bertanggung jawab untuk urusan ekonomi keluarga.
Parahnya makin hari, suaminya ini justru berani berutang. Jika ditagih, ia lalu melimpahkan tanggung jawab itu pada istrinya.
Awalnya karena merasa ini bagian dari masalah keluarga yang harus diselesaikan, istrinya ini memilih membayarkan utang-utang suaminya. Tapi makin hari, kelakukan suaminya makin membuat teman saya makan ati.
Ada lagi cerita lain tentang istri yang berpenghasilan lebih besar dari suaminya. Meski tak separah cerita yang pertama, cerita kawan saya yang lain ini punya versi berbeda.
Masih di konsep uang kita, uang bersama. Setiap ada pengeluaran rumah tangga, kawan saya lah berinisiatif untuk mengeluarkan uang.
Tak peduli suaminya memberikan gajinya atau tidak. Hingga akhirnya pengeluaran yang jumlahnya memang kecil, namun jika terus menerus, akhirnya membuat kawan saya jadi kelabakan juga.
Sampai di suatu ketika ia sadar, suaminya jadi lebih tak peduli dengan banyak hal akan kebutuhan anak-anak dan istrinya.
Ia melihat suaminya jadi lebih santai dan mudah menyepelekan laporan pengeluaran ini itu yang harus dikeluarkan dalam waktu dekat. Sampai-sampai, istrinya yang harus berutang untuk menutupi pengeluaran, dan juga melunasi utang itu sendirian.
Bermasalah untuk Menutupi Harga Diri dan Rasa Bersalah
Pernahkah Kompasianer menjumpai orang yang sebetulnya salah, tahu kalau salah, tetapi galaknya melebihi kita yang sebetulnya jadi korbannya?
Bisa dibilang, itulah fenomena yang terjadi pada dua masalah yang tadi saya ceritakan terjadi pada kawan-kawan saya.
Ada suami yang bersalah, tahu salah, tapi tak mau disalahkan. Padahal faktanya, ia sudah lalai dari tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga yang seharusnya lebih bertanggung jawab akan finansial keluarga.
Satu hal lagi yang saya pahami ritmenya, banyak pria yang punya harga diri dan tak mau dikalahkan oleh istrinya. Awalnya ia mengatakan dan merasa tak masalah saat penghasilan istri lebih besar dari suami.
Namun saat makin hari ia melihat istri lebih memiliki kekuatan finansial dibanding dirinya, ada rasa kalah dan tak terima.
Di saat suami merasakan ketidaknyamanan, ia pun mencari hal lain yang mampu menutupi rasa tersebut.
Pada kasus kawan-kawan saya tadi, ada suaminya yang malah jadi lebih suka menonton drama cina tanpa kenal waktu, ada juga yang malah jadi hobi berkirim pesan dengan wanita lain.
Mengembalikan Harga Diri dan Tanggung Jawab Suami
Dalam dua cerita kawan saya tersebut, ada dua penyelesaian yang berbeda. Kasus pertama, kawan saya tetap berjuang mencari nafkah karena tuntutan sebagai sandwich generation.
Sedangkan di cerita yang kedua, kawan saya mundur dari usahanya yang menggebu dalam mencari uang, termasuk mundur dari urusan pengaturan keuangan keluarga. Pokoknya setiap ada kebutuhan, ya tinggal todong suami.
Sebetulnya, saya sendiri kurang setuju dengan dua penyelesaian tersebut. Karena dari dua cerita kawan saya tadi, ada celah yang kurang yang membuat masalah keuangan keluarga tidak benar-benar selesai.
Suami dan istri yang sama-sama bekerja, meski istri yang penghasilannya lebih besar, seharusnya melakukan komunikasi secara terbuka tentang berapa penghasilan masing-masing, serta alokasi pengeluaran apa saja yang harus diperhatikan.
Sewajarnya dan yang semestinya harus diperhatikan, uang istri adalah hanya milik istri. Bukan tanggung jawab istri untuk memenuhi segala pengeluaran keluarga.
Ia memang bisa membantu. Tapi tetap, penanggung jawab utama keuangan keluarga adalah suami. Apalagi, ada istri yang bekerja karena memiliki tanggung jawab terhadap orang tuanya, alias menjadi sandwich generation.
Jadi saat suami tahu alasan istri bekerja dan untuk apa penghasilannya, suami tetap punya tanggung jawab memenuhi seluruh kebutuhan keluarga.
Istri pun seharusnya tidak langsung ambil alih apa yang menjadi tanggung jawab suami.
Oleh karena itu, kita mesti bisa memberi kesempatan pada suami bahwa meski penghasilannya lebih sedikit, tetap, ia adalah kepala keluarga yang punya kuasa untuk memenuhi kebutuhan anak dan istrinya.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Fenomena Uang Kita, lalu Suami yang Menjadi Malas Bekerja"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang