Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Jika membahas mengenai kemiskinan, maka tidak bisa diabaikan pembicaraan tentang kemiskinan ekstrem. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kemiskinan ekstrem merujuk pada ketidakmampuan seseorang atau masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mendasar seperti makanan, air bersih, sanitasi layak, kesehatan, tempat tinggal, pendidikan, dan akses informasi. Definisi ini tidak hanya berfokus pada pendapatan, tetapi juga mencakup akses terhadap layanan sosial.
Bank Dunia mengukur penduduk miskin ekstrem sebagai mereka yang hanya bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dengan biaya tidak lebih dari USD 1,9 Purchasing Power Parity (PPP). Pengertian PPP adalah unit harga yang telah disesuaikan sehingga nilai mata uang di berbagai negara dapat dibandingkan satu dengan yang lain.
Di Indonesia, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Garis Kemiskinan Ekstrem sebesar Rp11.941,12 per orang per hari atau Rp358.233,6 per orang per bulan pada tahun 2021. Dengan tingkat kemiskinan ekstrem sekitar 2,04 persen, permasalahan ini menjadi fokus utama Sustainable Development Goals (SDGs).
Data BPS tahun 2023 mencatat bahwa 22 persen dari 25,90 juta jiwa penduduk miskin di Indonesia atau sebanyak 5,64 juta jiwa mengalami kemiskinan ekstrem.
Dari data itu, diketahui sebanyak 3,9 juta jiwa dari total 17,74 juta masyarakat miskin merupakan golongan yang mengalami kemiskinan ekstrem. Ironisnya, mereka semua berasal dari wilayah pesisir. Padahal kita tahu bahwa wilayah pesisir kaya akan sumber daya.
Ketidaksetaraan tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia, khususnya di wilayah pesisir, menciptakan paradoks mengingat potensi sumber daya pesisir yang melimpah.
Tingginya tingkat kemiskinan ekstrem di sini juga berdampak pada munculnya masalah sosial kompleks, seperti tingginya angka stunting di kalangan anak-anak pesisir.
Dalam merespons tantangan ini, pemerintah Indonesia mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2022 yang menetapkan langkah-langkah percepatan penghapusan kemiskinan ekstrem. Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) dibentuk di bawah kepemimpinan wakil presiden untuk mengefektifkan program-program ini.
Fokus utamanya adalah pemberdayaan masyarakat, kolaborasi dalam pemberian bantuan sosial, dan pemetaan kantong-kantong kemiskinan ekstrem, terutama di wilayah pesisir.
Program ini mengoptimalkan pemberian bantuan sosial, intervensi kesehatan, dan gizi, serta perbaikan infrastruktur seperti instalasi air bersih dan perumahan layak. Intervensi ini juga mencakup upaya penguatan usaha masyarakat sebagai langkah menuju pemulihan ekonomi.
Dalam konteks pemilu 2024, pasangan calon presiden dan wakil presiden Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka mengusung program makan siang gratis sebagai bagian dari platform mereka. Selain memberikan dampak positif terhadap gizi anak di sekolah, program ini juga diharapkan dapat menggerakkan ekonomi masyarakat.
Berlandaskan laporan World Food Programme (UN WFP), setiap US$1 (Rp15.700) yang diinvestasikan dalam Program Makan Siang di Sekolah dapat menghasilkan dampak ekonomi sebesar US$9 atau sekitar Rp141.300.
Data tersebut menjelaskan bahwa anggaran US$1 yang digunakan untuk pengadaan bahan baku makanan, jalur logistic dan penyimpanan, serta penguatan komunitas akan kembali dalam bentuk dampak ekonomi langsung atau tidak langsung senilai US$1 melalui penghematan keluarga miskin, peningkatan kecerdasan, peningkatan produktivitas dan penghasilan kerja, peningkatan kesehatan, serta perbaikan kesetaraan gender, dan tentunya dalam jangka panjang dapat memberi dampak positif seperti kesejahteraan petani, nelayan, peternak, dan UMKM.
Dengan melibatkan sumber daya lokal, seperti hasil kelautan dan perikanan untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan, program ini diharapkan dapat menciptakan lapangan kerja dan mendukung ekonomi masyarakat pesisir.
Salah satu contohnya sekolah di wilayah pesisir akan memanfaatkan bahan makanan atau produk kelautan dan perikanan dari nelayan setempat. Dan dalam kalkulasi jangka panjang program Makan Siang Gratis di Sekolah diharapkan mampu menciptakan 1,8 juta lapangan kerja. Kalkulasi tersebut dengan memperhitungkan kebutuhan 377.000 dapur yang digunakan untuk menyiapkan Makan Siang Gratis di Sekolah. Di setiap titik makan siang, dan setiap dapur dilayani lima pekerja.