
Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Di tengah derasnya arus industri hiburan dan media global bernilai triliunan dolar, di mana posisi Indonesia—dan sejauh mana kita sekadar menjadi penonton atau justru bagian dari penggeraknya?
Industri hiburan dan media kerap dipandang sebelah mata. Dalam banyak teori klasik, ia ditempatkan sebagai kebutuhan pelengkap—hadir setelah urusan perut, sandang, dan papan terpenuhi. Hiburan dianggap mewah, opsional, dan mudah dipangkas ketika ekonomi sedang lesu.
Namun dunia telah berubah. Cara manusia mencari informasi, membangun identitas, dan menjaga kewarasan sosial hari ini tidak lagi bisa dilepaskan dari media dan hiburan.
Apa yang dahulu berada di puncak piramida kebutuhan, kini merembes ke lapisan yang jauh lebih mendasar.
Dalam konteks inilah, aktivitas menulis, membaca, menonton, dan berinteraksi di platform media—termasuk ruang-ruang berbasis komunitas seperti blog—sebenarnya menjadi bagian dari ekosistem industri hiburan dan media global yang nilainya terus membesar.
Ketika Hiburan Tak Lagi Sekadar Pelengkap
Teori kebutuhan manusia yang diperkenalkan Abraham Maslow disusun dalam konteks dunia yang sangat berbeda dengan hari ini.
Saat itu, akses terhadap informasi dan hiburan bersifat terbatas. Orang membaca koran atau menonton televisi setelah kebutuhan dasar terpenuhi.
Kini, realitasnya berbalik. Informasi dan hiburan digital justru menjadi alat untuk bertahan dan bernavigasi dalam kehidupan sosial.
Ia membantu orang bekerja, belajar, terhubung, bahkan mengelola emosi. Dalam banyak hal, media telah menjadi bagian dari kebutuhan sehari-hari.
Pergeseran ini tercermin dalam laporan PwC Global Entertainment & Media Outlook 2025–2029. Pada 2023, industri hiburan dan media global mencatat pendapatan sekitar 2,8 triliun dolar AS.
Angka ini naik menjadi 2,9 triliun dolar AS pada 2024, dan diproyeksikan terus tumbuh hingga menyentuh 3,5 triliun dolar AS pada 2029.
Angka-angka tersebut menunjukkan satu hal penting: di tengah ketidakpastian ekonomi global, industri hiburan dan media tetap dicari. Ia bukan lagi sektor yang mudah ditinggalkan, melainkan denyut yang terus bergerak mengikuti kebutuhan manusia modern.
Dari Konsumen Menjadi Komoditas Perhatian
Di level global, para raksasa industri seperti Netflix, Disney, hingga Warner Bros. Discovery sedang berada dalam fase penyesuaian besar.
Mereka memahami satu hal mendasar: daya beli konsumen ada batasnya, tetapi kebutuhan manusia akan hiburan dan informasi nyaris tak pernah habis.
Kondisi ini mendorong perubahan model bisnis. Ketergantungan pada langganan mulai bergeser ke arah iklan.
Laporan PwC mencatat, pendapatan iklan global diproyeksikan tumbuh jauh lebih cepat dibanding belanja langsung konsumen.
Perubahan ini membawa konsekuensi penting. Kita tidak lagi hanya menjadi pembeli konten, melainkan juga menjadi sumber nilai ekonomi melalui perhatian, waktu, dan interaksi kita. Dalam ekonomi digital, perhatian manusia telah menjadi komoditas utama.
Indonesia sebagai Pasar yang Bertumbuh Cepat
Di saat banyak negara maju mulai mengalami kejenuhan, Indonesia justru muncul sebagai salah satu motor pertumbuhan industri hiburan dan media dunia.
PwC memproyeksikan pertumbuhan tahunan sektor ini di Indonesia mencapai 8,4 persen sepanjang 2024–2029—hampir dua kali lipat rata-rata global.
Pertumbuhan ini tidak hanya digerakkan oleh konten impor. Di bioskop nasional, film lokal justru menunjukkan daya saing yang kuat.
Film Indonesia kini mampu menguasai sekitar 65 persen pangsa pasar. Keberhasilan film-film lokal menunjukkan bahwa kedekatan emosional dan relevansi budaya memiliki nilai ekonomi yang sangat besar.
Di sisi lain, pergeseran belanja iklan juga semakin terasa. Televisi konvensional masih bertahan, tetapi iklan digital tumbuh jauh lebih agresif, terutama pada platform daring dan e-commerce.
Kondisi ini menandai fase transisi penting: industri media Indonesia sedang berada dalam posisi hibrida—menjaga kekuatan lama sembari menyambut masa depan digital.
Ruang bagi Media Berbasis Komunitas
Di tengah perubahan tersebut, media berbasis komunitas dan konten buatan pengguna memiliki peluang yang semakin terbuka.
Platform semacam ini tidak hanya menjadi ruang ekspresi, tetapi juga memiliki nilai ekonomi karena mampu menjangkau audiens yang spesifik dan tersegmentasi.
Pertumbuhan iklan digital menunjukkan bahwa narasi yang kredibel, relevan, dan dibangun dari interaksi komunitas memiliki daya tarik tersendiri bagi pengiklan. Media tidak lagi semata-mata soal skala besar, tetapi soal kedalaman keterhubungan dengan pembaca.
Kreativitas, Teknologi, dan Tantangan Kemanusiaan
Ke depan, industri hiburan dan media tidak bisa hanya mengejar angka kunjungan. Teknologi seperti kecerdasan buatan mulai digunakan untuk menciptakan pengalaman yang lebih personal dan bermakna bagi audiens.
Namun tantangannya bukan semata teknologi. Yang jauh lebih penting adalah memastikan bahwa pertumbuhan industri ini tetap membawa dampak positif bagi manusia.
Media yang sehat bukan hanya menghibur, tetapi juga mencerahkan, memperluas perspektif, dan menjaga martabat kemanusiaan.
Menariknya, di tengah derasnya arus digital, pengalaman hiburan fisik justru kembali diminati. Pertunjukan musik langsung dan konser di Indonesia diproyeksikan meningkat tajam hingga 2029.
Ini menunjukkan bahwa sekuat apa pun teknologi, manusia tetap membutuhkan perjumpaan nyata.
Menjaga Jiwa di Tengah Algoritma
Triliunan dolar yang berputar di industri hiburan dan media pada akhirnya adalah cerminan dari pilihan kita sebagai manusia: apa yang kita tonton, baca, dan bagikan.
Industri ini bukan hanya soal bisnis, melainkan ruang tempat nilai, identitas, dan kemanusiaan dipertaruhkan.
Di sinilah setiap narasi yang ditulis, sekecil apa pun kontribusinya, memiliki makna. Kita tidak sedang menulis di ruang hampa, melainkan ikut menjaga agar masa depan media tetap memiliki jiwa di tengah kepungan algoritma.
Mungkin peran kita terasa kecil di tengah angka-angka kolosal itu. Namun justru dari kumpulan suara kecil inilah, industri besar ini tetap memiliki arah yang manusiawi.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Indonesia di Tengah Pusaran Industri Hiburan dan Media Global Bernilai US$3,5 Triliun"
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang