Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam konteks sengketa hasil Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang kini tengah bergulir di Mahkamah Konstitusi (MK), masyarakat Indonesia disuguhi dengan istilah-istilah hukum yang kadang membingungkan. Istilah-istilah berbahasa Latin yang biasanya hanya terdengar di ruang kuliah Fakultas Hukum, kini menjadi bahasan hangat di media massa dan media sosial.
Salah satu istilah yang mencuri perhatian adalah Amicus Curiae. Istilah ini bukanlah hal baru dalam dunia hukum, namun popularitasnya melejit sejak sengketa hasil Pilpres di MK dimulai. Bahkan, istilah ini menjadi bahan diskusi di berbagai forum, baik resmi maupun di platform digital seperti WhatsApp.
Amicus Curiae, yang dalam bahasa Latin berarti "teman pengadilan," menjadi sorotan karena banyak pihak yang menganggapnya sebagai strategi untuk memenangkan sengketa Pilpres di MK. Para tokoh, baik dari kalangan akademisi, seniman, maupun mahasiswa, turut serta dalam mengajukan Amicus Curiae ke MK, termasuk tokoh-tokoh politik seperti Megawati Sukarnoputri.
Meskipun penggunaan Amicus Curiae dalam konteks sengketa Pilpres 2024 mencuat, sebenarnya praktik ini tidaklah baru di Indonesia. Sebagai contoh, pada kasus Wahyu yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus, Amicus Curiae juga pernah diajukan.
Di Indonesia, meskipun tidak ada aturan formal yang mengatur mengenai Amicus Curiae, konsepnya sebenarnya dapat diterima. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mewajibkan hakim untuk menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Hal ini membuka peluang bagi pihak-pihak independen untuk memberikan pandangan tambahan kepada pengadilan.
Amicus Curiae biasanya diajukan oleh pihak atau organisasi yang memiliki keahlian atau kepentingan khusus dalam bidang hukum atau masalah yang menjadi pokok perkara. Meskipun demikian, karena tidak ada aturan yang mengikat, materi yang disampaikan dalam Amicus Curiae pun dapat bervariasi, tidak selalu berkaitan dengan hukum.
Dalam praktiknya, Amicus Curiae diajukan oleh berbagai pihak yang memiliki keahlian di luar bidang hukum. Hal ini terjadi karena seringkali masalah hukum beririsan dengan bidang-bidang kehidupan lain, seperti bidang sosial, medis, atau psikologis.
Meskipun Amicus Curiae dapat memberikan pandangan tambahan kepada pengadilan, pendapatnya tidak mengikat hakim yang menangani perkara. Hakim dapat mempertimbangkan Amicus Curiae sebagai salah satu faktor dalam proses pengambilan keputusan, namun tetap mengedepankan bukti dan fakta yang disajikan di persidangan.
Dalam konteks sengketa hasil Pilpres di MK, Amicus Curiae menjadi salah satu sorotan utama. Meskipun demikian, peran Amicus Curiae seharusnya tidak dianggap sebagai bentuk legal opinion yang sah, melainkan sebagai pandangan tambahan yang dapat membantu pengadilan dalam memahami isu-isu kompleks yang muncul dalam perkara.
Dengan demikian, penggunaan Amicus Curiae dalam konteks sengketa hasil Pilpres di MK seharusnya tidak dipandang sebagai instrumen ajaib yang dapat mengubah arah keputusan pengadilan. Namun, Amicus Curiae tetap menjadi bagian penting dalam proses peradilan, sebagai sarana untuk mendapatkan perspektif tambahan yang dapat menambah pemahaman pengadilan terhadap kasus yang sedang disidangkan.
Selain itu, perlu dicatat bahwa Amicus Curiae juga dapat menjadi instrumen yang memperkaya demokrasi. Dengan memberikan kesempatan kepada berbagai pihak untuk memberikan pandangan tambahan, proses pengambilan keputusan menjadi lebih inklusif dan lebih mewakili beragam sudut pandang masyarakat.
Meskipun begitu, penting untuk diingat bahwa Amicus Curiae bukanlah satu-satunya faktor yang memengaruhi keputusan pengadilan. Hakim tetap memiliki kewajiban untuk mempertimbangkan bukti dan fakta yang ada di persidangan, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil didasarkan pada hukum yang berlaku.
Dalam konteks sengketa hasil Pilpres di MK, penggunaan Amicus Curiae dapat dipandang sebagai respons atas kompleksitas dan sensitivitas kasus yang sedang disidangkan. Dengan melibatkan berbagai pihak yang memiliki keahlian atau kepentingan khusus, pengadilan dapat memperoleh sudut pandang yang lebih komprehensif, sehingga dapat mengambil keputusan yang lebih tepat dan adil.
Oleh karena itu, meskipun Amicus Curiae tidak memiliki kedudukan formal sebagai pihak dalam perkara, perannya dalam proses peradilan tidak boleh dianggap remeh. Dengan memberikan pandangan tambahan yang berharga, Amicus Curiae dapat menjadi salah satu faktor yang membantu pengadilan dalam mencapai keputusan yang adil dan berkeadilan.
Dengan demikian, fenomena Amicus Curiae dalam konteks hukum Indonesia merupakan bukti dari dinamika dan kompleksitas sistem peradilan di negara ini. Dengan memahami peran dan fungsi Amicus Curiae secara lebih baik, masyarakat dapat lebih menghargai dan memahami proses peradilan yang sedang berlangsung, serta memastikan bahwa keputusan yang diambil benar-benar mencerminkan keadilan dan kebenaran.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Sejauh Mana Peran Amicus Curiae Megawati dalam Sengketa Pilpres"