Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Sejak marak portal berita internet, sesuatu yang remeh temeh bisa menjadi berita di mata seorang jurnalis. Bahkan, termasuk disukai. Ada satu yang paling terlihat, yakni sesuatu yang cantik, hingga muncul istilah “jurnalisme lipstik.”
Suatu waktu ada berita soal penjaga warung Tegal alias warteg yang cantik, Sasa Darfika. Wajahnya tentu saja cantik, oleh karenanya ia diburu banyak jurnalis.
Lain waktu ada penjual getuk yang cantik. Namanya Ninih. Tak lama ia lantas dikenal orang karena kecantikannya yang dianggap seperti supermodel ketimbang seorang penjual getuk.
Mungkin, bagi Ninih maupun Sasa si pemilik wajah akan merasa biasa-biasa saja dengan apa yang dilakukannya. Akan tetapi, akan menjadi beda ketika hal itu dilihat oleh lensa mata para jurnalis.
Hal itu akan menjadi berita, karena unik, karena ada sisi yang “bertolak belakang”. Sebab, jarang ada seorang penjaga warung Tegal atau penjual getuk yang cantik.
Sesuatu yang dahulu tak punya kadar untuk menjadi berita, dengan perkembangan media dunia maya, menjadi punya nilai berita.
Sebab, jika yang cantik itu adalah artis, selebriti, sosialita, akan terlihat sangat biasa dan lumrah.
Setiap hari wajah mereka selalu mengisi layar televisi, koran, dan portal berita daring yang bisa kita saksikan dan baca kisah hidupnya.
Oleh karenanya, fenomena seperti Ninih dan Sasa, serta yang lainnya otomatis menjadi pemantik akan maraknya berita yang cantik-cantik di media massa, terutama di media atau portal berita daring.
Meski begitu, media cetak juga menempatkan ini pada porsi yang lumayan. Sehingga, menjadi tren bacaan semua orang.
Lantas, apakah hal semacam ini salah? Mudah-mudahan tidak.
Media massa memiliki fungsi edukasi dan hiburan, Ia mewartakan sesuatu yang bisa berdampak pada publik.
Berita-berita serius, apalagi yang cantelannya peristiwa, pasti banyak peminat. Khususnya soal bad news, entah soal pembunuhan, korupsi pejabat, kebakaran, dan sebagainya.
Media massa juga hadir sebagai sarana hiburan. Menghibur bukan berarti tak memberikan makna atau sesuatu yang bersifat khazanah tentang sesuatu yang baru.
Kebaruan dan keunikan itulah yang tercermin dari berita soal yang cantik-cantik di mana hal itu jarang dijumpai. Hasilnya kabar soal penjual getuk dan penjaga Warteg yang cantik menjadi menarik.