Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Andaipun mereka tetap dengan pekerjaan semula dan enggan "memanfaatkan" kecantikannya, itu sikap pribadi mereka yang perlu dihargai dan dihormati.
Dengan redaksi lain, sedikit banyak pasti ada pengaruh sebuah pemberitaan terhadap objek liputan. Entah dia cantik atau tidak. Entah berita hard, entah berita soft.
Jurnalisme memang tidak mengenal diksi berikutnya pasca-lema "jurnalisme" itu sendiri.
Jurnalisme, ya, jurnalisme yang menghadirkan fakta, memverifikasinya dengan disiplin, memberikan ruang kritik publik, dan menyajikannya secara menarik, serta ditingkahi kerendahhatian pewartanya.
Diksi cantik yang dipadupadankan di sini sehingga menjadi "jurnalisme lipstik" sekadar frasa untuk menjadikannya diskursus meski dalam tataran yang ringan. Ia tetap menarik jika disajikan proporsional.
Cantik tetap indah dibaca dan dinikmati jika porsinya pas dan tak berlebihan. Dan selama ini, menurut saya, masih dalam ranah itu. Sehingga, masih bisa dinikmati dengan selera tinggi. Bahwa ia adalah bagian dari produk jurnalistik yang unik, menarik, dan tentu saja, cantik.
Konten ini merupakan opini/laporan buatan blogger dan telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Cantik-Cantik Jurnalisme Lipstik"
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.