Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Pada tahun 1940, dua sosiolog Bryce Ryan dan Neal Gross, menggagas teori difusi-inovasi dengan melakukan penelitian soal petani jagung di Iowa, Amerika Serikat.
Penelitian mereka membawa kita pada pemahaman bahwa pengenalan inovasi, yaitu bibit jagung hibrida. Akan tetapi, karena bibit jagung tersebut adalah hal yang baru bagi para petani, mereka menolak dengan alasan takut gagal, mahal, dan alasan lainnya.
Meski awalnya ada penolakan, Ryan dan Gross tetap melakukan penawaran, edukasi, dan sosialisasi secara berkelanjutan menggunakan teknologi informasi.
Dengan upaya itu, pada akhirnya para petani tersebut menerima lalu mulai menanam bibit hibrida tersebut dan ternyata berhasil. Dari bibit itu, kemudian jagung yang dipanen diolah dan menghasilkan produk yang akhirnya kita kenal sebagai jagung "popcorn".
Kisah sukses ini menjadi dasar teori difusi-inovasi yang dijabarkan oleh Everett M Rogers pada tahun 1946. Teori ini menekankan penyebaran pesan melalui teknologi informasi atau media massa.
Di Indonesia, program Keluarga Berencana (KB) menjadi contoh keberhasilan penerapan teori ini, di mana media memainkan peran penting dalam mengatasi penolakan awal dan meningkatkan kesadaran masyarakat.
Program KB di Indonesia awalnya dihadapi dengan penolakan dari masyarakat. Namun, melalui kampanye dan edukasi yang berkelanjutan, media berhasil mengubah persepsi dan meningkatkan akseptabilitas program tersebut.
Ini menjadi bukti nyata bahwa teori difusi-inovasi bukan hanya konsep teoritis, melainkan sebuah kerangka kerja yang dapat diterapkan dalam perubahan sosial.
Sama halnya dengan olahraga basket di Indonesia yang semula kurang dikenal. Kemudian media memberikan peran besar dalam mempopulerkannya.
Melalui liputan intensif, seperti Developmental Basketball League (DBL) yang diinformasikan oleh koran Jawa Pos, olahraga ini mulai mendapatkan tempat di hati masyarakat, terutama kalangan pelajar dan mahasiswa. Artinya, media memiliki kemampuan untuk memicu minat dan perubahan perilaku.
Dari berbagai fakta tadi, jadi terlihat bahwa betapa penting dan strategisnya peran media dalam mengonstruksi realitas tertentu.
Lebih dari itu, media dalam perspektif para pengkaji bukan hanya sebagai pembentuk, tapi juga cermin, pengemas, guru, ritual atau bahkan tuhan.
Menilik keberhasilan media dalam membentuk realitas dan menggiring opini publik, pertanian di Indonesia perlu mendapatkan sorotan lebih besar.
Fakta menunjukkan bahwa lebih dari 60% petani Indonesia berusia senior dan jumlahnya terus menurun. Pertanian, sebagai tulang punggung Indonesia yang notabene negara agraris, menghadapi tantangan serius karena kurang diminatinya oleh generasi muda.
Di sini, media memiliki peran strategis dalam membangun citra positif petani dan pertanian. Mulai dari edukasi, pemberdayaan, hingga promosi produk lokal, media dapat berkontribusi signifikan.