Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Luna Septalisa
Penulis di Kompasiana

Blogger Kompasiana bernama Luna Septalisa adalah seorang yang berprofesi sebagai Administrasi. Kompasiana sendiri merupakan platform opini yang berdiri sejak tahun 2008. Siapapun bisa membuat dan menayangkan kontennya di Kompasiana.

Kekerasan di Sekolah: Imbas Fatherless dan Maskulinitas Toksik?

Kompas.com - 07/10/2022, 15:33 WIB

Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com

Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Kekerasan dalam Dunia Pendidikan, Maskulinitas Toksik dan Fenomena "Negeri Tanpa Ayah""

Baru-baru ini, kita dikejutkan dengan kabar kekerasan yang berujung pada meninggalnya santri Pondok Modern Darussalam Gontor (PMDG), Ponorogo, Jawa Timur. Santri berinisial AM tersebut diduga meninggal dunia akibat dianiaya oleh seniornya.

Sang ibu yang diberitahu bahwa AM meninggal akibat kelelahan setelah berkemah merasa curiga kalau ada yang ditutup-tutupi dari kematian anaknya.

Hal itu lantaran kain kafan sang anak yang sampai harus diganti karena ada darah merembes pada kain kafannya.

Kasus kekerasan merupakan salah satu aib dan dosa yang mencemari iklim akademis dunia pendidikan kita.

Alih-alih menjadi tempat untuk mendidik dan mengembangkan kecerdasan intelektual, emosional, dan spiritual anak, sebuah institusi pendidikan terlihat seolah tak lebih dari sarang penjahat.

Bukan hanya di sekolah asrama, sekolah non-asrama pun tidak luput dari adanya kasus kekerasan. Mulai dari perundungan, tawuran antar pelajar, hingga pelecehan seksual.

Bicara tentang kekerasan dalam dunia pendidikan biasanya kita akan mengaitkan dengan sistem atau aturan yang berlaku.

Padahal kita bisa menilik jauh lebih dalam lagi soal maskulinitas toksik yang entah sadar atau tidak telah ditanamkan sejak usia dini serta ketidakterlibatan ayah dalam hal pengasuhan anak.

Bagaimana relasi antara ketiganya?

Mengenal Maskulinitas Toksik

Sebelum membahas keterkaitan aturan sekolah, maskulinitas toksik, dan ketidakterlibatan ayah, mari kita pahami dulu apa itu maskulinitas toksik.

Maskulinitas toksik adalah istilah yang merujuk pada dampak negatif dari sikap berpegang teguh pada karakteristik maskulin, ditambah dengan penekanan pada kejantanan yang didefinisikan sebagai kekerasan, seks, status, dominasi, ketangguhan dan agresi.

Pada dasarnya, setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai sifat-sifat maskulin dan feminin dalam dirinya.

Sifat-sifat feminin antara lain meliputi sifat lemah lembut, penyayang, penyabar, empatik dan sebagainya. Sementara yang termasuk sifat-sifat maskulin antara lain kuat, tegas, berani, rasional, berjiwa pemimpin dan sebagainya. Kedua karakteristik ini sama baiknya.

Namun, ketika laki-laki selalu dituntut untuk menunjukkan maskulinitas demi menghindari stigma "laki-laki lemah" atau perempuan yang selalu dituntut untuk menunjukkan feminitas agar tidak dicap sebagai "perempuan kebablasan dan tak tahu adat", di sinilah maskulinitas dan feminitas berubah menjadi toksik.

Pernah dengar orangtua mengatakan anak laki-lakinya "cengeng" karena si anak menangis?

Mungkin orangtua tersebut bermaksud baik ingin mendidik anak laki-lakinya untuk menjadi anak yang kuat, percaya diri dan berani.

Namun, kadang mereka lupa kalau laki-laki juga manusia yang memiliki perasaan sehingga wajar apabila dia menangis karena sedih, terharu, kesakitan, atau merasa dirinya sedang tidak baik-baik saja.

Alih-alih menanyakan penyebab anak menangis atau mengajarkannya cara mengekspresikan emosi negatif dengan sehat, seringnya orangtua tidak memvalidasi perasaan anak mereka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Video Pilihan Video Lainnya >

Terkini Lainnya

Mengapa 'BI Checking' Dijadikan Syarat Mencari Kerja?

Mengapa "BI Checking" Dijadikan Syarat Mencari Kerja?

Kata Netizen
Apakah Jodohku Masih Menunggu Kutemui di LinkedIn?

Apakah Jodohku Masih Menunggu Kutemui di LinkedIn?

Kata Netizen
Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

Kata Netizen
Banjir Demak dan Kaitannya dengan Sejarah Hilangnya Selat Muria

Banjir Demak dan Kaitannya dengan Sejarah Hilangnya Selat Muria

Kata Netizen
Ini yang Membuat Koleksi Uang Lama Harganya Makin Tinggi

Ini yang Membuat Koleksi Uang Lama Harganya Makin Tinggi

Kata Netizen
Terapkan Hidup Frugal, Tetap Punya Baju Baru buat Lebaran

Terapkan Hidup Frugal, Tetap Punya Baju Baru buat Lebaran

Kata Netizen
Emoji dalam Kehidupan Kita Sehari-hari

Emoji dalam Kehidupan Kita Sehari-hari

Kata Netizen
Ini yang Membuat Komik Cetak Bisa Bertahan di Era Digital

Ini yang Membuat Komik Cetak Bisa Bertahan di Era Digital

Kata Netizen
Setelah All England, Kini Bersiap Olimpiade Paris 2024

Setelah All England, Kini Bersiap Olimpiade Paris 2024

Kata Netizen
Kenyataan Pahit di Balik Tagar #JanganJadiDosen

Kenyataan Pahit di Balik Tagar #JanganJadiDosen

Kata Netizen
Simak Tips Memilih Akomodasi Saat Liburan Bersama Orangtua

Simak Tips Memilih Akomodasi Saat Liburan Bersama Orangtua

Kata Netizen
Perhatikan Asupan Gizi pada Makanan agar Puasa Lancar

Perhatikan Asupan Gizi pada Makanan agar Puasa Lancar

Kata Netizen
Beras Porang, Alternatif Kaya Manfaat Ketika Harga Beras Putih Meroket

Beras Porang, Alternatif Kaya Manfaat Ketika Harga Beras Putih Meroket

Kata Netizen
Salah Kaprah Kita Soal Penggunaan QRIS

Salah Kaprah Kita Soal Penggunaan QRIS

Kata Netizen
Kelas Menengah: Di Antara Gaji Pas-pasan dan Mimpi Jadi Kaya

Kelas Menengah: Di Antara Gaji Pas-pasan dan Mimpi Jadi Kaya

Kata Netizen
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com