Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Dalam pola asuh yang mengajarkan maskulinitas toksik, laki-laki ditabukan untuk menangis dan berkeluh kesah karena itu adalah tanda kelemahan.
Mereka hanya boleh mengekspresikan kekuatan, keberanian, ketangguhan, wibawa, kekuasaan, dan amarah.
Karena tidak pernah dilatih untuk mengekspresikan emosi negatif secara sehat, ketika laki-laki merasa malu, tersinggung, atau terluka solusi yang ditempuh adalah dengan kekerasan.
Cemburu karena istri/pacar tampak akrab dengan laki-laki lain, istri/pacarnya dipukuli. Tim sepak bola yang dijagokan kalah, baku hantam dengan pendukung tim lawan. Ditagih utang tetangga, bukannya dibayar malah tetangganya dilempar parang.
Laki-laki pengidap maskulinitas toksik memang lebih suka menyelesaikan masalah pakai otot (baca: menormalisasi kekerasan) daripada pakai otak.
Jangankan bisa berdiskusi secara elegan, intelek, dan beradab, kalau yang mereka utamakan hanyalah ego dan emosi.
Maskulinitas toksik juga cenderung mewajarkan perilaku-perilaku buruk yang dilakukan oleh laki-laki bahkan menganggapnya keren.
Misalnya, merisak orang lain yang secara fisik lemah dan berbeda atau yang secara status sosial dan ekonomi lebih rendah, menganggap cupu sesama murid laki-laki yang tidak mau ikut tawuran dengan anak SMA lain, dan sebagainya.
Ketidakterlibatan ayah dalam hal pengasuhan anak dikenal sebagai fenomena negeri tanpa ayah atau fatherless country phenomenon.
Apa pula itu fenomena "negeri tanpa ayah"?
Sebagaimana dikutip dari Kompas, Indonesia menempati urutan ke-3 dunia sebagai negara dengan anak-anak tanpa ayah (fatherless country) terbanyak.
Menurut psikolog Amerika, Edward Elmer Smith, yang dimaksud dengan fatherless adalah hilangnya peran ayah di rumah, baik secara fisik maupun psikologis. Sementara fatherless country adalah negara dengan peran ayah yang minim.
Menurut catatan Kementerian Sosial tahun 2021, jumlah anak yatim piatu di Indonesia sekitar 4.043.622 anak.
Jumlah ini mengalami peningkatan hingga mencapai 32.216 anak pada tahun 2022 akibat kematian orangtua karena Covid-19 yang melanda Indonesia sejak Maret 2020 silam.
Itu baru contoh fatherless secara fisik. Bagaimana dengan jumlah anak yang mengalami fatherless secara psikologis?
Sayangnya, data dan penelitian yang berkaitan dengan fenomena fatherless di Indonesia masih sangat jarang dan terbatas.
Isu fatherless country merupakan masalah global yang terjadi di mana-mana.
Di negara Barat, sebab utama fenomena fatherless adalah ayah dan ibu yang tidak menikah, yang akibatnya kebanyakan anak hanya hidup dengan ibunya.
Sementara di Indonesia, kebanyakan terjadi pada orangtua yang masih terikat pernikahan tapi tugas pengasuhan anak tidak dipenuhi oleh ayah.