Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Salah satu isu penting yang sering luput dibahas oleh calon pemimpin negara ini adalah soal keamanan informasi, terutama keamanan siber (Cyber Security).
Isu keamanan dunia maya ini nampaknya memang tidak begitu populer dan sering mendapat perhatian para pemangku kekuasaan kita. Padahal masalah keamanan siber ini begitu penting demi menjaga kedaulatan negara kita dari berbagai serangan siber.
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa keamanan diartikan sebagai kondisi ketika tidak ada ancaman yang signifikan terhadap individu, masyarakat, lingkungan, negara, dan institusi lainnya, termasuk ideologi.
Ancaman mungkin tetap ada, namun dengan kontrol yang memadai. Konsep keamanan tidak hanya terbatas pada ancaman fisik seperti serangan militer, tetapi juga melibatkan tantangan dunia maya.
Keamanan siber, dalam perspektif ini, merujuk pada upaya untuk menjaga "sistem, jaringan, dan program dari serangan digital" (Sumber: www.its.ac.id).
Di dunia maya, pelaku kriminal seringkali memanfaatkan kelemahan sistem untuk mencuri, mengubah, dan menyalahgunakan informasi penting. Pemerasan, pencurian data bisnis, hingga disinformasi demi tujuan politik adalah beberapa bentuk ancaman yang kerap terjadi di berbagai negara.
Ancaman ini tidak mengenal batasan. Individu, lembaga sosial, hingga kementerian pertahanan dengan sistem keamanan siber yang kuat pun bisa menjadi sasaran. Dampak dari pencurian data pribadi bisa merugikan korban secara pribadi, menyebabkan depresi, bahkan hingga bunuh diri.
Indonesia, dengan jumlah penduduk yang besar dan pasar yang dinamis, menjadi target empuk bagi kejahatan siber. Badan Siber dan Sandi Negara mencatat 700 juta serangan siber terjadi di Indonesia selama tahun 2022. Modus operandi umum melibatkan ransomware dan malware untuk pemerasan dan tebusan.
Hanya pada Januari 2022, tercatat ada 272.962.734 kasus serangan siber (Sumber: kompas.id). Data lain mencatat bahwa antara Januari-September 2021, kejahatan siber melibatkan penipuan (4601 kasus), pengancaman (3101 kasus), pencemaran (30101 kasus), dan pemerasan (1606 kasus).
Pencurian data tidak hanya merugikan individu, tetapi juga perusahaan dan lembaga pelayanan umum. Kejadian serius seperti kebocoran data BPJS tahun 2021, pembobolan data peserta asuransi BRI Life, dan serangan terhadap jaringan pemerintah pada September 2021 menjadi bukti ketidakamanan siber yang meresahkan.
Indeks Keamanan Siber dari National Cyber Security Index (NCSI) menempatkan Indonesia di peringkat 83 dari 160 negara. Skor indeks keamanan siber sebesar 38,96 dan tingkat pengembangan digital mencapai 46,84. Ketidakamanan ini disebabkan oleh sistem jaringan yang rentan, tata kelola keamanan internet yang kurang memadai, dan minimnya literasi pengguna internet.
Selain keamanan infrastruktur, literasi digital menjadi kunci untuk menghadapi ancaman kejahatan siber. Literasi digital bukan hanya tentang kemampuan menggunakan perangkat teknologi, tetapi juga kemampuan dalam pembelajaran, bersosialisasi, berpikir kritis, dan kreatif seiring kemajuan teknologi informasi dan komunikasi.
UNESCO mendefinisikan literasi digital sebagai keterampilan hidup yang mencakup "Kemampuan menggunakan perangkat teknologi, informasi, dan komunikasi, serta kapasitas dalam pembelajaran, bersosialisasi, berpikir kritis, dan kreatif" (Budianto, 2022).
Empat kompetensi literasi digital yang perlu dikembangkan adalah kecakapan bermedia digital, budaya bermedia digital, etika bermedia digital, dan keamanan bermedia digital. Rendahnya pengetahuan dan keterampilan dalam menggunakan internet seringkali dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan siber.
Staf di lembaga publik, terutama yang menangani data warga negara yang sensitif, perlu memiliki literasi digital yang memadai. Keamanan informasi publik menjadi landasan keamanan nasional. Keteledoran dalam penggunaan internet oleh aparatur negara dapat membahayakan keamanan nasional.