Konten ini merupakan kerja sama dengan Kompasiana, setiap artikel menjadi tanggung jawab penulis dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.com
Berangkat dari pengalaman pribadi, beberapa tahun lalu perusahaan tempat saya bekerja menerima karyawan baru yang merupakan generasi Z.
Sebagai gambaran, karyawan yang bekerja di tempat ini adalah generasi baby boomer dan generasi X.
Dari apa yang saya amati, komunikasi yang terjalin antara generasi baby boomer dan generasi X di kantor saya dapat berjalan dengan baik dan lancar.
Namun, jalinan komunikasi yang sama tak saya lihat antara generasi Z dan generasi X atau bahkan antara generasi Z dan baby boomer.
Mereka (generasi X dan baby boomer) rata-rata merasa kurang suka dengan gaya komunikasi generasi Z di kantor.
Dari pengalaman tersebut, saya melihat ada beberapa kesalahan dalam gaya komunikasi yang dilakukan generasi Z di kantor ini.
Berangkat dari pengalaman pribadi, cara bicara gen Z ketika di tempat kerja meninggalkan kesan kurang sopan.
Ketika pekerjaan mereka salah, sebagai mentor pasti akan berusaha untuk membimbing dan mengajari bagaimana menyelesaikan pekerjaannya dengan benar.
Namun, respons mereka ketika sudah dijelaskan caranya sangat singkat, seperti misalnya hanya “Iya”, “Oh”, atau “Oke”. Tak jarang mereka juga menunjukkan ekspresi datar yang seolah tak bersalah, merespons perkataan orang lain tanpa menatap lawan biacanya, serta hanya melengos begitu saja ketika diberi tugas.
Meski begitu, beberapa teman justru merasa bekerja bersama gen Z terasa menyenangkan, sebab dia memang tidak suka hal yang bertele-tele.
Dia mengatakan bahwa pekerja gen Z ini diibaratkan berbicara seperti membuat status di media sosial, langsung ke inti persoalan serta terbiasa menghadapi konflik terbuka.
Selain itu, masih menurut teman saya bahwa gen Z di kantor kerap melakukan trial and error. Contohnya, seperti ketika gen Z melakukan kesalahan dan mendapat teguran, dia terkesan tidak merasa bersalah..
Sebab dia tahu apa yang dia lakukan setelah mencoba (trial) adalah kesalahan (error), maka dari itu ia tak akan melakukannya lagi.
Kendati demikian, menurut saya etika kesopanan berkomunikasi tetap perlu dikedepankan dan tetap harus diajarkan oleh setiap orangtua. Sebab teknologi tak akan bisa mengajarkan kesopanan.
Dari apa yang saya amati di kantor, gen Z ini cenderung tidak sabaran. Bagi mereka semua masalah di dunia kerja bisa diatasi semudah ketika mereka mencari jawaban di google.
Mereka juga cenderung menganggap semua persoalan atau pekerjaan bisa dilakukan layaknya bermain game dengan mengklik salah satu pilihan, yes or no. Intinya, mereka ingin semua dikerjakan serba cepat.
Namun, alih-alih membuat semuanya menjadi cepat selesai, justru keinginan menyelesaikan semuanya dengan cepat ini justru menimbulkan masalah.
Contoh lain seperti ketika mereka ditugaskan untuk berkoordinasi dengan departemen lain, mereka akan cenderung melewati tahapan ini dan akan mengeksekusi sendiri pekerjaan itu.