Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Bahasa, sebagai pilar kebudayaan, memiliki peran sentral dalam mempertahankan identitas dan norma sebuah masyarakat. Kehilangan bahasa daerah tidak hanya mengancam keberagaman linguistik, tetapi juga potensial menghapuskan norma dan nilai-nilai budaya.
Keberlanjutan bahasa daerah semakin menjadi perhatian serius dan melalui pengalaman sehari-hari, kesadaran akan risiko kehilangannya semakin nyata.
Sebagai keluarga yang tumbuh di Lampung, kami, yang berasal dari suku Jawa, merasakan dampak program transmigrasi yang menyebabkan sebagian besar keluarga di kota kecil kami memiliki akar Jawa.
Meskipun banyak yang mengidentifikasi diri mereka sebagai "Njawani," identitas ini semakin terkikis, terutama di kalangan generasi muda. Bahasa daerah, termasuk bahasa Jawa dan bahasa Lampung, perlahan-lahan menghilang dari kehidupan sehari-hari.
Tanda-tanda serius akan kehilangan bahasa daerah terlihat melalui pengalaman anak-anak. Anak kami mengalami kesulitan memahami percakapan dalam bahasa Jawa dan masalah serupa terlihat dalam memahami bahasa Lampung, bahasa daerah tempat kami tinggal.
Meskipun muatan lokal seperti Bahasa dan Aksara Lampung diajarkan di sekolah, anak-anak masih kesulitan menerapkan pengetahuan ini dalam interaksi sehari-hari.
Bahasa daerah tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, melainkan juga merepresentasikan sistem keteraturan makna dan simbol-simbol budaya.
Sebagaimana diungkapkan oleh Clifford Geertz, seorang antropolog terkemuka, kebudayaan adalah sistem keteraturan dari makna dan simbol-simbol. Keseluruhan simbol itu nanti lalu diterjemahkan dan diinterpretasikan agar dapat mengontrol perilaku, sumber-sumber ekstrasomatik informasi, memantapkan individu, mengembangkan pengetahuan, hingga cara bersikap.
Salah satu contoh adalah sebuah makna tentang "unggah ungguh", merupakan sebuah konsep tentang etika pada suku Jawa. Pada "unggah ungguh", ada sebuah norma tak tertulis yang mengikat yang mengatur bagaimana bentuk interaksi antara individu per individu, sebaya, kepada yang lebih tua ataupun bagaimana berperilaku kepada yang lebih muda.
Akan tetapi, unggah ungguh ini dikhawatirkan akan hilang suatu hari nanti seiring hilangnya bahasa daerah di tengah gempuran perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang pesat dan semakin menggerus keberadaan kebudayaan lokal.
Oleh karenanya, ketika bahasa daerah terancam punah, masyarakat mengalami kehilangan dalam fungsi pengetahuan dan yang lebih berbahaya, fungsi kontrol terhadap kehidupan mereka.
Pentingnya pelestarian bahasa daerah mendorong perlunya revolusi dalam pendidikan. Meskipun mata pelajaran Bahasa dan Aksara Lampung diajarkan sebagai muatan lokal di sekolah, upaya tambahan diperlukan untuk memastikan bahwa pembelajaran bahasa daerah bukan hanya seremoni formal.
Diperlukan tindakan konkret untuk memastikan bahasa daerah tetap hidup. Regulasi yang mewajibkan penggunaan bahasa dan aksara daerah setidaknya satu hari dalam seminggu adalah langkah positif. Ini tidak hanya menciptakan kebiasaan, tetapi juga membangun kesadaran dan keterampilan dalam menggunakan bahasa daerah.
Penggunaan bahasa daerah di sekolah perlu diukur melalui uji kompetensi yang jelas. Selain uji praktik bahasa daerah lokal, siswa juga diuji dalam bahasa daerah suku masing-masing. Evaluasi ini tidak hanya sebagai penilaian kinerja, tetapi juga sebagai alat untuk mengidentifikasi hambatan dalam pembelajaran dan penggunaan bahasa daerah.
Evaluasi menyeluruh terhadap pengajaran dan penggunaan bahasa daerah di sekolah dapat menjadi dasar untuk perbaikan dan pengembangan lebih lanjut.