
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Paket makan siang di sekolah di Korea Selatan
Bisakah sebuah kebiasaan makan sederhana ikut menyelamatkan lingkungan?
Pertanyaan ini terlintas ketika saya melihat bagaimana sekolah-sekolah di Korea Selatan, termasuk yang saya kunjungi di Pulau Jeju tahun 2024 lalu, begitu disiplin dalam mengelola sisa makanan.
Di negeri ginseng itu, “clean eating” bukan sekadar gaya hidup sehat, tapi juga bagian dari kesadaran kolektif untuk mengurangi limbah.
Konsep ini hidup di keseharian masyarakat—termasuk di lingkungan sekolah—melalui sistem yang tegas, terukur, dan terintegrasi.
Di Jeju, saya menyaksikan sendiri bagaimana para siswa di Jejuseo Middle School begitu terbiasa menghabiskan seluruh makanan di piring mereka. Tidak ada yang tergesa-gesa, tapi juga tak ada yang bersisa.
Kebiasaan ini bukan semata karena disiplin pribadi, melainkan karena mereka tumbuh dalam sistem pengelolaan sampah makanan yang sangat ketat dan transparan.
Korea Selatan menerapkan kebijakan “Pay as You Throw” (bayar sesuai sampah yang dibuang).
Artinya, setiap rumah tangga, sekolah, hingga restoran harus membayar sesuai jumlah atau berat sampah makanan yang mereka hasilkan. Semakin banyak sisa makanan yang dibuang, semakin besar biaya yang harus dikeluarkan.
Yang menarik, pembayaran ini dilakukan secara modern—menggunakan mesin pintar berteknologi RFID atau kantong sampah prabayar.
Bahkan, selama di sana, saya sendiri sempat menggunakan kartu transportasi T-Money untuk membayar biaya pembuangan sisa makanan.
Sistem ini membuat semua orang, termasuk anak-anak, berpikir dua kali sebelum membiarkan nasi tersisa di piring.
Selain faktor ekonomi, pendidikan berperan besar dalam membentuk kebiasaan ini. Di sekolah-sekolah Korea Selatan, pengelolaan sampah makanan diajarkan sejak dini melalui kegiatan dan kampanye yang konsisten.
Saya sempat menyaksikan satu kegiatan bertajuk “No Plate Waste Day”, hari tanpa sisa makanan, yang diikuti oleh seluruh siswa dan guru. Di ruang makan sekolah, terpampang berbagai poster dengan pesan sederhana namun kuat:
“Menyisakan makanan sama dengan membuang uang ke tempat sampah.”
Kalimat itu bukan sekadar slogan, tapi menjadi bagian dari nilai moral yang ditanamkan dalam pelajaran etika dan kewarganegaraan.
Para siswa memahami bahwa menghabiskan makanan bukan hanya soal sopan santun, tetapi juga tanggung jawab sosial dan bentuk penghargaan terhadap sumber daya alam.
Sampah makanan yang sudah terkumpul di Korea Selatan pun tidak langsung dibuang. Pemerintah mengelolanya kembali menjadi pupuk organik, pakan ternak, hingga energi biomassa.
Sistem daur ulang ini menutup siklus limbah secara efisien—dari meja makan kembali ke tanah, dari sisa makanan menjadi sumber energi baru.
Tak heran jika perilaku disiplin ini kini menjadi bagian dari budaya Korea modern.
Menyisakan makanan dianggap bukan hanya pemborosan, tapi juga bentuk kurangnya empati terhadap lingkungan. Nilai itu tumbuh kuat di kalangan anak muda, termasuk di ruang-ruang kelas.
Melihat kedisiplinan itu, saya jadi berpikir: mungkinkah sistem serupa diterapkan di sekolah-sekolah Indonesia?
Tentu perlu disesuaikan dengan kondisi lokal, termasuk pendekatan budaya dan infrastruktur yang mendukung.
Namun, semangat di baliknya—menghargai makanan dan mengurangi sampah—adalah nilai universal yang bisa kita mulai dari mana pun, bahkan dari piring makan siang anak sekolah.
Mungkin, dari satu langkah sederhana untuk tidak menyisakan nasi di piring, kita bisa ikut menyumbang perubahan besar bagi bumi.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sistem Clean Eating di Sekolah Korea Selatan yang Sukses Kurangi Sampah"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang